Lupus kaget banget waktu secara mendadak sepotong tangan halus mencolek
pundaknya. Tampangnya jadi blo'on nggak ketulungan, dan permen karet
yang sudah setengah jam dikunyahnya nyaris mencolot keluar. Di
hadapannya terpampang seraut wajah sumringah milik Fifi Alone, teman
sekelas Lupus yang (sok) kece. Tapi sayang, meski namanya pakai ‘alone’
di belakangnya, anak kece ini nggak pernah dipromosiin ke kamu-kamu,
soalnya udah ada yang naksir. Yaitu si Gusur, seniman sableng anak
bahasa. Jadi ya silakan kecewa aja.
Fifi pun melemparkan senyum legitnya,“Selamat ya, Pus, kapan kamu mau interview ogut? Calling dulu dong sebelumnya, biar entar ogut sediain waktu khusus buat you!” Interview? Setengah heran Lupus bertanya dalam hati. Tapi suara yang cenderung dimerdu-merduin dengan bahasa gado-gado dari Fifi, membuatnya tak berselera untuk meledakkan sumpah serapah.
“Dont be a fool, Pus. Kamu kan wartawan, kamu so pasti perlu artis untuk di-interview sebagai bahan tulisan di you punya majalah!?
“Ya, tapi apa hubungannya dengan kamu,Fi?”
Disodori pertanyaan kayak gitu, Fifi jadi tertawa manja.
“Wah, ke mana aja sih kamu, Pus? Belum tau ya kalo dua bulan lagi film perdana ike bakal keluar?”
“Film? Sejak kapan kamu main film? Apa nggak salah denger nih?”
“Of course not. Waktu saya pura-pura sakit, dan bolos sekolah selama tiga minggu lebih, kan lagi sibuk-sibuknya shooting tuh. Cuek aja, pelajaran ketinggalan nggak jadi soal. Yang penting bisa aku punya karir dulu. Ya nggak, ya nggak?
“Eh, ike yakin deh film perdana ike bakal sukses besar, mengalahkan ibunda-nya Teguh Karya. Sebab judulnya aja asyik, Menanti Langganan di Pintu Gerbang. Memang ada unsur seksnya dikit, tapi percaya deh, nggak terlalu murahan kok. Di film itu, kru-kru film banyak yang menilai permainanku bagus. Dan percaya nggak, katanya aku punya fans besar buat ngerontokin dominasinya Enny Beatrice. Makanya kamu interview ike deh, Pus. Mumpung ike masih punya waktu untuk itu. Kalo ditunda-tunda nanti keburu hari-hari ike habis untuk shooting. Mana bisa terima kamu lagi? Sebenarnya sekarang juga udah sibuk sih, kan ada tawaran main film lagi. Karena kita temenan, ya fifty-fifty deh. Kawan-kawan lain juga udah dibilangin, kalo pada mau minta tanda tangan, sekarang-sekarang aja. Nanti kalo udah ngetop kan repot berat!”
Panjang lebar Fifi Alone ngecap, sampai Lupus kesemutan. Perihal cewek satu ini ngidam pingin jadi artis sih udah bukan berita baru lagi. Dari dulu juga lagaknya suka sok artis. Seperti waktu anak-anak - termasuk Fifi - lagi pada antri masuk kolam renang sampai bergerombol-gerombol dengan anak sekolah lain, atau waktu pada rebutan naik bis pulang sekolah, Fifi denganen teng berbisik, “kamu tau nggak, Pus, kenapa mereka pada bergerombol desak-desakan begini?”
“Enggak, memang kenapa?”
“Mereka pada kepingin dekat-dekat saya. Maklum artis.”
Duile, Lupus sampai keki. Yang namanya antri di mana-mana juga saling berdesakan. Dan saking sok artisnya, Fifi akan protes keras kalo namanya ditulis sesederhana itu. Dia biasa menuliskan namanya dengan ‘Vieffy Alone’.
Memang dalam forum yang gak resmi, Lupus pernah juga berkomentar, “Sebetulnya mental untuk jadi artis sudah dimiliki Fifi, tapi kesempatannya aja yang belum ada.”
