Embun pagi belum lagi mengering. Kelas kelas juga masih sepi, ketika
Anto sudah asyik duduk di pintu gerbang sekolah. Ini sudah ketiga
kalinya dia datang pagi-pagi buta begitu. Dan biasanya dia akan tetap
duduk di situ sampai dari kejauhan muncul bayangan sosok Lupus. Yang
berjalan seperti biasa. Cuwek. Dengan tas kanvas yang talinya di bikin
panjaaaang sekali, sampai dia harus menggantungkannya di kepala, agar
tidak terseret-seret di tanah. Tasnya pun dibiarkan bergelantungan di
belakang. Kayaknya merepotkan,tapi Lupus suka. Sementara mulutnya tetap
komat-kamit mengunyah permen karet. Tapi toh masih sempat ngingsot
segala.
“Hai To. Gimana emak lu? Baek?” sapa Lupus cuwek sambil memutar kepalanya dengan susah payah,karena keberatan tas. Lalu berjalan lagi tanpa menunggu jawaban dari Anto. Tak langsung menuju kelas, tetapi sempat mampir dulu dikantin. Melihat kemungkinan kalau-kalau ada yang bisa ditebengi jajan. Kebetulan di situ ada Aji, Boim dan Gito.
“Wah, rupanya perabotan lenong kita udah pada datang!” sapa Lupus dan langsung parkir disebelah Aji, anak Jawa yang doyan makan dodol.Yang disapa pada menoleh berbarengan.
“Pengumuman! Pengumuman! Boim kita inidapet julukan baru lagi, selain playboy duren tiga!” teriak Lupus sambil menepuk-nepuk bahu Boim. Boim yang lagi asyik nyeruput kopi panasnya, jadi terbatuk-batuk.
“Julukan apa?” Aji langsung tertarik. Sementara Gito berlagak cuwek, tapi kupingnya tetap ingin mendengar.
“Bapak Perek Sedunia!”
“Hus!” Aji melotot. Boim ngamuk-ngamuk, sedang Gito malah ketawa.
“Iya, iya, kamu memangnya nggak liat waktu malam kesenian tadi malam? Ceritanya si Boim kepingin gaya. Pingin ngikutin Boy George. Rambut dipakein foam, pake lipstick, eye-shadow, dan enggak lupa topi kembang-kembang ala Duran Duran. Emang sih, jadi rada kece kayak cewek. Eh, pas berangkat, dia nginjek kaki orang di bis. Langsung aja diteriaki, ‘Perek lu!’ si Boim nggak mau kalah, dia ikutan teriak, ’Eh, lu tau aje. Sia-sia dong penyamaran gue!’ Gitu katanya.”
Boim makin ngamuk.
“Sialan, tau dari mana lu! Bohong! Bohong! Jangan percaya! Kalau percaya gue jitak lu!”
“Bener kok. Silahkan percaya. Bukti-bukti kuat. Waktu itu kan saya lagi naik bis yang sama dengan Boim. Dan sempet nggak ngenalin juga waktu kamu baru naik, Im. Lagian yang heran, kok tega-teganya orang itu ngatain kamu perek. Padahal kamu jenggotan begitu.”
Dan pagi itu pun Lupus dikejar-kejar Boim. Keliling-keliling lapangan. Kepala Lupus sempat benjol juga kena sambit pisang goreng.
•••
Keluar main kedua, mereka nongkrong dikantin lagi. Di situ ada meta sama Nyit-nyit lagi ngebakso. Eh, Nyit-nyit itu nama orang lho! Nama aslinya sih Yunita, tapi temen-temenya manggil dia Nyit-nyit. Karena setelah diselidiki ternyata anatomi tubuh dan warnanya mirip mirip...kunyit.
“Nyit, kamu kalo jalan sama Meta kayak adik-kakak aja. Emang sodara ya?” celoteh Boim sok akrab sambil mencomot pisang goreng. Kedua cewek itu malah duduk membalik, membelakangi Boim.
“Lho, mereka emang sodara kok!” Lupus tiba-tiba ikut nyeletuk. “Cuma lain ayah lain ibu,tapi satu pembantu... hehehehe”
“Saya nggak tanya sama kamu!” Boim menjawab ketus. “Eh, rumah kamu di mana sih Nyit?”
“Di sini!” jawab Nyit-nyit cuwek sambil menunjuk ke lobang hidungnya. Ih!
