Rasanya nggak ada yang berani saingan sama kamarnya Boim dalam hal
berantakan. Bayangin aja, kamar yang Cuma berukuran tiga kali tiga meter
itu ternyata isinya lebih komplet dari toko serba ada. Ya, itu karena
apa-apa memang ada di sana. Kulit pisang, baju yang nggak sempet dicuci
seminggu, kaus kaki warna-warni yang digantung di seutas tali rafia,
buku-buku sekolah yang dekil, pokoknya semua. Cat dinding kamar juga
hampir nggak ketauan lagi warna aslinya. Bukannya luntur, tapi ketutupan
sama foto cewek kece yang paling semrawut di dinding. Saking dekilnya
tu kamar, sampai-sampai kalau pembantunya Boim lagi males ngebuang
sampah di tempat pembuangan sampah deket kali, langsung aja ditumpukin
di kamar Boim. Dianya nggak tau ini.
Tapi, siapa nyana kalau ternyata kamar itu justru banyak memberikan inspirasi kepada Boim kalau bikin surat cinta? Si Gusur juga. Kalau lagi mau nyari inspirasi buat bikin puisi, dan nggak punya duit untuk ke pantai, dia suka duduk ngejogrok berjam-jam di kamar Boim. Nunggu ilham lewat. (Tapi yang sering lewat malah babunya Boim yang bahenol. Tak apa, Gusur juga suka kok!).
Dan pagi itu, Boim asyik ngorok sendirian, setelah semalaman sibuk bikin surat cinta. Sarungnya sudah piknik ke mana-mana, meninggalkan badannya yang begeng terbiarkan tanpa busana. Ya, dia kalau tidur memang suka bertelanjang dada. Walhasil pagi-pagi sering kedapatan meringkuk pasrah dengan hanya mengenakan celana kolor.
“Halo, halo, bangun, Im!” Lupus tiba-tiba nongol dari balik pintu. Masih mengenakan kaus dan celana pendek. Ceritanya dia abis berjogging-ria di minggu pagi.
“Im, bangun.”
Boim masih meringkuk
“Eh, cewek mana tuh yang lewat? Kece banget...”
Boim langsung melompat turun dan berlari ke jendela. Lupus terpingkal-pingkal. Boim keki, dan melompat ke tempat tidur lagi.
“Bangun dong, Im. Orang sih udah sempat lari-lari ke Senayan, kamu masih terbuai mimpi.”
“Saya ngantuk, Pus, semalaman sibuk berat bikin surat cinta buat cewek baru saya!”
“Siapa?”
“Stephanie Harper!”
Lupus melengos.
“Lho, serius, Pus. Walau dia datang ke sini kemarin-kemarin itu, saya sempet diundang makan malam di Mandarin sana dia bersama orang-orang kaya lainnya. Jangan keki, Pus, gini- gini ogut kan termasuk orang kaya kesekian di Indonesia....”
“Hm..., lu kalau tidur kayak pestol aja ngaku orang kaya!” cibir Lupus keki.
Tapi Boim cuek. Malam kembali meringkuk dengan posisi semula. Kedinginan.
Suasana kembali hening, Lupus asyik melakukan pemanasan, sementara Boim tertidur.
Beberapa saat, Boim baru bangun sambil mengucek-ngucek matanya dan menggeliat bebas.
“Pus, sebenarnya saya lagi sedih nih. Sediiih banget. Mau nggak kamu menolong sobatmu yang malang ini? Mau nggak? Jawab dong, Pus, mau apa mau?” Boim menarik-narik tangan Lupus yang sibuk bergerak ke sana kemari melakukan senam.
“Apa-apaan sih kamu? Put your hand off me!”
“Tolonglah, Pus.”
“Oke, ada apa? Soal cewek lagi? Kenapa si Stephanie?”
