F Masalah Tragedi Trisakti - galihghungs blog

Masalah Tragedi Trisakti


Masalah Tragedi Trisakti

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.



Tuntutan Reformasi

6 TUNTUTAN REFORMASI
1.      PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum. Pada masa orde baru hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa. Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidak adilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup :
a.       pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris);
b.      mengutamakan kebenaran dan keadilan;
c.       senantiasa melakukan promosi dan perlindungan HAM;
d.      menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil;
e.       hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik;
f.       kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum;
g.      kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up;
h.      proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional;
i.        penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan preventif; dan
j.        perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi.
2.      PEMBERANTASAN KKN
Sudah menjadi tontonan rutin di media elektronik dan menjadi bacaan wajib di media cetak oleh seluruh anak bangsa yang terjangkau media. Bahwa para pejabat dan mantan pejabat kita tersandung masalah korupsi dan atau penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara. Tetapi anehnya mereka-mereka yang notabenenya para petinggi negara yang terhormat, panutan rakyat, harapan dan tumpuan rakyat di negeri ini sedikitpun tidak merasa malu bahkan kadang-kadang malah sebaliknya. Tidak kalah hebatnya DPR yang merupakan lembaga tertinggi negara justru menjadi sarang tikus-tikus rakus yang menggerogoti uang negara dengan berbagai alasan yang dibuat-buat dan dicari pembenarannya. Rakyat yang merasa dirinya dizholimi akhirnya ikut-ikutan dengan caranya masing-masing sesuai dengan strata dan jabatannya. Itulah realitas kehidupan di negeri ini, negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, namun masih tergolong negara miskin, negara dengan setumpuk hutang, tetapi pejabatnya kaya raya, boros, hura-hura. Negara yang mulai pejabat sampai rakyatnya sudah terbelit pada sebuah sistem yang korup.
Penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, pungli, korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya yang biasa disebut KKN sudah bukan hal langkah yang dapat kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian yang sudah lazim terjadi di masyarakat bahkan sampai di birokrasi pemerintah :
·         Seorang petani sawah jika ingin mendapat gilir air sawahnya lancar dia harus mau memberi tips kepada Jogoboyo//cuwowo (pamong desa/orang yang ditunjuk untuk mengatur perairan sawah).
·         Seorang pedagang asongan penjual kipas dan minuman ringan di kereta eksekutifdengan dua atau tiga pak rokok Dji Sam Soe untuk petugas teknisi kereta agar bersedia mematikan sementara waktu AC gerbong agar dagangannya laku keras.
·         Seorang distributor pupuk bersubsidi menimbun pupuk di gudang ratusan ton untuk memperkaya diri, sementara para petani harus merugi jutaan rupiah karena tidak mendapatkan pupuk untuk sawahnya.
·         Seorang kepala sekolah negeri melakukan berbagai macam pungutan kepada siswanya dengan dalih peningkatan kualitas, padahal sudah memperoleh aneka jenis bantuan pemerintah (BOS, BOM, BKSM, dan lain sebagainya), bahkan sampai mencekik leher para orang tua murid yang jika diteliti secara seksama ujung-ujungnya adalah untuk memperkaya diri sendiri dan sangat bertentangan dengan niatan baik pemerintah yang ingin membebaskan sekurang-kurangnya meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat (tidak salah kalau masyarakat berkata :”lebih enak ketika jamannya Pak Harto, buku sekolah tidak beli/paket, sekolah negeri tidak bayar, padahal dahulu tidak ada BOS, BKSM, BOM, dll”).
·         Di mana-mana gedung sekolah roboh karena kualitas bangunan tidak sesuai dengan standart yang ada karena dari hulu sampai hilir telah terjadi penyunatan-penyunatan.
·         Para caleg/cabub/cagub dan calon-calon lain rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk menyuap calon pemilihnya, bahkan ada yang dengan menggunakan uang palsu.
·         Anggota dewan mau mengesahkan Anggaran, peraturan dan sebagainya kalau ada uang gedognya.
·         Dan lain sebagainya yang tidak cukup ditulis pada tulisan ini, sejuta cara penghuni negeri ini melakukan KKN dan sudah pasti kita dapat menjumpai di setiap tempat di negeri ini di kantor, di pasar, di jalan raya, di sawah, bahkan di hutan dan di tengah laut sekalipun.
Sebagai bagian dari masyarakat negeri ini yang amat sangat mungkin juga termasuk salah satu pelaku didalamnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk memberikan sumbangan saran dan pemikiran kepada pemerintah dan siapa saja yang berkenan untuk bersama-sama meminimalisir terjadinya KKN di negeri ini, agar negeri kita tercinta ini menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun ghofuurun seperti yang dicita-citakan para pendiri republik ini.
Gambaran diatas memang paradoks dengan kondisi penduduk negeri ini yang terkenal agamis bahkan merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, semua pejabat, calon pejabat, rakyat menggembar-gemborkan pemberantasan KKN yang katanya warisan dari orde baru namun kenyataan mungkin sekarang lebih parah dari yang terjadi pada masa orde baru ( contoh kecil , di masa orde baru tidak ada sekolah negeri yang membayar bahkan buku pelajaran pun dipinjami/tidak beli ). Sebuah pekerjaan besar yang harus kita selesaikan bersama dengan pemerintah terutama presidennya yang punya kemauan keras untuk memberantas KKN di negeri ini.
Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab kenapa pemberantasan KKN sulit untuk dilaksanakan, diantaranya :
a.    Hukum dan para penegak hukumnya di negeri ini masih dapat dibeli.
b.    Hukum Negara dimana saja pasti memiliki kelemahan dan kekurangan (contoh orang mencuri, baru dikatakan pencuri kalau ketahuan dan ada saksinya, seseorang akan aman dari tuduhan korupsi kalau dapat menunjukkan bukti-bukti pembelanjaan walaupun itu direkayasa).
c.    Banyaknya pelaku pelanggaran yang jika semua harus ditindak pasti penjara tidak akan muat dan bisa dikatakan pasti kantor-kantor pemerintah akan sepi ditinggal penghuni masuk bui, sekolah-sekolah akan tanpa kendali karena kepala sekolah masih diadili, sehingga dengan dalih penanganan diprioritaskan pada kasus yang besar dahulu padahal itu tidak lain karena penanganan KKN yang masih setengah hati.
d.   segi finansial maupun terjadinya perubahan kearah positif.
e.    Perlakuan hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku atau orang yang akan melakukan.
f.     Semakin lemahnya hukum adat yang berlaku di masyarakat, kalau dahulu orang tidak banyak yang memahami hukum tetapi hukum adat dan norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri dapat dijadikan pijakan hukum mereka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (contoh ada cerita yang berkembang di masyarakat pelaku rentenir yang ketika meninggal dunia makamnya tidak muat dan lain sebagainya padahal itu tidak kejadian sebenarnya melainkan betapa jeleknya di mata masyarakat seseorang yang melanggar hukum).
g.    Pejabat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tidak memberikan contoh yang baik terhadap pelaksanaan hukum, mereka sendiri yang membuat mereka pula yang melanggarnya.
h.    Hilangnya rasa kasih sayang, rasa senasib seperjuangan, sebangsa dan setanah air yang dikarenakan rendahnya rasa nasionalisme. Kalau dahulu orang berpikir apa yang dapat kusumbangkan buat negeri ini, sekarang orang banyak yang berpikir apa yang aku dapatkan dari negeri ini, bahkan yang lebih parah lagi orang-orang sekarang merasa paling berjasa paling memikirkan negeri ini padahal mereka tidak segan-segannya merusak negeri yang direbut dari tangan penjajah dengan cucuran keringat, air mata dan darah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa.
i.      Rakus, gila dunia dan lupa akhirat, sehingga menghalalkan segala cara hal ini disebabkan rendahnya kadar keimanan seseorang. Tidak sedikit dari mereka mempunyai semboyan ”Wal Kedual , mbuh Watu mbuh Ungkal, mbuh Keloso mbuh Bantal, mbuh Sepatu mbuh Sandal, mbuh Celono mbuh Suwal, mbuh Ulo mbuh Kadal, mbuh Beton mbuh Aspal, mbuh Perahu mbuh Kapal, mbuh Nuklir mbuh Rudal, mbuh Haram mbuh halal, pokok kontal yo diuntal”. Jika kita mau jujur rakus dan gila dunia inilah yang merupakan sumber terjadinya segala macam penyimpangan dan pelanggaran yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka di muka bumi ini.