Boim sempet kaget, tapi dasar playboy, dia tak menyerah.
“Kalo gitu deket sekali dong. Boleh nggak main ke rumah?”
“Boleh aja. Tapi punya ongkos nggak buat pulangnya nanti?” Lupus nyeletuk lagi.
Aji dan Gito ketawa. Dan Anto yang juga diam-diam ada di situ, ikut tersenyum. Belakangan ini, Anto memang selalu membayangi kemana Lupus pergi.
•••
Pulang sekolah, si Boim ngajakin pulang lewat Palmerah. Cari suasana baru, katanya. Gito jelas nggak setuju, soalnya dia harus pulang ke Blok M. Maka cuma Lupus dan Aji yang setuju. ereka pun berjalan menelusuri jalan-jalan Palmerah yang gersang. Saat itu Boim nampak gaya sekali dengan kaus barunya. Warnanya gila gilaan. Pink. Tapi ini masih mending. Minggu kemarin, dia pake warna kuning mencolok. Sampe-sampe Lupus nggak bisa nahan diri untuk meledek,
“Eh, kalian pada kepingin liat tokai jalan nggak? Tuh, liat aja si Boim.”
Memang cuma Boim dan Ruri aja yang hobi pake kaus bebas kalau pelajaran olahraga. Mereka ogah pake kaus seragam. Gengsi, katanya. Dan biar kena tegur guru, mereka cuwek.
Di dekat lampu merah, Boim dapet kenalan. Seorang cewek yang kayaknya udah kuliah. Tapi Boim main tancep aja. Lupus dan Aji cuma nguping dari belakang.
“Kamu masih esema atau udah kuliah?” tanya cewek itu.
Boim yang sadar kalau lagi nggak pake seragam, langsung sombong, “Oto, kuliah dong. Di UI. Dan ini, dua temen saya. Lupus dan Aji. Mereka masih esema.”
“O ya? Kamu ngambil jurusan apa?
Belum sempat Boim menjawab, Lupus nyeletuk lagi, “Iya, mbak, dia memang sudah kuliah. Siang ngambil komputer, malemnya dihukum.”
Aji ngakak setengah mati. Boim ngamuk ngamuk.
Jam dua mereka pisah. Aji sama Boim ada perlu ke Kebon Jeruk, sedang Lupus pulang sendirian ke Grogol. Dia pun mengejar-ngejar mikrolet yang baru lewat.
“Awas kepala! Awas kepala!” teriak sopirnya sambil berusaha memperlambat jalannya mikrolet. (soalnya di situ nggak boleh berhenti!) – Dan– jeduk!- betul juga, saking nafsunya Lupus ngelompat, kepalanya kejeduk pintu mikrolet yang rendah. Bunyinya seru juga, kayak kompor meledak. Semua penumpang serentak memandang ke arahnya.
“Sakit, Dik? Makanya hati-hati, kan udah dibilangi.”
Lupus cuma nyengir. Pinginnya sih ngelus ngelus kepala yang rasanya benjol berat. Tapi gengsi. Jadi ya ditahan aja. Pura-pura cuwek, padahal... ngujubileh sakitnya.
“Kalau sakit ya elus aja, jangan pura-pura cuwek, Pus!”
Suara dari samping mengagetkannya. Lupus menoleh, eh, ternyata Anto sudah berada disampingnya.
•••
Ya, belakangan ini Anto memang hobi banget menguntit aktivitas Lupus. Bukan apa-apa, di aitu sebenernya memang lagi heran. Apa kelebihan yang dimiliki Lupus, sehingga anak itu disukai banyak temennya. Cewek dan cowok. Disamping itu, dia juga sering dipuji para guru karena ide-idenya yang kadang cemerlang, meski nampak sederhana. Seperti gagasan membikin buku tahunan sekolah yang hampir semua isinya dia kerjakan. Dari memilih foto, memberi teks yang lucu-lucu, memberi kata pengantar, pokoknya semua. Hasilnya sederhana saja. Tak begitu luar biasa. Dan rasanya orang yang paling bodoh pun bisa mengerjakan persis seperti itu. Beneran. Tapi, herannya kok buku itu ya disukai para siswa. Padahal kalau saya yang bikin, bisa lima kali lebih baik daripada itu! Pikir Anto.