“Jangan ngeledek, Pus, saya serius. Gini lho, saya sekarang berhasil mengajak kencan seorang cewek. Kamu tau, Pus, ini the first time buat saya bisa ngajak kencan beneran. Sebenarnya bukan karena selama ini cewek-cewek terdahulu nolak saya untuk kencan, tapi sayanya ini yang memang suka rada milih-milih. Nggak sembarangan. Kamu tau, kan? Nah, makanya, sekarang saya berhasil ngajak kencan seorang cewek. Dan rencananya sore nanti dia ngajakin saya nonton dan makan malam bersama. Tapi..., oh, Pus, tolonglah saya...”
“Kamu apa-apaan sih? Kenapa? Kamu nggak punya duit, begitu?”
Boim mengangguk sambil tersipu-sipu.
“Sudah kusangka!”
“Jangan gitu dong, Pus, saya kebetulan aja lagi cekak,” gerutu Boim.
Tampangnya jadi sedih. Mulutnya bermonyong-ria, menunjukkan kesedihannya. Wah, kalau sudah begini susah deh mendeskripsikan bagaimana suntuknya tu wajah. Lupus aja sampe nggak tegaan ngeliatnya. Apalagi ketika Lupus mulai mendengar suara sesegrukan si Boim dari balik bantalnya. Duile, gitu aja nangis!
“saya sebetulnya mau aja nolongin kamu, Im, biar jelek-jelek, kamu kan temen saya juga. Tapi, saya juga lagi cekak nih. Serius. Kamu kan tau kemarin saya bela-belain nebok celengan untuk beli sepeda balap yang sekarang markir di depan itu. Jadi, sori aja deh, Im,” kata Lupus pelan.
Boim tak bereaksi.
Untuk mengisi kekosongan, Lupus mulai membongkar-bongkar tumpukan kaset Boim yang berantakan. Memilih-milih, dan menarik satu kaset lama Queen. Tapi kemudian, dia kebingungan mencari mini-compo Boim yang biasanya ngumpet di balik tumpukan koran kuning.
“Lho, mini-compo kamu ke mana, Im?”
“Eng.. anu, Pus, lagi disekolahi dulu biar pinter,” jawab Boim tersipu-sipu.
Lupus menatap Boim heran.
“Digadein, ya”
“Iya tuh, buat bayar duit bayaran yang nunggak tiga bulan!”
Lupus cekikikan.
“Makanya, bantuin saya dong, Pus. Pinjemin kek ke Gusur. Atau Joko, atau Fifi. Siapa aja deh!”
“Kenapa kamu nggak pinjem sendiri?”
“Wah, nggak bakalan sukses, Pus. Nama saya kan udah jaminan mutu : hobi ngutang tapi nggak hobi bayar. Tapi kali ini, saya pasti bayar deh. Demi Stephanie Harper!”
Lupus tak segera menjawab. Sibuk menatap ke luar jendela, persis Gusur kalau lagi nyari inspirasi. Sementara babunya Boim yang bahenol, mulai kumat mondar-mandir ke sana ke mari. Begitulah kelakuannya kalau ada cowok ngelongok dari jendela.
“Mondar-mandir aje, kaya setrikaan!” ledek Lupus kumat isengnya.
Sang babu mendelik manja sambil berkata, “Tapi suka, kan?”
Duile!
Lupus langsung masuk dan menatap Boim yang kecimpungan.
“Oke, Im, saya mau nolong kamu pinjemin duit ke anak-anak. Tapi nggak janji ye, dan harus dibayar!”
“Horeeee, kamu temen yang baiiiik sekali!” jerit Boim sambil memeluk Lupus. Gantian Lupus yang kecimpungan gara-gara disekep se- demikian rupa oleh Boim yang belum mandi.
Tapi, siapa nyana kalau ternyata kamar itu justru banyak memberikan inspirasi kepada Boim kalau bikin surat cinta? Si Gusur juga. Kalau lagi mau nyari inspirasi buat bikin puisi, dan nggak punya duit untuk ke pantai, dia suka duduk ngejogrok berjam-jam di kamar Boim. Nunggu ilham lewat. (Tapi yang sering lewat malah babunya Boim yang bahenol. Tak apa, Gusur juga suka kok!).