Makannya waktu Fifi dengan semangat proklamasinya menerangkan bahwa dia sudah membintangi sebuah film, Lupus setengah percaya setengah enggak. Yang membuat Lupus yakin, setahunya Fifi memang sempat ngebolos tiga minggu lebih. Tapi apa benar tindakan cuti ilegal itu dipergunakan untuk shooting film atau keperluan lain, nggak jelas juga. Lupus malah mengira dia lagi cuti hamil (hus!).
Lupus bimbang. Fifi memandang genit, sambil mendekikkan pipi gaya Marissa Haque.
“Ngomong-ngomong, apa peranan kamu difilm itu, Fi?”
Di tanya begitu, Fifi yang tadinya sempat bergenit ria jadi mendadak gelagapan. Tapi karena mental artisnya sudah kental melekat, dengan cepatia menguasai keadaan dan menjawab,
“Ah, perananku di sana sih memang nggak besar. Tapi percaya deh, tanpa aku film itu tak berartiapa-apa.”
“Semacam pemeran pembantu, begitu?”
“I think so. Cuma masalahnya kapan kamu mau interview, Pus?” Lupus belum sempat menjawab pasti, ketika bel masuk sekonyong konyong gedombrangan.
Fifi pun melemparkan senyum legitnya,“Selamat ya, Pus, kapan kamu mau interview ogut? Calling dulu dong sebelumnya, biar entar ogut sediain waktu khusus buat you!” Interview? Setengah heran Lupus bertanya dalam hati. Tapi suara yang cenderung dimerdu-merduin dengan bahasa gado-gado dari Fifi, membuatnya tak berselera untuk meledakkan sumpah serapah.
“Dont be a fool, Pus. Kamu kan wartawan, kamu so pasti perlu artis untuk di-interview sebagai bahan tulisan di you punya majalah!?
“Ya, tapi apa hubungannya dengan kamu,Fi?”
Disodori pertanyaan kayak gitu, Fifi jadi tertawa manja.
“Wah, ke mana aja sih kamu, Pus? Belum tau ya kalo dua bulan lagi film perdana ike bakal keluar?”
“Film? Sejak kapan kamu main film? Apa nggak salah denger nih?”
“Of course not. Waktu saya pura-pura sakit, dan bolos sekolah selama tiga minggu lebih, kan lagi sibuk-sibuknya shooting tuh. Cuek aja, pelajaran ketinggalan nggak jadi soal. Yang penting bisa aku punya karir dulu. Ya nggak, ya nggak?
“Eh, ike yakin deh film perdana ike bakal sukses besar, mengalahkan ibunda-nya Teguh Karya. Sebab judulnya aja asyik, Menanti Langganan di Pintu Gerbang. Memang ada unsur seksnya dikit, tapi percaya deh, nggak terlalu murahan kok. Di film itu, kru-kru film banyak yang menilai permainanku bagus. Dan percaya nggak, katanya aku punya fans besar buat ngerontokin dominasinya Enny Beatrice. Makanya kamu interview ike deh, Pus. Mumpung ike masih punya waktu untuk itu. Kalo ditunda-tunda nanti keburu hari-hari ike habis untuk shooting. Mana bisa terima kamu lagi? Sebenarnya sekarang juga udah sibuk sih, kan ada tawaran main film lagi. Karena kita temenan, ya fifty-fifty deh. Kawan-kawan lain juga udah dibilangin, kalo pada mau minta tanda tangan, sekarang-sekarang aja. Nanti kalo udah ngetop kan repot berat!”
Panjang lebar Fifi Alone ngecap, sampai Lupus kesemutan. Perihal cewek satu ini ngidam pingin jadi artis sih udah bukan berita baru lagi. Dari dulu juga lagaknya suka sok artis. Seperti waktu anak-anak - termasuk Fifi - lagi pada antri masuk kolam renang sampai bergerombol-gerombol dengan anak sekolah lain, atau waktu pada rebutan naik bis pulang sekolah, Fifi denganen teng berbisik, “kamu tau nggak, Pus, kenapa mereka pada bergerombol desak-desakan begini?”
“Enggak, memang kenapa?”
“Mereka pada kepingin dekat-dekat saya. Maklum artis.”