j.      Hukum halal dan haram semakin dibikin rancau dan tidak jelas. Sudah jelas-jelas menyuap dibilangnya hadiah; sudah jelas-jelas korupsi dikatakan laba proyek; jelas-jelas tidak tahu dari mana asalnya uang, ulama’ pun mau menerimanya.
k.    Urusan pemberantasan KKN masih hanya dibebankan pada Negara, kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam upaya menghilangkan KKN setidaknya mengurangi belum nampak kelihatan bahkan kecenderungan menyepakati.
Ada beberapa alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai solusi disamping cara-cara yang sudah dilakukan pemerintah selama ini agar negeri ini terbebas atau sekurang-kurangnya mengurangi terjadinya pelanggaran KKN, adapun cara yang dapat ditempuh diataranya :
a.       Melalui Pendekatan Kekuasaan.
b.      Mencanangkan dan membuat tahun gerakan sadar nasional atau tobat nasional dari KKN atau sejenisnya yang melibatkan seluruh komponen bangsa.
c.       Membuat gerakan taubat nasional, hal ini dilandasi oleh :
·         Sadar atau tidak, sedikit atau banyak kita seluruh bangsa ini pernah melakukan KKN baik langsung maupun tidak langsung/menikmati hasil KKN yang dilakukan oleh orang lain.
·         Sadar atau tidak, kita seluruh bangsa ini pernah tidak suka/membenci pada orang-orang yang telah berbuat KKN sehingga seperti Hadits Rasulullah yang artinya lebih kurang : “Tidak akan mati seseorang sebelum mengikuti perilaku orang-orang yang dibenci”.
·         Jika kondisi KKN di negeri ini yang sulit di beratas merupakan Adzab Allah, maka salah satu jalan adalah bertaubat kepada-Nya.
3.    MENGADILI SOEHARTO DAN KRONINYA
Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang dihadapi negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana, gempa di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi korban lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini, penyelesaian masalah Suharto beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum yang dimuat oleh Suara Pembaruan ‘(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau desakan masyarakat untuk menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan kembali tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara Pembaruan.
Tulisan dalam Suara Pembaruan itu selengkapnya adalah sebagai berikut :
Pengusutan Anak dan Kroni Soeharto, Utopis?
Setelah mantan Presiden Soeharto meninggal dunia, kasus hukum yang membelitnya tetap saja menarik perhatian publik. Hal itu terjadi karena Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), masih tetap berlaku. Akankah putra-putri dan kroni Soeharto diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan berbagai kasus KKN pada masa pemerintahan Orde Baru? Wartawan Suara Pembaruan Siprianus Edi Hardum menuliskan laporannya.
Tuntutan sebagian masyarakat agar pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung) menyeret mantan Presiden Soeharto secara pidana atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya selama ia menjadi Presiden, berhenti sejak sang "Jenderal Besar" itu menghadap Tuhan pada 27 Januari 2008.
Pasalnya, menurut hukum, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan meninggal dunia, maka proses hukum secara pidana terhadapnya gugur dengan sendirinya. Yang didesak sebagian masyarakat terhadap pemerintah, terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto adalah menuntut Soeharto melalui ahli warisnya (anak-anaknya) secara perdata. Sedangkan kasus korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto tetap dilakukan secara pidana dan perdata.
Tuntutan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto, anak-anak dan kroni-kroninya merupakan amanat reformasi 1998, sebagaimana tertuang dalam Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Pasal 4 Tap MPR XI/1998 berbunyi, "Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM".
Dugaan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sehingga sampai dirumuskan dalam Tap MPR seperti tersebut di atas, rupanya tidaklah berlebihan. Betapa tidak pada 20 September 2007, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank Group (WBG), menyatakan, mantan Presiden Soeharto menduduki peringkat pertama sebagai pencuri aset negara, yaitu sebesar US$ 15 miliar - US$ 35 miliar dari kurun waktu 1967 - 1998.
Pertanyaannya adalah bisakah pemerintah sekarang dalam hal ini Kejagung mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan kroni-kroni Soeharto, baik secara pidana maupun perdata, sebagaimana diamanatkan Tap MPR tersebut.
Masih Rezim Soeharto
Sudah 10 tahun reformasi, amanat Pasal 4 Tap MPR tersebut belum ada hasilnya. Jaksa Agung berganti, tetapi tidak ada terobosan untuk melaksanakan amanat itu. Saat ini Kejagung tengah menggugat Soeharto secara perdata melalui keenam anaknya atas dugaan penyimpangan dana Yayasan Supersemar, yang sidangnya masih berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Namun, sebagian masyarakat kurang berharap Kejagung bisa menang karena Kejagung tidak terlalu progesif.
Pada 31 Agustus 2000, pemerintahan BJ Habibie dalam hal ini Kejagung mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan, yakni di PN Jaksel.  Jaksa Penuntut Umum (JPU), Muchtar Arifin, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung, mendakwa Soeharto melakukan korupsi atas tujuh yayasan yang dimiliki Soeharto, yang merugikan negara senilai Rp 1,7 triliun.
Namun, tuntutan terhadap Soeharto berhenti karena Soeharto mengalami sakit permanen. Berdasarkan itulah Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, pada 12 Mei 2006, mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto, walaupun banyak masyarakat memprotesnya.
Banyak kalangan berpendapat, kalau Kejagung mau kasus dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto diusut tuntas, maka pengadilan terhadap Soeharto bisa dilakukan secara in absentia. Seperti advokat kondang, Adnan Buyung Nasution, mengatakan, pengadilan Soeharto bisa dilakukan secara in absentia. Setelah Soeharto dinyatakan bersalah, kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu, maka negara dan masyarakat mengampuninya; dan uang negara yang dikorupsinya diambil untuk negara.
Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian Sihombing, mengatakan, kalau Soeharto tidak diadili secara pidana maka pemerintah sejak awal menggugatnya secara perdata. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan harta negara yang dicuri Soeharto.
Sedangkan menurut Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Peter Mahmud Marzuki, diperlukan inisiatif untuk mengembalikan aset yang telah dicuri rezim yang memerintah secara otoriter dan marak korupsi. Biasanya setelah rezim yang otoriter dan korup itu tumbang, penggantinya segera mengeluarkan suatu dekrit apa pun namanya untuk membentuk suatu lembaga tertentu atau melakukan tindakan tertentu yang ditujukan untuk mengusut aset negara yang diperkirakan telah dicuri rezim otoriter. Hal seperti ini, kata Peter, sudah dilakukan Filipina,tidak lama setelah Presiden Marcos tumbang.
Lalu mengapa pemerintah reformasi yang dipimpin Habibie, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak melakukan itu? Banyak analis politik dan ekonomi berpendapat pengusutan kasus dugaan korupsi oleh Soeharto tidak dilakukan karena pemerintahan reformasi adalah pemerintah Soeharto jilid II. "Pemerintahan reformasi, kecuali pemerintahan Gus Dur, adalah pemerintah Orde Baru jilid II," kata ekonom Faisal Basri.
Dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana dirumuskan Stephen D Krasner, seperti dikutip Arief Budiman, rezim lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa negara (Arief Budiman, 1997: 86 - 87).
Mengacu pada dua pengertian rezim itu, maka tidak berlebihan kalau kita mengatakan, pemerintahan reformasi, terutama pemerintahan sekarang, adalah pemerintahan yang masih dikuasai rezim Soeharto. Pada kabinet Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan terutama kabinet Yudhoyono banyak sekali kroni Soeharto.
Oligarki Berkaki Tiga
Rezim Soeharto begitu kuat, dan mungkin masih untuk beberapa periode ke depan, karena sistem ekonomi-politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun adalah sistem oligarki. Sistem ini melahirkan pengikut setia yang turun-temurun.