Dan pagi itu, Boim asyik ngorok sendirian, setelah semalaman sibuk bikin surat cinta. Sarungnya sudah piknik ke mana-mana, meninggalkan badannya yang begeng terbiarkan tanpa busana. Ya, dia kalau tidur memang suka bertelanjang dada. Walhasil pagi-pagi sering kedapatan meringkuk pasrah dengan hanya mengenakan celana kolor.
“Halo, halo, bangun, Im!” Lupus tiba-tiba nongol dari balik pintu. Masih mengenakan kaus dan celana pendek. Ceritanya dia abis berjogging-ria di minggu pagi.
“Im, bangun.”
Boim masih meringkuk
“Eh, cewek mana tuh yang lewat? Kece banget...”
Boim langsung melompat turun dan berlari ke jendela. Lupus terpingkal-pingkal. Boim keki, dan melompat ke tempat tidur lagi.
“Bangun dong, Im. Orang sih udah sempat lari-lari ke Senayan, kamu masih terbuai mimpi.”
“Saya ngantuk, Pus, semalaman sibuk berat bikin surat cinta buat cewek baru saya!”
“Siapa?”
“Stephanie Harper!”
Lupus melengos.
“Lho, serius, Pus. Walau dia datang ke sini kemarin-kemarin itu, saya sempet diundang makan malam di Mandarin sana dia bersama orang-orang kaya lainnya. Jangan keki, Pus, gini- gini ogut kan termasuk orang kaya kesekian di Indonesia....”
“Hm..., lu kalau tidur kayak pestol aja ngaku orang kaya!” cibir Lupus keki.
Tapi Boim cuek. Malam kembali meringkuk dengan posisi semula. Kedinginan.
Suasana kembali hening, Lupus asyik melakukan pemanasan, sementara Boim tertidur.
Beberapa saat, Boim baru bangun sambil mengucek-ngucek matanya dan menggeliat bebas.
“Pus, sebenarnya saya lagi sedih nih. Sediiih banget. Mau nggak kamu menolong sobatmu yang malang ini? Mau nggak? Jawab dong, Pus, mau apa mau?” Boim menarik-narik tangan Lupus yang sibuk bergerak ke sana kemari melakukan senam.
“Apa-apaan sih kamu? Put your hand off me!”
“Tolonglah, Pus.”
“Oke, ada apa? Soal cewek lagi? Kenapa si Stephanie?”
“Jangan ngeledek, Pus, saya serius. Gini lho, saya sekarang berhasil mengajak kencan seorang cewek. Kamu tau, Pus, ini the first time buat saya bisa ngajak kencan beneran. Sebenarnya bukan karena selama ini cewek-cewek terdahulu nolak saya untuk kencan, tapi sayanya ini yang memang suka rada milih-milih. Nggak sembarangan. Kamu tau, kan? Nah, makanya, sekarang saya berhasil ngajak kencan seorang cewek. Dan rencananya sore nanti dia ngajakin saya nonton dan makan malam bersama. Tapi..., oh, Pus, tolonglah saya...”
“Kamu apa-apaan sih? Kenapa? Kamu nggak punya duit, begitu?”
Boim mengangguk sambil tersipu-sipu.
“Sudah kusangka!”
“Jangan gitu dong, Pus, saya kebetulan aja lagi cekak,” gerutu Boim.
Tampangnya jadi sedih. Mulutnya bermonyong-ria, menunjukkan kesedihannya. Wah, kalau sudah begini susah deh mendeskripsikan bagaimana suntuknya tu wajah. Lupus aja sampe nggak tegaan ngeliatnya. Apalagi ketika Lupus mulai mendengar suara sesegrukan si Boim dari balik bantalnya. Duile, gitu aja nangis!