Duile, Lupus sampai keki. Yang namanya antri di mana-mana juga saling berdesakan. Dan saking sok artisnya, Fifi akan protes keras kalo namanya ditulis sesederhana itu. Dia biasa menuliskan namanya dengan ‘Vieffy Alone’.
Memang dalam forum yang gak resmi, Lupus pernah juga berkomentar, “Sebetulnya mental untuk jadi artis sudah dimiliki Fifi, tapi kesempatannya aja yang belum ada.”
Makannya waktu Fifi dengan semangat proklamasinya menerangkan bahwa dia sudah membintangi sebuah film, Lupus setengah percaya setengah enggak. Yang membuat Lupus yakin, setahunya Fifi memang sempat ngebolos tiga minggu lebih. Tapi apa benar tindakan cuti ilegal itu dipergunakan untuk shooting film atau keperluan lain, nggak jelas juga. Lupus malah mengira dia lagi cuti hamil (hus!).
Lupus bimbang. Fifi memandang genit, sambil mendekikkan pipi gaya Marissa Haque.
“Ngomong-ngomong, apa peranan kamu difilm itu, Fi?”
Di tanya begitu, Fifi yang tadinya sempat bergenit ria jadi mendadak gelagapan. Tapi karena mental artisnya sudah kental melekat, dengan cepatia menguasai keadaan dan menjawab,
“Ah, perananku di sana sih memang nggak besar. Tapi percaya deh, tanpa aku film itu tak berartiapa-apa.”
“Semacam pemeran pembantu, begitu?”
“I think so. Cuma masalahnya kapan kamu mau interview, Pus?” Lupus belum sempat menjawab pasti, ketika bel masuk sekonyong konyong gedombrangan.
•••
Bisa diduga bak api tersiram bensin, selang waktu yang tak lama SMA Merah Putih menjadi gempar. Di kantin, di ruang praktek, perpustakaan, semua sibuk mengomentari Fifi yang mendadak jadi bintang film beneran.
“Nggak nyangka, akhirnya cita-citanya kesampaian juga!” celetuk Boim terkagum-kagum.
“Ah, paling-paling dia main sabun sama produsernya!” timpal Ruri yang suka sirik, lantaran udah lama dia sedikit keki sama tingkah laku Fifi. Dan tentunya juga ngiri, kenapa Fifi bisa jadi bintang film, sedang dia nggak. Padahal menurut kaca di rumahnya, yang barangkali kalo bisa ngomong pasti dipelototi, wajahnya jauh lebih cakep kalo dibandingi si Fifi. Juga kata neneknya, yang barangkali aja agak kurang pergaulan sampai menyangka bahwa Ruri adalah gadis terayu yang pernah dia lihat. Makanya jangan heran, bila dia belajar dari pengalaman tersebut, lantas jadi keki nggak ketulungan.
Lupus yang menangkap ada getaran nggak enak dari nada ucapan Ruri, kontan ingin coba coba memancing di air butek.
“Main sabun gimana maksudmu, Rur? Bikin balon-balonan, gitu?”
“Goblok, kamu kan tau sendiri bagaimana situasi dunia perfilman saat ini? Banyak produser yang genit, dan banyak juga calon bintang yang nggak bermoral. Asal bisa nongol di satu film, dia rela melakukan apa saja untuk sang produser, atau sutradara. Orang yang paling memungkinkan seseorang bisa muncul di film. Termasuk buka-buka baju segala (iii...!). Nah, produsernya juga gila lagi. Tau orang butuh dan nggak berdaya, maka dipergunakan deh kesempatan itu sebaik-baiknya!” jelas Ruri sambil berlagak mengutak-atik soal matematika.
“Maksudmu Fifi terlibat kasus kayak gitu?”
“Ah, aku kan nggak bilang. Tapi setidaknya kamu bisa terka sendiri, bukan?” ada sunggingan senyum di sudut bibir Ruri ketika mengatakan itu.
•••
Meski sebenernya persoalan sepele, SMA Merah Putih ternyata memang sedang rame saat ini karena ulah Fifi. Ada yang pro dan kontra. Kalau teman dekat Fifi yang mendadak jadi sering ditraktir, tentu saja setuju dan mendukung karir Fifi. Sedang sebagian siswi yang merasa tersaingi, kontan menduga yang tidak-tidak mengenai keberhasilannya. Pendeknya, semua pembicaraan yang terjadi di anak-anak jadi seperti memantau gerak-gerik Fifi.