Sistem ekonomi-politik oligarki menurut filsuf Yunani, Plato, sebagaimana dikutip Aditjondro, adalah suatu bentuk masyarakat dimana kekayaan menentukan kekuasaan, dimana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya, sementara orang miskin tidak mempunyai kekuasaan apa-apa (George Junus Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, LKiS Yogyakarta, 2006, hal 4).
Menurut Aditjondro, oligarki yang dibangun Soeharto adalah oligarki berkaki tiga. Oligarki pertama adalah "istana", yang merupakan lingkaran dalam oligarki ini. "Istana" bukanlah berarti sebuah gedung yang merupakan tempat tinggal resmi Presiden, melainkan keluarga besar Presiden yang meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal di luar istana.
Oligarki kedua adalah "tangsi", yang sekaligus merupakan lingkaran pelindung pertama dari "istana". Menurut Aditjondro, "tangsi" bukanlah mengacu pada tempat tinggal tiga kesatuan dan Polri, melainkan komunitas militer dan polisi dari para purnawirawan, perwira tinggi, sampai pada para prajurit yang bertugas memelihara kepentingan modal besar.
Tugas itu, kata Aditjondro, bukan semata-mata dijalankan karena ketaatan pada perintah atasan, melainkan karena kesatuan TNI telah diikat kesetiaannya pada keluarga batih Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan Polri.
Selesai menjalankan dinas kemiliteran mereka, para mantan Panglima Daerah Militer (Pangdam), Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal), Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) dan Kapolri banyak yang diangkat menjadi komisaris pada berbagai perusahaan keluarga Soeharto.
Selain itu, sebelum dapat diangkat menjadi Panglima TNI, para perwira tinggi itu dibina kesetiaan mereka menjadi ajudan pribadi Soeharto, istri dan keenam anaknya.
Oligarki ketiga adalah partai penguasa, yang ketika Soeharto menjadi Presiden bernama Golongan Karya (Golkar). Kaki ketiga ini, kata Aditjondro, adalah benteng perlindungan kedua untuk berbagai bisnis istana, yang sekaligus berfungsi menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga istana.
Dengan ketiga jalurnya, yakni jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi), dan jalur G (kader Golkar yang asli, yang berasal dari tiga ormas pendiri Golkar, yakni MKGR, Kosgoro, dan SOKSI), partai penguasa ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana, dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto.
Sampai sekarang, kroni-kroni Soeharto adalah mereka-mereka yang diuntungkan dan dibesarkan dalam tiga oligarki tersebut. Kroni itu mulai dari konglomerat, pemilik media massa, TNI dan Polri, baik yang masih aktif maupun sudah purnawirawan.
Selain itu, ada juga yang duduk di pemerintahan, DPR dan sebagai pejabat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Berdasarkan itu, gagasan mengusut dugaan korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto adalah sesuatu yang utopis, mustahil terjadi, terutama oleh pemerintah sekarang.
Coba simak pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji di DPR, Rabu (6/2), ketika ditanya mengenai pengusutan tindak pidana korupsi yang dilakukan kroni mantan Presiden Soeharto. Ia mengatakan, sejauh ada alat bukti yang menunjukkan ada tindak pidana yang dilakukan kroni mantan Presiden Soeharto, Kejaksaan akan menangani perkaranya sesuai koridor hukum.
Meski demikian, harus dirumuskan lebih dahulu, apakah dalam perbuatan itu ada tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Menurut Hendarman, hingga kini Kejaksaan belum memiliki satu pun alat bukti yang berkaitan dengan dugaan korupsi kroni Soeharto.
Beranikah aparat penegak hukum, mengusut anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya? Uli Parulian Sihombing masih berharap kepada pemerintah sekarang. Mantan Direktur LBH Jakarta ini, mengatakan, kasus hukum Soeharto, anak-anak dan kroni-kroninya, terutama kasus korupsi, merupakan utang yang harus "dilunasi" pemerintah untuk bangsa dan negara. "Yang terpenting Jaksa Agung mempunyai kemauan politik untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi Soeharto," kata dia.
Indonesia, kata Uli, harus belajar dari pengusutan korupsi mantan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina dan Alberto Fujimori di Peru membutuhkan waktu dan komitmen politik untuk menghadapi semua rintangan.
4.      AMANDEMAN KONSTITUSI
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie, adalah :
1.      untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,
2.      memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
3.      menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
4.      menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
5.      menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan,
6.      melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
7.      menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
MPR melalui alat kelengkapannya yaitu Badan Pekerja Majelis menurut Husnie, telah berhasil melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari sembilan pasal yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden serta pemberdayaan lembaga legeslatif yaitu DPR.
Tiga hal yang melandasi perubahan UUD 45 menurut Akbar adalah :
ü  para founding fathers menyadari bahwa UUD 45 merupakan konstitusi kilat. “Bung Karno dan Bung Hatta menyadari suatu hari generasi penerus akan menyempurnakan UUD 45,”
ü  pada prakteknya UUD 45 dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan pemerintahan yang pada akhirnya cenderung sentralistik. “Pemerintah menggunakan untuk memperkuat kekuasaan kalau tidak mau dibilang otoritarian,”
ü  tuntutan yang kuat dari rakyat kebanyakan yang pada akhirnya sepakat untuk melakukan amandemen konstitusi.
Meski telah empat kali diamandemen, Akbar menegaskan bahwa yang berubah hanyalah batang tubuh UUD 45, bukan Pembukaan UUD 45. “Pembukaan tidak boleh diubah karena disana termaktub pernyataan bentuk, ideologi dan tujuan berbangsa bernegara,” tegasnya. Menurut Akbar, Pembukaan UUD 45 adalah fundamental karena memuat prinsip dasar negara yang telah disepakati bersama.
1)   Hak mengeluarkan pendapat
2)   Hak Angket : hak untuk menyelidiki kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
3)   Hak Interpelasi : hak untuk meminta penjelasan pemerintah terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan
Selain ketiga hak di atas, anggota dewan juga memiliki beberapa hak seperti hak budget, hak imunitas, hak protokoler, hak legacy, dan hak-hak lainnya.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2). DPR mempunyai hak:
a.    meminta keterangan kepada Presiden;
b.    mengadakan penyelidikan;
c.     mengadakan perubahan alas rancangan undangundang;
d.    mengajukan pernyataan pendapat;
e.     mengajukan rancangan undangundang:
f.     mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangundangan;
g.    menentukan anggaran DPR.
Selain hak-hak DPR sebagaimana yang dimaksud ayat (3), yang pada hakekatnyamerupakan hak-hak anggota, Anggota DPR juga mempunyai hak:
a.    mengajukan pertanyaan;
b.   protokoler;
c.    keuangan/administrasi.
Hak Inisiatif adalah hak untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda), merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh anggota DPR/D untuk melaksanakan fungsinya di bidang legislasi.
Hak amandemen, hampir sama dengan hak inisiatif, adalah hak untuk mengajukan Perubahan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda).
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
5.      PENCABUTAN DWIFUNGSI TNI/POLRI
Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni, dan represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat. Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.
Dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat. Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela negara adalah jalan yang terbaik
Dimensi Kedua, Pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.
6.      PEMBERIAN OTONOMI DAERAH SELUAS-LUASNYA
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1.      Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2.      Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.      Keadilan.
4.      Pemerataan.
5.      Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.      Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.      Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.