“saya sebetulnya mau aja nolongin kamu, Im, biar jelek-jelek, kamu kan temen saya juga. Tapi, saya juga lagi cekak nih. Serius. Kamu kan tau kemarin saya bela-belain nebok celengan untuk beli sepeda balap yang sekarang markir di depan itu. Jadi, sori aja deh, Im,” kata Lupus pelan.
Boim tak bereaksi.
Untuk mengisi kekosongan, Lupus mulai membongkar-bongkar tumpukan kaset Boim yang berantakan. Memilih-milih, dan menarik satu kaset lama Queen. Tapi kemudian, dia kebingungan mencari mini-compo Boim yang biasanya ngumpet di balik tumpukan koran kuning.
“Lho, mini-compo kamu ke mana, Im?”
“Eng.. anu, Pus, lagi disekolahi dulu biar pinter,” jawab Boim tersipu-sipu.
Lupus menatap Boim heran.
“Digadein, ya”
“Iya tuh, buat bayar duit bayaran yang nunggak tiga bulan!”
Lupus cekikikan.
“Makanya, bantuin saya dong, Pus. Pinjemin kek ke Gusur. Atau Joko, atau Fifi. Siapa aja deh!”
“Kenapa kamu nggak pinjem sendiri?”
“Wah, nggak bakalan sukses, Pus. Nama saya kan udah jaminan mutu : hobi ngutang tapi nggak hobi bayar. Tapi kali ini, saya pasti bayar deh. Demi Stephanie Harper!”
Lupus tak segera menjawab. Sibuk menatap ke luar jendela, persis Gusur kalau lagi nyari inspirasi. Sementara babunya Boim yang bahenol, mulai kumat mondar-mandir ke sana ke mari. Begitulah kelakuannya kalau ada cowok ngelongok dari jendela.
“Mondar-mandir aje, kaya setrikaan!” ledek Lupus kumat isengnya.
Sang babu mendelik manja sambil berkata, “Tapi suka, kan?”
Duile!
Lupus langsung masuk dan menatap Boim yang kecimpungan.
“Oke, Im, saya mau nolong kamu pinjemin duit ke anak-anak. Tapi nggak janji ye, dan harus dibayar!”
“Horeeee, kamu temen yang baiiiik sekali!” jerit Boim sambil memeluk Lupus. Gantian Lupus yang kecimpungan gara-gara disekep se- demikian rupa oleh Boim yang belum mandi.
•••
Makhluk pertama yang Lupus datengin untuk ngutang adalah Gusur, si seniman sableng anak bahasa. Kebetulan waktu didatengin, anak itu lagi asyik ngejogrok makan bakso di depan rumahnya. Masih tetap bertarzan-ria hanya memakai celana kolor doang.
Tanpa ba-bu lagi, Lupus langsung masuk ke pokok persoalan.
“Apa, Pus? Mau ngutang? Sebentar!” katanya sambil pura-pura merogoh celana kolornya yang memang ada kantongnya. Tampangnya dipasang serius berat, tapi malah kelihatan lucu karena sepotong mie masih gelayutan di mulutnya.
“Rasanya ada yang aneh. Kupikir seorang macam Lupus tiada suka berutang pada temannya. Tidak seperti saya, ya, yang anti terhadap ngutang. Mengapa anda tidak mencontoh saya?” cerocosnya lagi.
“Jadi kesimpulannya, kamu nggak ngasih? Apa emang nggak punya? Maki Lupus saking keselnya sama ulah seniman sableng itu.
“Uang tentu banyak. Tapi sekali-kalilah kamu belajar mencontoh saya! Karena orang yang suka berutang itu...” belum tuntas Gusur ngocol, Lupus sudah melesat meninggalkan Gusur. Tapi sempet juga mendengar keluhan abang tukang bakso, “Mas Gusur, kali ini tolong dibayar dong bon-bonnya. Masa tiap hari jajan bakso tiga mangkok, tapi bayarnya jarang- jarang? Tega-tegaan mas ini, modal Abang kan pas-pasan...”