Dan Fifi terus terang aja jadi ke-ge-er-an banget diperhatiin kayak gitu. Wong, dasar mental artisnya sudah kuat melekat, dia nggak grogi sedikit pun. Bahkan tingkahnya kian mengartis saja. Seperti kalo ada kesempatan datang ke sekolah tanpa baju seragam, dia yang paling dulu memanfaatkan. Dengan kostum yang mengartis tentu saja. Baju kegombrangan, celana panjang, lengkap dengan setangkai kaca mata hitam bak tukang pijit. Kalau sudah begitu, doi selalu berkomentar,“ I always feel like everybody’s watchingme.”
Perbendaharaan bicaranya pun tak lepas dari soal perfilman, baik barat maupun Indonesia. India dia kurang suka. “Kuno!” katanya. Juga jajaran artis perfilman, hampir semua dia hapal. Disebutnyalah nama-nama beken seperti Ria Irawan, Meriem Bellina, Eva Arnaz, Marissa Haque, Ayu Azhari (kecuali Oma Irama), dan masih berderet lagi yang dia yakin bakal dilangkahinya.
Adapun yang paling merana dengan semua tabiat Fifi yang drastis adalah seniman sableng Gusur. Diam-diam dia juga memendam perasaan tertentu, meski nggak pernah kebales dan kian nggak kebales setelah desas-desus cewek incarannya menjadi bintang film semakin meluas. Kalau dulu – meski terpaksa – Fifi masih mau menoleh kepadanya jika berpapasan, sekarang nol sama sekali. Gusur kian merana, hampir saja tercipta sebait sajak frustrasinya (tapi nggak jadilantaran banyak pe-er yang harus dikerjakan).
Maka ketika suatu kali Gusur punya kesempatan berpapasan dengan Fifi, dengan harap cemas dicobanya untuk menegur. Tentu saja dengan gaya sastranya yang khas dan sudah menjadi cap dagangnya.
“Demi mentari pagi nan merekah di ufuktimur, Dara Fifi, kudengar dikau kini sudah mengalih diri menjadi bintang film.”
Ditegur begitu, oleh Gusur lagi, Fifi setengah nggak suka. Tapi masalahnya sudah menyangkut soal film, tak urung dijawabnya juga.
“Seperti yang you lihat, ike sekarang sudah bintang film, bukan? Kenapa tanya-tanya? Kurang yakin? Anda ketinggalan zaman sekali rupanya!” ujar Fifi komplet dengan kesombongan seorang bintang film. Gusur nginyem. Merana betul doi. Kalau kebetulan ada gitar, dia pasti sudah melampiaskan jeritan hatinya dengan kocokan gitar dangdut ala Camelia Malik.
“....Merana aku merana, Merana karena cinta...”
Tapi dasar seniman sableng, sambil menggerakan rambutnya yang rada gondrong, masih pula disambut ucapan Fifi secara ramah. Maklum aja, dia udah kepepet bener sih menggandrungi artis kita ini.
“Andai kutanyakan itu kepada engkau, bukanlah berarti tak ada rasa kepercayaan di hatiku nan biru. Namun kepastian darimu tentu akan lebih berarti dari desas desus bicara teman-teman.” Fifi baru akan menimpali ucapan Gusur ketika dari belakang Lupus memekik memanggil namanya.
“Gimana, jadi nggak kamu interview ike, Pus?” serang Fifi begitu Lupus sampe.
“iya deh. Minggu depan. Dan mudah-mudahan tulisannya tepat terbit bersama beredarnya film kamu.”
“It’s a good idea! Mari ngebakso. Tapi jangan lupa, jangan salah mengeja nama saya, ya? Vieffy Alone!”
•••
Tinggal beberapa hari sebelum film perdananya keluar, Fifi nampak makin royal di sekolah. Porsi jajannya jadi lebih. Gaya penampilannya makin mengartis. Banyak teman yang kecipratan rejeki, makan-makan gratis dikantin.