Perlukah Reformasi
  Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Pemerintah Orde Baru yang di pimpin oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun , ternyata  tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekan awal munculnya Orde Baru. Tekad awal Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila & UUd 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan maka muncul suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status QUO. Hal ini menimbulkan akses – akses negatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dilakukan, penyimpangan dari nilai – nilai pancasila & ketentuan – ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

2.      Krisis Politik
Ada kesan kedaulatan rakyat berada ditangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa dalam UUD 1945 pasal 2 telah disebutkan bahwa “ kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oelh MPR “.
Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan  reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang di pandang serat dengan nuasa KKN. Gerakan reformasi juga menuntut agar di lakukan pembaharuan terhadap lima paket UU politik  yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, diantaranya :
o       UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
o       UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPR / MPR
o       UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik  dan Golonan Karya
o       UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
o       UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Namun, setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan mei 1997, situasi politik di dalam negeri indonesia mulai memanas.
Tuntutan masyarakat terhadap perubahan kebijakan pemerintah tentang masalah politik, ekonomi, dan hukum terus menggelinding ke permukaan ibarat bola salju. Keberadaan partai – partai yang ada dilegislatif seperti PPP, Golkar, PDI, di anggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kondisi dan situasi politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik dalam kehidupan masyarakat maupun pemerintahan di Indonesia.
            Sepanjang tahun 1996 terjadi pertikalan sosial politik di dalam kehidupan masyarakat, seperti pada bulan Oktober 1996 terjadi kerusuhan di Situbondo ( Jawa Timur ), Bulan Desember 1996 terjadi kerusuhan di Tasik Malaya ( Jawa Barat ) di Sanggau Ledo ( Kalimatan Barat ) yang kemudian meluas ke Singkwang dan Pontianak.
            Pemilihan umum tahun 1997 di tandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak, PPP berhail menambah beberapa kursinya di DPR dan PDI mengalami penurunan secara drastis.

3.      Krisis Hukum
Pelaksanaan pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman  yanga di nyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekusaan yang merdeka  dan terlepas  dari   kekuasaan pemerintah   ( eksekutif ).
Sejak munculnya Gerakan Reformasi yang di motori oleh kalangan mahasiswa masalah hukum juga menjadi  salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukan masalah – masalah hukum pada kedudukan  atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum hendaknya di percepat untuk di lakukan, karena merupakan suatu tuntutan agar siap menyongsong era ketertiban ekonomi dan globalisasi.

4.      Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara – negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.
Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah dari Rp. 2.2750.00 menjadi 2.603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, ternyata nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mencapai Rp. 5.000.00 per dollar. Bahkan pada bulan maret 1998 telah mencapai Rp. 16.000.00 per dollar Amerika Serikat.
            Ketika nilai tukar  rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 0 % dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasinya sejumlah Bank pada akhir tahun 1997.
            Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi  aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk karena pada Tahun 1997 Persedian Sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis.
            Fakror lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Penyimpangan terhadap pasal 33 UU 1945 dan pola pemerintahan yang sentralistik.

Ø      Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara, sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari 1998 yang disampaikan oleh Radius Prawiro pada sidang Dewan Pemantapan ketahanan ekonomi yang di pimpin Presiden Soeharto di Bina Graha mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.

Ø      Penyimpangan pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru  sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian pancasila. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, Produksi di kerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota – anggota masyarakat.

Ø      Pola Pemerintahan Setralisis
Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat Sentralisis. Pelaksanaan politis sentralisis yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah – daerah di angkut ke pusat. Pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak, karena dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.

5.      Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto.
Demontrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan  kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa itu terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya 4 ( empat ) orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartato, Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan.
            Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah yang di pandang tidak demokratis dan tidak merakyat. Tragedi Trisakti juga telah menyulut terjadinya kerusuhan dan penyerahan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Sekitarnya.