“Sompret lu!” umpat Lupus di kejauhan. Gusur cuma cengengesan. Lupus berlari ke arah Boim yang menanti di tikungan jalan dengan motor bututnya.
Sasaran berikutnya adalah Joko, anak Tegal yang suka sok kaya. Tapi itu juga gagal. “ Saya memang selalu punya duit, Pus. Seperti kemarin, besok, atau dua hari yang lalu. Tapi kebetulan sekali pas hari ini duit saya abis. Bener-bener abis deh. Ludes bles tak bersisa. Kebetulan saya memang belum ngambil ke bank. Maklum, Minggu-minggu begini kan banknya pada tutup!” begitulah celoteh Joko.
Tanpa ngomong apa-apa, Lupus pun berlalu.
•••
Setelah berkeliling-keliling selama lebih dari 3 jam, akhirnya Lupus berhasil juga mendapat pinjaman uang. Bukan dari Anto, Aji, Andang, Gito atau sobat-sobat Lupus lainnya. Mereka ini pada cekak semua. Tapi dari artis kita Fifi Alone. Artis kita itu memang terkenal kelewat royal kalau sama Lupus. Bukan apa-apa, Lupus kan kecil-kecil gitu juga wartawan kagetan majalah Hai, jadi Fifi butuh berbaik hati supaya bisa dipublikasikan. Tapi kalau Fifi tau duit itu untuk si boim, wah, Fifi pasti ngamuk-ngamuk. Soalnya ya kamu tau sendiri kan kalau si Boim itu musuh bebuyutan Fifi.
“Sebetulnya haram juga saya pake duit artis kapiran macam Fifi. Tapi berhubung nggak ada jalan lain, ya saya terima deh!” komentar Boim dingin, ketika Lupus menyerahkan hasil pinjaman itu pada Boim.
“Lu jangan macem-macem, Im, saya udah setengah mati ke sana kemari minjemin duit buat kamu!” maki Lupus.
“O tentu, tentu. Saya amat berterima kasih sekali padamu, Pus. You’re my best friend!”
“Ngomong-ngomong, siapa sih cewek yang kamu ajak kencan?
“Wah, itu rahasia perusahaan. Yang pasti, lebih kece dari si Gusur itu!” tandas Boim sambil melarikan motornya. Lupus pun langsung pulang dengan sepeda balapnya.
•••
Sorenya, Lupus nampak asyik bershopping-ria di pusat pertokoan sama ibunya. Tadi waktu mau berangkat, Lupus sempet ngamuk-ngamuk juga sama si Lulu, adiknya. Karena biasanya Lulu yang bertugas menemani ibunya shopping.
“Sekali-sekali kamu dong, Pus. Soalnya saa ada acara sore ni. Enak kok shopping di pusat pertokoan. Kamu bisa ngecengin pramuniaga yang kece-kece!” bujuk Lulu.
“Nggak mau! Itu kan kerjaan cewek. Lagian sore ini saya mau nonton basket di sekolahan!” tolak Lupus.
“Egois! Sekali-sekali kenapa sih gantian kamu yang shopping? Apa ibu dibiarkan pergi sendirian? Kasihan, kan, bawaannya banyak banget! Sekali ini aja kok. Soalnya saya bener-bener ada perlu!”
Akhirnya Lupus pun ngalah. Tentunya setelah adiknya yang cerewet itu terus merayu-rayu. Sialnya, waktu mau berangkat, Lulu sempet-sempetnya nitip minta dibeliin cokelat ke Lupus. “Enaknya! Kalaupun ada cokelat yang terbeli, pasti sudah habis ogut makan sebelum sampe ke rumah!” maki Lupus.