Namun tak urung dia masih heran. Kok Lupus yang harus punya ide bikin buku tahunan itu, bukan saya! Beberapa kali Anto juga pernah baca puisi Lupus yang dimuat di majalah dinding. Itu juga nggak terlalu hebat. Justru cenderung norak. Coba aja baca satu puisinya ini :
"Sayur Asem
Sayur asem adalah sayur kesenanganku
Eh, karena kebanyakan makan sayur asem
Semut-semut yang biasanya mengerubungi
air seniku kini tidak lagi
Karena.. asem..."
Nah, apa hebatnya? Boim yang cara berpikirnya paling complicated sekalipun, masih bisa bikin yang lebih bagus dari puisinya Lupus itu.
Dan setelah beberapa hari terakhir ini Anto menguntit Lupus, dia mulai mendapat kepercayaan diri. Dia pasti bisa kayak Lupus. Yang hobinya ngeledekin orang, tapi disukai teman temannya. Yang punya pacar anak kelas satu, tapi masih suka boncengan sepeda sama Vera. Yang jelek, tapi dipikir-pikir lumayan juga daripada ketiban tangga.
Anto juga bisa seperti Lupus.
Maka besoknya, semua yang pernah Lupus kerjakan, dia coba. Waktu berangkat sekolah, tali tasnya juga dipanjangi kayak tas Lupus. Digantung di kepala dan jalannya dicuwek-cuwekin. Sampai hampir ketabrak becak. Ikut-ikutan makan permen karet, meski beberapa kali hampir ketelen.
Dan setiap malam, dia membuat puisi sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya. Beberapa hari lagi anak-anak pasti pada kagum sama saya. Sama puisi-puisi saya! Pekik Anto dalam hati.
•••
Pagi itu Anto sudah siap dengan puisi puisinya. Jalannya juga jadi sedikit yakin menuju pintu gerbang. Sesaat, ketika melewati majalah dinding, dia sempat mencibir pada puisi-puisi Lupus yang nampang di situ. Lalu langsung masuk ke kelas. Ada rencana, pas keluar main nanti, dia akan menyerahkan semua puisinya pada redaktur majalah dinding sekolah.
Pelajaran pertama, kedua dan ketiga telah berlalu.
Saat istirahat.
Anak-anak di luar ramai tertawa-tawa. Anto yang sedang menyiapkan puisinya, jadi agak terlambat keluar kelas. Dan dia pun melongokkan kepalanya dari jendela, untuk melihat apa yang sedang diributkan anak-anak. Deg! Tiba-tiba jantungnya berdetak keras. Anak-anak itu sedang merubungi majalah dinding! Ada apa di sana?Dengan penasaran, Anto keluar. Ikut menerobos kerumunan anak-anak yang sedang tertawa-tawa di depan majalah dinding. Begitu berhasil, Anto tercengang memandang foto-foto yang terpampang di situ, dengan judul besar di atas :‘PAMERAN FOTO TUNGGAL KARYA LUPUS’. Di situ digelar foto-foto kocak hasil bidikan Lupus waktu acara ‘Malam Kesenian SMA Merah Putih’, dengan teks foto yang tak kalah kocaknya. Ada foto Boim lagi jadi bencong, foto kep-sek yang lagi ketiduran, foto guru olahraga yang kepergok lagi godain ibu biologi,foto Gusur lagi ngerayu Fifi, atau foto Mr. Punk lagi berbalet-ria karena terpeleset kulit pisang.Pokoknya lucu-lucu deh...
•••
Anto berjalan pulang. Menelusuri trotoar sepi yang tadi dilalui anak-anak. Puisi-puisi yang tadinya disiapkannya, kini masih berada di dalam tasnya. Tak jadi dipajang.
Foto-foto karya Lupus tadi juga tidak begitu bagus. Malah beberapa ada yang gak fokus dan burem. Anto, dengan kamera Nikon-nya, jelas bisa membuat foto yang mutunya jauh lebih bagus. Tapi Anto tidak akan melakukan itu. Dia kini tau, salah satu kemenangan Lupus adalah kekayaan idenya. Meniru sesuatu yang sudah ada memang mudah, tapi mencipta sesuatu yang baru, apa juga mudah? Dan entah apa lagi yang akan dibuat Lupus Minggu depan, kalau sekarang Anto ikut-ikutan bikin foto kayak gitu.
Di tempat pemberhentian bis, Anto ketemu Lupus, Boim dan teman-temannya lagi asyik menggoda cewek lewat.