Turunnya Soeharto

Rakyat merasa tertekan dengan keadaan itu. . . MeLakukan Demo untuk menjatuhkan Seoharto dari tampuk Presiden. . . Dengan demo besar2an anatara mahasiswa SeLuruh Indonesia yang merapat d'jakarta dan akhirnya terjadi tawuran yang meneganggkan antara mahasiswa dengan KEPLOSIAN. . . TNI/ABRI. . . Saat itu puLa terjadi Tragedi Tri Sakti, Semanggi. . . Betapa tidak, banyak korban berjatuhan. . .

Banyak korban berjatuhan, dan parahnya Lagi perempuan menjadi kebiadaban hawa nafsu. . . Tidak sampai di situ. . . Etnis Tionghoa atau chinesse yang ada d'jakarta menjadi korban pembunuhan. . . Saya kurang mengerti knapa Warga Etnis juga menjadi sasaran pembunuhan. . .

5. SeteLah situasi makin merajaLeLa, akhirnya Presiden Menyatakan akan mengundurkan diri dari tampuk Presiden saat itu puLa. . . Presiden Di Istana Merdeka, Kamis 21 Mei 1998, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden. . . Itu diLakukan karena kerusuhan yang sangat besar beserta penjarahan d'jakarta. . .

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura  yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun 1998.

Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).

Seusai Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga. (Tim Kompas)

Tercapaikah Reformasi
Reformasi 1998 berhasil menjatuhkan pemerintahan rezim Soeharto, tetapi belum berhasil membangun tatanan demokrasi baru yang ideal. Saat ini bangsa Indonesia justru terjerat oleh berbagai masalah serius, KKN yang terus merebak, penegakan hukum yang lemah, dan sistem ketatanegaraan yang masih carut marut. Sejumlah kasus pada akhir era Orde Baru seperti kerusuhan Mei 1998, serta kasus Trisakti dan Semanggi I-II hingga saat ini belum tertuntaskan. Saat ini masyarakat disibukkan dengan kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang yang justru dilakukan oleh tokoh-tokoh politik yang dulu gencar menyuarakan reformasi yang anti-KKN.

”Saya heran dengan kondisi saat ini. Dahulu, Orde Baru dikoreksi oleh era reformasi karena ditengarai melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, sejumlah tokoh reformasi yang sekarang berkuasa justru terlihat makin serakah terhadap kekuasaan dan korupsi,” ujar Effendy Choirie, anggota Komisi I DPR.

Koordinator lapangan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Nelson Ladutubun, mengatakan, masih banyaknya rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan merupakan indikasi lain reformasi masih jauh dari harapan yang dicita-citakan saat Presiden Soeharto lengser dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Menurut Syarif Makhya pada situs warta digital antaralampung.com, telah terjadi disorientasi pada kalangan kaum elite politik yang sekarang memegang kekuasaan.

“Orientasinya, bukan lagi menjalankan amanah kekuasaan dengan baik, tetapi telah bergeser pada kepentingan merebut dan melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara” ujar Syarif.

Disorientasi inilah yang menyebabkan masih maraknya tindak KKN dan suburnya politik uang dikalangan pilitisi sekarang ini. Effendy Choirie menambahkan bahwa politisi sekarang lebih memilih memainkan politik uang untuk mencapai tujuan mereka.


Peranan Mahasiswa

Siklus gelombang nasionalisme 20 tahunan di Indonesia, di jaman orde baru dapat dihambat dengan kekuatan militer. Di orde reformasi sekarang ini, para pemuda dan mahasiwa perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali nasionalisme gelombang keenam!

 Pemilu 2004 belum banyak menghasilkan harapan perubahan, karena pengikut Orba masih lebih banyak dan lebih mendominasi dari pada pendukung reformasi. Nasionalisme yang perlu diwujudkan di gelombang keenam ini adalah bukan nasionalisme di gelombang-gelombang sebelumnya. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme gelombang keenam ini tidak dapat dibebankan pada pundak pejabat negara, perwira militer, atau kalangan intelektual saja, tetapi juga perlu mendengar dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan.

 Dalam setiap “revolusi” nasionalisme, peran pemuda dan mahasiswa tak pernah absen. Tetapi selama ini peran mereka hanya sebatas ‘menurunkan dan mengganti sopir’, kemudian mendorong mobil Indonesia hingga bisa jalan lagi, saat sopir baru perlu adaptasi mengemudi, karena sering tak pernah berpengalaman nyopir negara.

 Setelah mobil jalan, mereka ketinggalan dalam cucuran keringat, kehabisan tenaga bercampur dengan asap knalpot mobil yang sudah melesat jauh meninggalkannya. Mau tidak mau, pergantian pemegang tongkat estafet generasi pasti terjadi. Dan hanya mereka yang berpengalaman profesional saja-lah yang akan dapat membangun kembali bangunan rumah Indonesia menjadi lebih baik, melindungi dan menyejahterakan seluruh penghuninya, menuju masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin, sebagai perwujudan nasionalisme gelombang keenam.

 Peranan mahasiswa dalam sejarah bangsa, secara nyata terbukti pada saat mahasiswa tampil sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Tampilnya mahasiswa telah cukup banyak memberikan sumbangan berarti dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru misalnya, berawal dari kehendak dan kemauan kuat mahasiswa untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia yang telah sekian lama berada di bawah kekuasaan otoriter dan represif. Apa yang diusung oleh mahasiswa pada saat itu merupakan representasi seluruh kepentingan rakyat Indonesia yang telah mengalami pahitnya pemerintahan Orde Baru.

 Dalam setiap perjuangannya, mahasiswa mesti selalu berpegang teguh pada nilai-nilai di atas. Melalui kemampuan intelektualnya  yang dimiliki mahasiswa mengakomodasi harapan dan idealisme masyarakat yang kemudian terbentuk dalam ide-ide atau gagasannya. Ide dan gagasan itu merupakan kontribusi paling bermakna dalam cita-cita pembaruan dalam konteks kebangsaan. Kekuatan inilah yang menjadi semangat dasar perjuangan pemuda / mahasiswa yang telah melahirkan ide-ide sumpah pemuda.

 Kedua, sumpah pemuda juga telah membawa misi tentang kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Semangat persatuan dan kesatuan merupakan semangat yang mencirikan sekaligus mendasari gerakan sumpah pemuda.  Para mahasiswa pada waktu itu telah merasakan gagalnya perjuangan yang bersifat parsial-kedaerahan, karena itu usaha menggalang persatuan dan kesatuan seluruh elemen masyarakat merupakan sebuah keharusan.

 Kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan itu kemudian terungkap secara simbolis dalam tiga butir rumusan sumpah pemuda; tanah air yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia. Sudah sejak lama, kaum muda/mahasiswa menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam meraih serentak mempertahankan kemerdekaan.