Dan kini, seperti yang sudah diceritakan tadi, Lupus lagi berada di pusat pertokoan. Nungguin ibunya yang beli macam-macam. Ada untungnya juga, Lupus sempat lirik-lirikan dengan pramuniaga manis yang berseragam kuning-kuning itu. Dan menjulingkan mata pada cewek imut-imut yang kecil kayak semut.
Jam tujuh lewat akhirnya pekerjaan yang melelahkan itu selesai juga. Lupus dengan bawaan belanjaan yang bak transmigran pulang kampung, nampak mulai keluar dari pusat per tokoan. Sibuk memasuk-masukkan belanjaan ke bagasi taksi. Seperempat jam kemudian, Lupus sudah bisa bernapas lega sambil duduk di jog belakang. Capek juga. Tapi matanya toh sempat jelalatan melihat cewek-cewek yang berbondong- bondong di depan bioskop yang rada mewah. Wah, cakep-cakep juga. Ada yang kurus tinggi, ada yang rambutnya ngebob, yang ngepunk, yang rada centil, yang manis, yang..., eh-itu kan si Lulu? Lupus langsung melongok ke jendela hendak berteriak memanggil adiknya. Tetapi siapa tuh cowok yang berjalan di sebelahnya? Cowok barunya? Lupus pun menajamkan penglihatannya biar bisa lebih mengenali. Tapi... Oh, God! Itu kan si Boim, playboy sialan itu? Ngapain Lulu jalan-jalan sama anak sableng itu?
“Ngeliatin siapa, Pus? Kok semangat amat kelihatannya?” tegur ibunya.
“Ah, enggak,” kilah Lupus nggak jadi teriak- teriak memanggil si Lulu. Dan kembali duduk dengan manis. Padahal hatinya dongkol. Dongkol sekali. Dia baru sadar, ternyata cewek yang ribut- ribut mau diajak kencan sama si Boim adalah adiknya. Kalau tau gitu, ngapain amat ngebela- belain minjemin duit Fifi buat si Boim? Sialan juga! Lagi Lulunya bandel juga. Udah dibilangi mendingan kesantet jin iprit dari pada pacaran sama si Boim, eee... mau aja diajaki kencan.
Tapi Lupus nggak ngebilangin ke ibunya, kalau dia abis ngeliat Lulu jalan sama Boim. Takut shock. Nanti aja diem-diem mau ngedamprat Lulu abis-abisan. Bayangin coba, masa dia dengan relanya nggak mau nganterin ibu shopping Cuma mau ngedate sama si Boim. Awas, Boim juga pasti kena damprat Lupus!
•••
Lupus lagi asyik ngapalin pelajaran Pancasila, ketika dia mendengarkan langkah-langkah riang di depan. Nah, pasti si Lulu. Lupus pun siap mau ngamuk-ngamuk. Dia segera melempar bukunya, dan pasang muka serem.
Kepala Lulu nongol dari balik pintu sambil tersenyum manis pada Lupus, “Halo, Pus, wah asyik lho, saya habis ngerjain temen kamu yang norak itu. Itu lho, si Boim. Dia mau-maunya ngebayarin saya nonton film Daryl. Dan mentraktir piza sama milkshake. Asyik lho, saya nggak perlu ngeluarin uang tabungan saya untuk nonton film yang keren itu. Kamu udah nonton?” cerocos Lulu riang.
Lupus bengong.
“Kamu nggak diapa-apain sama si Boim?” tanya Lupus cemas.
“Ah, enggak. Mana berani dia? Waktu dia mau pegang tangan saya, langsung saya pelototin. Eee, dianya nginyem ketakutan. Payah!” jawab Lulu sambil berlarian lincah ke dalam. Berteriak-teriak memanggil ibunya.
Lupus Cuma geleng-geleng kepala. Tapi hatinya masih dongkol. Nggak tau dongkol sama Lulu atau sama si Boim.
0 comments:
Posting Komentar