Anto mendekat.
“Eeee, Anto, belum pulang?” sapa Lupus riang.
Anto Cuma mesem.
Saya denger kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapor bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok.Tewas dengan sukses. Hahahaha...”
Anto ikut tertawa.
Dan kini dia menemukan satu hal lagi yang paling penting dan patut ditiru dari Lupus. Yang selalu menganggap hidup ini begitu indah..
“Hai To. Gimana emak lu? Baek?” sapa Lupus cuwek sambil memutar kepalanya dengan susah payah,karena keberatan tas. Lalu berjalan lagi tanpa menunggu jawaban dari Anto. Tak langsung menuju kelas, tetapi sempat mampir dulu dikantin. Melihat kemungkinan kalau-kalau ada yang bisa ditebengi jajan. Kebetulan di situ ada Aji, Boim dan Gito.
“Wah, rupanya perabotan lenong kita udah pada datang!” sapa Lupus dan langsung parkir disebelah Aji, anak Jawa yang doyan makan dodol.Yang disapa pada menoleh berbarengan.
“Pengumuman! Pengumuman! Boim kita inidapet julukan baru lagi, selain playboy duren tiga!” teriak Lupus sambil menepuk-nepuk bahu Boim. Boim yang lagi asyik nyeruput kopi panasnya, jadi terbatuk-batuk.
“Julukan apa?” Aji langsung tertarik. Sementara Gito berlagak cuwek, tapi kupingnya tetap ingin mendengar.
“Bapak Perek Sedunia!”
“Hus!” Aji melotot. Boim ngamuk-ngamuk, sedang Gito malah ketawa.
“Iya, iya, kamu memangnya nggak liat waktu malam kesenian tadi malam? Ceritanya si Boim kepingin gaya. Pingin ngikutin Boy George. Rambut dipakein foam, pake lipstick, eye-shadow, dan enggak lupa topi kembang-kembang ala Duran Duran. Emang sih, jadi rada kece kayak cewek. Eh, pas berangkat, dia nginjek kaki orang di bis. Langsung aja diteriaki, ‘Perek lu!’ si Boim nggak mau kalah, dia ikutan teriak, ’Eh, lu tau aje. Sia-sia dong penyamaran gue!’ Gitu katanya.”
Boim makin ngamuk.
“Sialan, tau dari mana lu! Bohong! Bohong! Jangan percaya! Kalau percaya gue jitak lu!”
“Bener kok. Silahkan percaya. Bukti-bukti kuat. Waktu itu kan saya lagi naik bis yang sama dengan Boim. Dan sempet nggak ngenalin juga waktu kamu baru naik, Im. Lagian yang heran, kok tega-teganya orang itu ngatain kamu perek. Padahal kamu jenggotan begitu.”
Dan pagi itu pun Lupus dikejar-kejar Boim. Keliling-keliling lapangan. Kepala Lupus sempat benjol juga kena sambit pisang goreng.
•••
Keluar main kedua, mereka nongkrong dikantin lagi. Di situ ada meta sama Nyit-nyit lagi ngebakso. Eh, Nyit-nyit itu nama orang lho! Nama aslinya sih Yunita, tapi temen-temenya manggil dia Nyit-nyit. Karena setelah diselidiki ternyata anatomi tubuh dan warnanya mirip mirip...kunyit.
“Nyit, kamu kalo jalan sama Meta kayak adik-kakak aja. Emang sodara ya?” celoteh Boim sok akrab sambil mencomot pisang goreng. Kedua cewek itu malah duduk membalik, membelakangi Boim.
“Lho, mereka emang sodara kok!” Lupus tiba-tiba ikut nyeletuk. “Cuma lain ayah lain ibu,tapi satu pembantu... hehehehe”
“Saya nggak tanya sama kamu!” Boim menjawab ketus. “Eh, rumah kamu di mana sih Nyit?”
“Di sini!” jawab Nyit-nyit cuwek sambil menunjuk ke lobang hidungnya. Ih!
Boim sempet kaget, tapi dasar playboy, dia tak menyerah.
“Kalo gitu deket sekali dong. Boleh nggak main ke rumah?”
“Boleh aja. Tapi punya ongkos nggak buat pulangnya nanti?” Lupus nyeletuk lagi.
Aji dan Gito ketawa. Dan Anto yang juga diam-diam ada di situ, ikut tersenyum. Belakangan ini, Anto memang selalu membayangi kemana Lupus pergi.