“Pokoknya semua ogut yang tanggung. Walau film ike baru satu, tapi buat ngejajani kalian sih nggak bakalan kedodoran,” katanya.
“Hidup Fifi Alone!” teriak teman-teman yang ditraktir. Pura-pura mendukung, Fifi makin jumawa. Gusur yang meski nggak diundang ikutan nimbrung di kantin, jadi melongo. Harapan semakin jauh. Hanya kepada Lupus, ia berani mengelupas isi kantongnya, eh, isi hatinya.
“Kamu harus sabar, Sur, kejar terus. Lama lama dia juga bosan, dan mau menerima perasaanmu itu. Katanya kamu punya ilmu santet. Pake aja,” saran Lupus sekenanya.
“Sialan. Namun sampai kapan saya harus bersabar? Tidakkah dia tahu betapa kalbu ini dirundung sendu menanti saat-saat seperti itu? Saat-saat sang dara pujaan mau berbaring didadaku!”
“Sabar, sabar, Sur. Sabar itu Subur. Buktinya jenggotmu makin lebat.”
“Rasa cintaku takkan pernah padam, meski hujan badai meredam. Demi mentari dan sepi malam hari, akan kucipta selaksa sajak cinta untuk sang juwita!” pekik Gusur bersemangat. Lupus kaget berat. Pinsil yang tadinya asyik digigit-gigit, hampir ketelan.
Tapi itu kemarin, sekarang semangat Gusur hampir kendor setelah menyaksikan sikap dan kemajuan Fifi di kantin. Sedikit lagi filmnya bakal keluar, dan dia tau apa yang bakal terjadi.
“Teman-teman tersayang, saya dengar besok malam film yang saya bintangi bakal masuk acara Apresiasi Film Nasional di TV. Nonton, ya? Kalian bisa lihat ike punya akting!” seru Fifi seraya mencomot sepotong pisang goreng. “ Dan jangan lupa, minggu depan tulisan tentang saya bakal terbit di majalahnya Lupus. Baca ya?” teriaknya lagi, ketika anak-anak pada mau pulang.
“Setuju!” teriak mendukung Fifi serentak. Kata setuju itu akhirnya melahirkan nota kontan Rp. 3.500,- kepada pemilik kantin. Sebelum membayar, Fifi meminta teman-temannya keluar sebentar. Takut pada kaget ngeliat duitnya yang bejibun, kali! (atau dia takut ketauan ngutang?)
•••
Besok malamnya ketika acara Apresiasi Film Nasional dimulai, ternyata tak sedikit siswa SMA Merah Putih yang nongkrong di muka tipi, kepingin menyaksikan permainan Fifi dalam film Menanti Langganan. Yang nggak punya tipi, sampe bela-belain nebeng di rumah tetangga, atau ikut nonton di tipi kelurahan yang gambarnya goyang-goyang terus. (Nggak bayar pajak‘kali!). tapi walhasil, ternyata film Menanti Langganan nggak jadi diputar. Entah apa sebabnya. Baru ketika besoknya pada sekolah, pertanyaan semalam terjawab. Menurut Fifi, produser filmnya kelupaan mengirimkan suntingan filmnya ke TVRI.
“Jadi kalau nggak dikirim, mana bisa TVRI memutarnya!”
Duile, anak-anak hampir pada kesel mendengar jawaban Fifi barusan. Tapi karena Fifi segera menjentikkan isyarat untuk ngebakso, ya apa boleh buat. Kemangkelan terpaksa urung. Makan sekenyang-kenyangnya, dan seperti biasa anak-anak disuruh keluar dulu sebelum Fifi membayar.
Beberapa minggu kemudian, saat yang sangat dinantikan, terutama oleh Fifi, itu pun tiba. Film Menanti Langganan beredar di pasaran. “Untuk teman-teman, mari kita barengan nonton pertunjukan perdana di Galaxy Teater. Jangan khawatir, ogut yang bayar,” teriak Fifi di tengah rasa bangganya. Anak-anak kembali berteriak setuju entah untuk yang keberapa kalinya.
“Tapi sebelumnya, saya kepingin ketemu Lupus dulu. Ke mana makhluk itu? Beberapa hari ini nggak kelihatan. Katanya tulisan tentang ogut bakal muncul bersamaan dengan keluarnya film ogut. Tapi pagi tadi ogut bela-belain beli majalah yang butut, kok nggak ada!”