 Pemuda / mahasiswa pada masa itu telah berhasil membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan bagi segenap rakyat Indonesia yang secara faktual-obyektif terdiri dari pluralitas suku, ras, agama, budaya dan bahasa. Perjuangan mahasiswa era “sumpah pemuda” telah berhasil mempersatukan pandangan dan aksi segenap masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan.

 Keberhasilan mahasiswa di era pra-kemerdekaan, yang juga muncul pada gerakan-gerakan selanjutnya, misalnya gerakan reformasi 1998, tentu masih menyisakan pertanyaan tentang masa depan perjuangan yang mesti dijawab oleh mahasiswa zaman ini. Masa depan perjuangan itu terangkai dalam perjuangan mengatasi pelbagai tantangan bangsa.

 Menurut F.Magnis Suseno, tantangan bangsa terangkum dalam tiga pokok persoalan.  Pertama, tantangan untuk mempertahankan negara kesatuan. Kedua, tantangan untuk mewujudkan solidaritas-keadilan sosial. Ketiga, tantangan untuk mewujudkan demokrasi, di dalam negara hukum yang menghormati HAM (VOX Seri 44/1,2/2000).

 Tantangan bangsa ini menuntut mahasiswa untuk tampil pada garda terdepan sebagai agen pembaharu. Kesadaran akan wawasan kebangsaan mengharuskan mahasiswa berjuang secara holistik, menyeluruh dalam perspektif kerakyatan, solidaritas, dan keadilan sosial. Apa yang menjadi spirit perjuangan mahasiswa “sumpah pemuda” mestinya juga mewarnai setiap gerak langkah perjuangan mahasiswa sekarang dalam menjawab persoalan bangsa Indonesia.

 Mahasiswa yang telah mengukir kesuksesan pada awal pergerakan kemerdekaan kembali diminta peranan dan tanggung jawabnya. Mereka yang telah terbukti menampilkan perannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat ditantang untuk menghidupi semangat yang sama dalam menjawabi setiap persoalan yang ada. Karena itu, mahasiswa mestinya merasa dipanggil untuk menyelamatkan situasi bangsa yang kian bobrok ini.

 Apa yang menjadi ciri khas perjuangan mahasiswa “sumpah pemuda” mestinya juga menjadi bagian dari perjuangan mahasiswa masa sekarang.
Mahasiswa adalah sosok intelektual yang menduduki posisi dan peran khusus dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Posisi dan peran khusus itu selain dimungkinkan oleh kepemilikan pengetahuan yang luas juga oleh kepemilikinan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan jati diri intelektualnya. Pengetahuan dan nilai-nilai dasar itu hendaknya dibuktikan dalam setiap teladan hidup dan perjuangan mahasiswa.

Seorang mahasiswa mestinya memiliki pengetahuan yang luas untuk bisa mengkritisi perbagai ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Karena itu, minat baca yang tinggi dan kebiasaan untuk melakukan refleksi kritis terhadap perbagai fenomena yang muncul amatlah dianjurkan dan mesti menjadi menu harian para mahasiswa.

Adalah sebuah ironi besar bahkan sebuah penyangkalan terhadap jati dirinya sendiri apabila mahasiswa asing dari buku-buku yang memuat segudang ilmu pengetahuan dan asing dari realitas masyarakat sekelilingnya. Mahasiswa mestinya memiliki semangat untuk mencari dan memiliki ilmu pengetahuan. Namun, akumulasi pengetahuan yang diperoleh dalam bangku kuliah itu pada mestinya selalu diaplikasikan dalam setiap konteks persoalan masyarakat. Kiprah seorang mahasiswa tidak hanya terbatas dalam tembok-tembok kampus atau dalam bangku kuliah tetapi senantiasa digemakan keluar terutama dalam menjawab setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Mahasiswa mestinya mampu menangkap perbagai fenomena timpang yang terjadi di sekitarnya, untuk kemudian dikritisi dan dicari alternatif  atau solusi atasnya. Pemanfaatan inteligensi yang tinggi seperti yang telah mendasari perjuangan mahasiswa era pra-kemerdekaan, mestinya juga mendasari perjuangan mahasiswa saat ini. Karena itu, kebiasaan-kebiasaan yang tidak menunjukkan pemanfaatan inteligensi atau berada di luar ciri jati diri intelektualitasnya mestinya ditinggalkan.

Fenomena absurditas intelektual, keterlibatan dalam praktik kekerasan dan pelanggaran HAM, pesta pora dan hedonisme, gaya hidup konsumtif, seks bebas, lemahnya minat membaca dan berdiskusi, kurangnya minat belajar, serta rendahnya minat berorganisasi yang sekarang ini menjadi ciri kehidupan para mahasiswa umumnya, mestinya ditinggalkan jauh-jauh.

Mahasiswa pada hakikatnya memiliki kemampuan yang khas dan unik yang sulit ditemukan pada anggota masyarakat kebanyakan. Kekhasan itu justru terletak pada nilai-nilai dasar yang menjadi landasan jati diri intelektualitasnya, dan nilai-nilai itu amat inheren dalam identitasnya sebagai seorang mahasiswa. Dunia mahasiswa adalah dunia akademik yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar seperti kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, dan objektivitas.

Yang diharapkan dari mahasiswa adalah upaya perealisasian nilai-nilai dasar tersebut dalam setiap kiprahnya dalam lembaga pendidikan dan terutama di tengah masyarakat. Perealisasian nilai-nilai dasar itu selain melalui sikap dan teladan hidup hariannya, juga mesti direalisasikan dalam setiap upaya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Perjuangan mahasiswa, dalam aksi demonstrasi misalnya, hendaknya bukan dilandasi oleh sikap primordial-kedaerahan, atau demi keuntungan eksklusif orang atau kelompok tertentu, melainkan demi menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Hanya dengan ini mahasiswa mampu menghidupkan kembali rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Nilai-nilai universal kemanusiaan adalah nilai-nilai yang senantiasa didambakan oleh setiap orang. Nilai-nilai itu dapat mempersatukan dan membangun solidaritas semua orang. Mahasiswa dipanggil untuk mewujudkan itu ditengah masyarakat. Peringatan hari Sumpah Pemuda tahun ini, hendaknya menjadi momen refleksi dan momen pembaharuan bagi mahasiswa dalam upaya menghidupkan kembali semangat dasar yang telah ditanamkan oleh pendahulu mereka di masa pra-kemerdekaan.

Melihat dari kacamata pendidikan, mahasiswa mempunyai peranan penting dalam mengawal perjalan reformasi guna mencapai cita-cita reformasi yang sesuai dengan tujuan bangsa dalam pembukaan UUD 1945. Sebagai calon pemegang tampuk kekuasaan, perlu adanya pembinaan dini di dunia kampus mengenai pendidikan berpolitik. Apalagi melihat trend sekarang ini, banyak politisi muda yang mulai berkecimpung dan memegang peran legislatif maupun eksekutif di pemerintahan Indonesia. Namun kinerja politisi muda ini dirasa masih jauh dari harapan.