•••
Pulang sekolah, si Boim ngajakin pulang lewat Palmerah. Cari suasana baru, katanya. Gito jelas nggak setuju, soalnya dia harus pulang ke Blok M. Maka cuma Lupus dan Aji yang setuju. ereka pun berjalan menelusuri jalan-jalan Palmerah yang gersang. Saat itu Boim nampak gaya sekali dengan kaus barunya. Warnanya gila gilaan. Pink. Tapi ini masih mending. Minggu kemarin, dia pake warna kuning mencolok. Sampe-sampe Lupus nggak bisa nahan diri untuk meledek,
“Eh, kalian pada kepingin liat tokai jalan nggak? Tuh, liat aja si Boim.”
Memang cuma Boim dan Ruri aja yang hobi pake kaus bebas kalau pelajaran olahraga. Mereka ogah pake kaus seragam. Gengsi, katanya. Dan biar kena tegur guru, mereka cuwek.
Di dekat lampu merah, Boim dapet kenalan. Seorang cewek yang kayaknya udah kuliah. Tapi Boim main tancep aja. Lupus dan Aji cuma nguping dari belakang.
“Kamu masih esema atau udah kuliah?” tanya cewek itu.
Boim yang sadar kalau lagi nggak pake seragam, langsung sombong, “Oto, kuliah dong. Di UI. Dan ini, dua temen saya. Lupus dan Aji. Mereka masih esema.”
“O ya? Kamu ngambil jurusan apa?
Belum sempat Boim menjawab, Lupus nyeletuk lagi, “Iya, mbak, dia memang sudah kuliah. Siang ngambil komputer, malemnya dihukum.”
Aji ngakak setengah mati. Boim ngamuk ngamuk.
Jam dua mereka pisah. Aji sama Boim ada perlu ke Kebon Jeruk, sedang Lupus pulang sendirian ke Grogol. Dia pun mengejar-ngejar mikrolet yang baru lewat.
“Awas kepala! Awas kepala!” teriak sopirnya sambil berusaha memperlambat jalannya mikrolet. (soalnya di situ nggak boleh berhenti!) – Dan– jeduk!- betul juga, saking nafsunya Lupus ngelompat, kepalanya kejeduk pintu mikrolet yang rendah. Bunyinya seru juga, kayak kompor meledak. Semua penumpang serentak memandang ke arahnya.
“Sakit, Dik? Makanya hati-hati, kan udah dibilangi.”
Lupus cuma nyengir. Pinginnya sih ngelus ngelus kepala yang rasanya benjol berat. Tapi gengsi. Jadi ya ditahan aja. Pura-pura cuwek, padahal... ngujubileh sakitnya.
“Kalau sakit ya elus aja, jangan pura-pura cuwek, Pus!”
Suara dari samping mengagetkannya. Lupus menoleh, eh, ternyata Anto sudah berada disampingnya.
•••
Ya, belakangan ini Anto memang hobi banget menguntit aktivitas Lupus. Bukan apa-apa, di aitu sebenernya memang lagi heran. Apa kelebihan yang dimiliki Lupus, sehingga anak itu disukai banyak temennya. Cewek dan cowok. Disamping itu, dia juga sering dipuji para guru karena ide-idenya yang kadang cemerlang, meski nampak sederhana. Seperti gagasan membikin buku tahunan sekolah yang hampir semua isinya dia kerjakan. Dari memilih foto, memberi teks yang lucu-lucu, memberi kata pengantar, pokoknya semua. Hasilnya sederhana saja. Tak begitu luar biasa. Dan rasanya orang yang paling bodoh pun bisa mengerjakan persis seperti itu. Beneran. Tapi, herannya kok buku itu ya disukai para siswa. Padahal kalau saya yang bikin, bisa lima kali lebih baik daripada itu! Pikir Anto.
Namun tak urung dia masih heran. Kok Lupus yang harus punya ide bikin buku tahunan itu, bukan saya! Beberapa kali Anto juga pernah baca puisi Lupus yang dimuat di majalah dinding. Itu juga nggak terlalu hebat. Justru cenderung norak. Coba aja baca satu puisinya ini :
"Sayur Asem
Sayur asem adalah sayur kesenanganku
Eh, karena kebanyakan makan sayur asem
Semut-semut yang biasanya mengerubungi
air seniku kini tidak lagi
Karena.. asem..."