Mereka rame-rame mencari Lupus. Dan anak itu diketemukan lagi ngeceng di lapangan olahraga.
“Ayo, kamu bohong ya, Pus. Katanya tulisan tentang ogut mau terbit sekarang. Kok nggak ada?” pekik Fifi sambil menepuk pundak Lupus. Sementara pendukungnya pada berbaris di belakang.
“Kira-kira dong, Fi. Bikin kaget aja!”
“Iya, tapi lu bohong!”
“Soal wawancara itu?”
“Yo-a. Mana, kok belum dimuat?”
“Wah, sori, mungkin baru minggu depan. Tapi udah turun cetak kok. Sabar aja dikit!”
“Sayang banget sebenernya. Tapi nggak apaapa deh. Ngomong-ngomong nanti kamu ikut ngegabung ke kita punya acara ya, Pus? Buat nonton pertunjukan perdana film saya!”
Lupus sebenernya sudah diundang kondangan di tetangganya, tapi karena kepingin ngeliat permainan Fifi, terpaksa dia oke juga.
“Tapi jemput, ya?” kata Lupus.
•••
Malamnya sekitar 20 siswa SMA Merah Putih sudah ngejogrok di dalam gedung bioskop. Rame sekali. Fifi yang malam itu jadi bintang, dan mengeluarkan segala biaya untuk ini-itu, memang kelihatan paling kece. Lebih tepat dikece-kecein. Dan dia udah siap bawa pulpen dua biji.
“Kali-kali aja setelah pemutaran film, pada minta tanda tangan saya...” katanya.
“Jaga-jaga kalau satunya abis, sedang yang ngantri tanda tangan masih banyak.”
“Buset, jauh banget pikiranmu!”
Film itu akhirnya diputar, ketika anak-anak sudah gelisah menunggu. Judul Menanti Langganan terpampang jelas di layar. Bintangnya, produsernya, sutradaranya rapi disebutkan. Tapi yang aneh, kok nggak ada tertulis nama Fifi Alone? Anak-anak mulai gelisah. Namun Fifi dengan sok akrab beralasan, “Ah, sembrono betulsih teknisi filmnya? Sampai namaku nggak dipajang. Tapi, nggak apalah. Apa arti sebuah nama?”
Anak-anak maklum. Film berjalan adegan demi adegan. Ketika cerita film sudah berjalan setengah jam dan Fifi belum nongol, dari arah samping sekonyong-konyong Lupus nyeletuk,
“Ke mana aja sih kamu, Fi? Kok gak pernah tampil?”
“Tenang, ini belum klimaks. Sebentar lagi juga ada,” jawab Fifi singkat. Anak-anak kembali gelisah. Gusur yang secara diam-diam juga bela belain nonton di pojokan, menanti dengan gelisah.
Dan akhirnya saat itu pun tibalah. Fifi munculdi layar. Memerankan seorang mahasiswi yang tengah menunggu bis. Sekilas, dan tak pernah muncul lagi hingga film usai.
Tanpa komentar, anak-anak pun pulang dengan wajah dongkol. Pertanyaan Fifi yang menanyakan bagus atau tidak aktingnya, tak mendapat jawaban sedikit pun. Tapi Fifi memang nggak bohong, tanpa Fifi film itu nggak ada apa apanya. Bukankah film yang bagus akan menjadi cacat jika dibuang satu adegan saja?
Pulangnya dengan cekikikan Boim mendekati Lupus.
“Syukuri, kali ini kamu terkecoh, Pus. Saya denger tulisan besar-besaran tentang Fifi sudah siap cetak di majalah kamu. Padahal Fifi kan cuma pemeran figuran! Hihihi...”
“Lho, siapa bilang? Saya juga punya surprise buat Fifi. Karena sebetulnya tulisan tentang dia saya masukin ke rubrik jodoh. Lengkap beser tafoto-fotonya. Rasain deh, sebentar bakalan berdatangan surat-surat cinta kampungan untuknya.”
Lupus tertawa.
Tapi Gusur makin merana...
0 comments:
Posting Komentar