”Pertama, mungkin karena tidak sabar, ingin cepat kaya dan berkuasa dengan cara yang mudah. Kekuasaan dan kekayaan itu nikmat. Kedua, mungkin karena frustrasi setelah melihat KKN tetap marak. Akibatnya, mereka lalu berpikir, daripada idealis tapi tidak dapat apa-apa, lebih baik ikut KKN,” kata Effendy.

Hal serupa juga dapat dilihat ketika mahasiswa yang menyuarakan reformasi pada tahun 1998 yang kini telah menjadi elite penguasa, namun “komunitas” tersebut ironinya banyak terjerat kasus korupsi. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab yang dikemukakan oleh Effendy Choirie pada harian kompas,antara lainnya adalah motivasi berpolitik yang telah menyimpang dari memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi mendapatkan uang dan kekuasaan, dan kurangnya penopang untuk menjaga idealisme dan nilai-nilai dalam berpolitik. Selain itu penyebab lainnya adalah hilangnya jati diri bangsa (national identity) pada kalangan pemuda Indonesia. Tentunya kehiduan dikampus sangat berpengaruh terhadap pembentukan jati diri dan budaya para generasi muda.

Sebenarnya apabila menilik dunia kampus sekarang ini, kemerosotan jati diri dan idealisme telah banyak terjadi sejak di masa kuliah. Tindak-tindak yang menjadi cikal bakal korupsi pun telah biasa terjadi. Sebut saja tindakan mencontek saat ujian, plagiarisme dalam mengerjakan tugas, hingga fenomena “titip absen” telah menjadi hal yang biasa di kalangan mahasiswa. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan apabila mengacu pada cita-cita reformasi yang anti KKN. Fenomena lain yang banyak terjadi di kalangan mahasiswa adalah berkurangnya jiwa sosial dan kepedulian terhadap sesama. Mahasiswa cenderung apatis tehadap isu sosial yang ada disekitatnya. Hal ini mendorong sifat mementingkan diri sendiri yang nantinya akan menjadi awal dari sikap tidak amanah dan penyelewengan wewenang apabila menjadi elite penguasa kelak. Boleh jadi mahasiswa yang melahirkan gerakan reformasi dan mengawal pelaksanaan reformasi malah menjadi pihak yang mejadikan cita-cita reformasi kelak jauh dari kata terwujud. Perlu adanya perubahan budaya pada dunia kampus, dan harus dimulai tidak lain oleh mahasiswa itu sendiri. Mulai dari hal kecil dan sekarang ini juga. Semua kegiatan pendidikan baik formal mauapun non formal harus mengacu pada butir-butir pancasila dan sesuai dengan semangat serta cita-cita persatuan. Budaya-budaya yang mengacu pada tindakan korupsi yang telah disebutkan sebelumnya harus segera dikikis untuk mencegah timbulnya mental korupsi di kalangan mahasiswa. Hal tersebut juga menjadi penting adanya untuk mencegah merosotnya idealisme yang dulu sempat identik dengan mahasiswa.

Tentunya tercapainya cita-cita reformasi bukan menjadi tanggungjawab pemerintah semata, namun juga tanggungjawab semua pihak. Mahasiswa yang menjadi pengawal pelaksanaan reformasi perlu membenahi diri sejak dini agar tidak terjadi shock culture ketika mendapat giliran menjalankan amanah reformasi dari generasi sebelumnya. Apabila kerjasama yang apik dari semua pihak dapat terlaksana, bukan mustahil suatu saat cita-cita reformasi akan dapat terwujud sepenuhnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Peranan Pancasila

Pancasila dibaikan dalam tata pemerintahan
Sebagai Dasar negara Pancasila seharusnya mampu dijadikan sebagai landasan pemerintahan.
Pancasila sebagai pengatur Ideologi bangsa

Nilai Dasar Pancasila.  Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki
latar belakang sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistem nilai dan filsafat, baik nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai nonreligious (sekular, atheisme). Tegasnya, setiap bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious atau non-religious. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, telah hidup dengan hidup keagamaan yang kuat sebagai landasan moral dalam kehidupan ketaanegaraannya. Keberadaan peninggalan candi seperti candi borobudur, prambanan, dan situs peninggalan keagamaan lainnya merupakan bukti tentang kehidupan bangsa Indonesia yang religius sejak dulu. Dan hal ini menjadi pedoman hidup dasar bangsa Indonesia yang berkeTuhanan.

Selanjutnya, prinsip yang tertuang dalam sila kedua Pancasila, merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai budaya bangsa indonesia yang beragam. Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang mengagungkan manusia sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam.

Sementara itu, menyadari keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan belajar dari pengalaman masa penjajahan, maka persatuan bangsa Indonesia  menjadi tuntunan hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Justru dengan kemajemukan yang dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat heterogen. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga keberadaannya.

Sila keempat merupakan bentuk kesadaran dan pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan pada perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi pilar kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun.

Globalisasi dan Era Reformasi.  Menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip keadilan merupakan kristalisasi keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Bagi generasi penerus bukan suatu hal yang mudah mempertahankan komitmen para pemuda pendahulu dan pendiri bangsa dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur pancasila. Dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional setiap jaman dan era kepemimpinan, sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus dalam menyikapi berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa.

Di satu sisi, trauma generasi muda terhadap sikap politik pemerintahan orde baru, telah melahirkan generasi muda era reformasi yang cenderung apatis dan tidak peduli terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Sementara disisi lain, era globalisasi beserta implikasinya telah merubah persepsi ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Ancaman bagi bangsa dan negara, tidak lagi diwujudkan dalam bentuk ancaman secara fisik, melainkan ancaman tampil dalam wujud dan bentuk ancaman yang lebih kompleks dan mencakup seluruh dimensi kehidupan nasional.

Potensi Ancaman dan Bela Negara.  Globalisasi yang didominasi oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah merubah pola hubungan antar bangsa dalam berbagai .aspek. Negara seolah tanpabatas (borderless), saling tergantung (interdependency) dan saling terhubung (interconected) antara satu negara dengan negara lainnya. Saat ini, tidak ada satupun negara di dunia yang mampu berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan warganya. Dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang semakin menguat melalui konsep pasar bebas dalam lingkup global maupun regional.

Tantangan terbesar generasi penerus saat ini adalah kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi informasi telah merubah hubungan antar negara dan pola hubungan antar manusia. Kehadiran internet dan teknologi komunikasi ikutan lainnya, memungkinkan manusia berhubungan dan berkomunikasi setiap saat dan tanpa batas. Di satu sisi, hal ini dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun disisi lain, teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melemahkan ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan suatu negara. Hal ini telah dibuktikan dengan munculnya berbagai ketidakstabilan beberapa negara yang diakibatkan oleh pembentukan opini publik dan penyebaran dokumen-dokumen rahasia melalui situs-situs yang memanfaatkan jaringan internet.