Nah, apa hebatnya? Boim yang cara berpikirnya paling complicated sekalipun, masih bisa bikin yang lebih bagus dari puisinya Lupus itu.
Dan setelah beberapa hari terakhir ini Anto menguntit Lupus, dia mulai mendapat kepercayaan diri. Dia pasti bisa kayak Lupus. Yang hobinya ngeledekin orang, tapi disukai teman temannya. Yang punya pacar anak kelas satu, tapi masih suka boncengan sepeda sama Vera. Yang jelek, tapi dipikir-pikir lumayan juga daripada ketiban tangga.
Anto juga bisa seperti Lupus.
Maka besoknya, semua yang pernah Lupus kerjakan, dia coba. Waktu berangkat sekolah, tali tasnya juga dipanjangi kayak tas Lupus. Digantung di kepala dan jalannya dicuwek-cuwekin. Sampai hampir ketabrak becak. Ikut-ikutan makan permen karet, meski beberapa kali hampir ketelen.
Dan setiap malam, dia membuat puisi sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya. Beberapa hari lagi anak-anak pasti pada kagum sama saya. Sama puisi-puisi saya! Pekik Anto dalam hati.
•••
Pagi itu Anto sudah siap dengan puisi puisinya. Jalannya juga jadi sedikit yakin menuju pintu gerbang. Sesaat, ketika melewati majalah dinding, dia sempat mencibir pada puisi-puisi Lupus yang nampang di situ. Lalu langsung masuk ke kelas. Ada rencana, pas keluar main nanti, dia akan menyerahkan semua puisinya pada redaktur majalah dinding sekolah.
Pelajaran pertama, kedua dan ketiga telah berlalu.
Saat istirahat.
Anak-anak di luar ramai tertawa-tawa. Anto yang sedang menyiapkan puisinya, jadi agak terlambat keluar kelas. Dan dia pun melongokkan kepalanya dari jendela, untuk melihat apa yang sedang diributkan anak-anak. Deg! Tiba-tiba jantungnya berdetak keras. Anak-anak itu sedang merubungi majalah dinding! Ada apa di sana?Dengan penasaran, Anto keluar. Ikut menerobos kerumunan anak-anak yang sedang tertawa-tawa di depan majalah dinding. Begitu berhasil, Anto tercengang memandang foto-foto yang terpampang di situ, dengan judul besar di atas :‘PAMERAN FOTO TUNGGAL KARYA LUPUS’. Di situ digelar foto-foto kocak hasil bidikan Lupus waktu acara ‘Malam Kesenian SMA Merah Putih’, dengan teks foto yang tak kalah kocaknya. Ada foto Boim lagi jadi bencong, foto kep-sek yang lagi ketiduran, foto guru olahraga yang kepergok lagi godain ibu biologi,foto Gusur lagi ngerayu Fifi, atau foto Mr. Punk lagi berbalet-ria karena terpeleset kulit pisang.Pokoknya lucu-lucu deh...
•••
Anto berjalan pulang. Menelusuri trotoar sepi yang tadi dilalui anak-anak. Puisi-puisi yang tadinya disiapkannya, kini masih berada di dalam tasnya. Tak jadi dipajang.
Foto-foto karya Lupus tadi juga tidak begitu bagus. Malah beberapa ada yang gak fokus dan burem. Anto, dengan kamera Nikon-nya, jelas bisa membuat foto yang mutunya jauh lebih bagus. Tapi Anto tidak akan melakukan itu. Dia kini tau, salah satu kemenangan Lupus adalah kekayaan idenya. Meniru sesuatu yang sudah ada memang mudah, tapi mencipta sesuatu yang baru, apa juga mudah? Dan entah apa lagi yang akan dibuat Lupus Minggu depan, kalau sekarang Anto ikut-ikutan bikin foto kayak gitu.
Di tempat pemberhentian bis, Anto ketemu Lupus, Boim dan teman-temannya lagi asyik menggoda cewek lewat.
Anto mendekat.
“Eeee, Anto, belum pulang?” sapa Lupus riang.
Anto Cuma mesem.
Saya denger kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapor bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok.Tewas dengan sukses. Hahahaha...”
Anto ikut tertawa.
Dan kini dia menemukan satu hal lagi yang paling penting dan patut ditiru dari Lupus. Yang selalu menganggap hidup ini begitu indah..
0 comments:
Posting Komentar