Pada era reformasi perkembangan situasi nasional cukup memprihatinkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul secara bergantian di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadinya perubahan emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi masyarakat, merupakan cerminan merupisnya secara signifikan terhadap pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Dampak demokratisasi yang tidak terkendali dan tidak didasari dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai Pancasila yang lebih mementingkan keseimbangan, kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan manusia dengan manusia.

Hal ini juga dirasakan dan diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu Megawati dalam sambutannya di depan sidang MPR RI pada tanggal 1 Juni  2011 dalam rangka memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie manyampaikan ” …....sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitlk “, Ibu Megawati juga menyampaikan bahwa “…………….dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketatanegaraan kita”.

Ekspresi dan kegundahan kedua tokoh nasional tersebut, tentu merupakan bentuk kegelisahan yang harus dijadikan tolok ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap nilai – nilai luhur Pancasila. Hingga saat ini, Pancasila masih tampak kokoh berdiri mempersatukan berbagai komponen bangsa, suku bangsa, golongan dan etnik di bawah NKRI. Namun, bangsa ini harus berani jujur untuk mengakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara mulai kehilangan roh dan jiwa anak bangsanya.

Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk ancaman yang berkembang dewasa ini, kerapuhan jiwa dan semangat kebangsaan sesungguhnya merupakan potensi ancaman terbesar bagi keberlangsungan dan keutuhan bangsa. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan akan membangkitkan semangat dan kesadaran bela negara seluruh warga negaranya dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman. Empat pilar wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara merupakan unsur soft power dalam spektrum bela negara. Lebih jauh lagi, dalam konteks sistem pertahanan negara, pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan merupakan kekuatan moral pertahanan nir militer setiap warganegara dengan berbagai profesinya untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan negara.

a.Ketuhanan yang maha esa
Reformasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa suatu gerakan ke arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi, sehingga senantiasa bersifat dinamis yang selalu melakukan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus meningkatkan kehidupan keagamaan. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain, serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab berarti bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu, reformasi harus dilandasi oleh moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan reformasi mentargetkan ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai harkat dan martabat manusia yang secara jelas menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain atau oleh suatu golongan terhadap golongan lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia, semangat reformasi yang berdasar pada kemanusiaan menentang praktek-praktek yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, baik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul, maupun agama. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab, seperti membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek anarkisme. Reformasi yang berkemanusiaan pun harus memberantas sampai tuntas masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang telah sedemikian menakar pada kehidupan kenegaraan pemerintahan Orde Baru.

c. Persatuan Indonesia

Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri dari [raktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya separatisme, baik atas dasar kedaerahan, suku, maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan reformasi juga harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan karena permasalahan dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penataan kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya. Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu, semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis, seperti kediktatoran (baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung), feodalisme, maupun, totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu, penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangan, pada hakikatnya adalah untuk mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaiman terkandung dalam sila keempat Pancasila.

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Visi dasar reformasi haruslah jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara harus bertujuan untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, melainkan perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan, sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan hukum terutama aparat pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat



















Dampak yang terjadi

Ditengah usianya tersebut ternyata reformasi memiliki dua dampak sekaligus.

a.Dampak Positif
Yaitu reformasi telah menghasilkanmobilitas vertical, misalnya para politisi yang dapat memasuki kancah politik pasca reformasi. Kyai, ustadz, aktivis organisasi, dan kaum terpelajar kemudian memasuki kancah politik. Andaikan tidak ada reformasi, maka sangat tidak mungkinseorang aktivis organisasi, pengusuha, dan bahkankyai dapat menjadi bupati, gebernur apalagi menteri.

b.Dampak negative

yaitu reformasi telah menghasilkan banyak orang yang kemudian memasuki rumah tahanan (rutan), karena kesalahan yang dilakukannya. Rutan pun kemudian dimasuki oleh para terpelajar, kaum terdidik, para aktivis partai dan juga kaum birokrat. Seandainya tidak ada reformasi, maka juga kecil kemungkinan kyai, aktivis organisasi atau lainnya terjerat kasus politik seperti sekarang. Jadi reformasi bermata dua: positif dan negatif.


Reformasi memang menjadi arena berbagai tarikan kepentingan. Tarikan politik adalah yang paling menarik. Hingga saat ini pertarungan kepentingan begitu tampak menonjol. Dalam masa reformasi maka sudah terdapat beberapa kali pilihan umum. Benturan aturan pun juga tidak terhindarkan. Sebagai akibat reformasi di bidang hukum, maka berbagai gugatan tentang produk politik juga muncul luar biasa. Hal ini hampir tidak dijumpai di era Orde baru. Dalam sistem otoriter, maka nyaris tidak dimungkinkan adanya gugatan politik oleh partai politik yang kalah. Namun di era reformasi ini maka semuanya bisa melakukan gugatan hukum terhadap persoalan politik. Yang terakhir, pasca pilpres tentunya adalah gugatan terhadap keputusan KPU tentang penetapan daftar anggota legislatif terpilih. Ketika Mahkamah Agung membatalkan keputusan KPU tersebut maka pro-kontra pun terjadi. Bahkan juga sudah sampai tahapan saling mengancam akan mengerahkan massanya.

Negeri ini memang penuh paradoks. Anggota legislatif yang memiliki wewenang untuk melakukan legislasi, membuat aturan, kebijakan dan hal-hal lain yang terkait dengan perencanaan program pemerintah justru menjadi lembaga yang paling banyak disorot karena banyaknya kasus korupsi.
Oleh karena itu, agar didapati trust yang membudaya di masyarakat, maka semuanya harus bersia-sekata untuk melawan berbagai penyimpangan terutama yang terkait dengan program pemberdayaan masyarakat.












Refleksi
Belum semua cita-cita bangsa dapat dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi pertumbuhan suatu bangsa yang relatif masih muda (65 tahun), maka hasil yang dicapai dewasa ini tidak terlalu buruk, meskipun belum dapat dikatakan baik. Cita-cita yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 seperti: memajukan kesejahteraan umum (ekonomi), mencerdaskan kehidupan bangsa (pendidikan), dan melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (pertahanan & keamanan) masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Tantangan dalam bidang ekonomi meliputi antara lain;
·         masih tingginya pengangguran,
·         besarnya utang luar negeri,
·         kesenjangan ekonomi,
·         kuatnya pengaruh kapitalisme.
·         Bidang pendidikan mengalami kemajuan, namun pada tingkat pendidikan tinggi (universitas) ia belum menyentuh lapisan bawah. Fasilitas pendidikan di pedesaan umumnya memprihatinkan, karena jauh dari akses pusat kekuasaan.
·         Bidang pertahanan keamanan Indonesia jauh tertinggal di bandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia, Singapura, bahkan dengan Vietnam. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI dan Polri kebanyakan sudah berusia tua.


CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar