Sebetulnya
saya kurang tertarik untuk menulis ini, kenapa? Karena ini bukanlah suatu
tempat yang saya dapat berbicara dan mengerti seluk beluk mengenai hukum,
tetapi justru karena adanya beberapa celah dalam sistem hukum kita menjadi
menarik untuk dibahas, maka kacamata yang saya pakai disini sebagai orang awam.
Kasus ini
sudah hampir pada penghujung putusan hakim, tinggal beberapa kali sidang lagi
maka hakim sudah harus memutuskan sebelum masa penahanan terdakwa habis pada November
2016, apabila hakim tidak mampu memutuskan justru mereka yang dikenai sanksi.
Beberapa hari
lalu sempat viral adanya press release mengatasnamakan pengacara kondang tanah
air, apakah tulisan itu benar adanya atau tidak saya kurang tahu. Namun, yang
menarik adalah isi tulisannya yang menyatakan “terdakwa bebas atau mahkamah
konstitusi bubar” dalam tulisan tersebut pun termuat mengenai putusan MK yang
saya pikir berpihak pada kasus sebelumnya yang menjerat mantan Ketua DPR perihal
alat bukti cctv/rekaman yang tidak diabsahkan secara peradilan jika bukan
diminta oleh pengadilan.
Miris memang
jika kita menilai statement itu pada kasus kopi sianida ini, tapi faktanya
itulah yang terjadi. Demi sebuah birokrasi dan pembelaan nama baik DPR, MK
dapat membuat putusan yang justru berdampak pada kasus-kasus lain. Iniliah
permasalahan negara kita, jika ada suatu masalah yang viral barulah dilakukan
tindakan (kuratif), tidak pernah mau mengkaji permasalahan dengan keputusan
secara mendalam (preventif). Dalam hal ini saya tidak membela salah satu pihak,
namun ketika hukumnya berbicara seperti itu maka lakukanlah atau dengan kata
lain terdakwa sidang kopi ini harus bebas.
Pada sidang
penuntutan kemarin jaksa menuturkan bahwa pembunuhan yang dilakukan terdakwa
dilakukan secara matang, melalui perencanaan dan secara sadis karena
menggunakan racun sianida serta membiarkan temannya dalam keadaan kesakitan
sebelum meninggal, hal-hal yang meringankan terdakwa tidak ada.
Bagaimana
ketika hal yang meringankan dianggap tidak ada, tapi justru jaksa hanya
menuntut 20 tahun penjara bukan putusan yang paling berat yaitu hukuman mati
atau penjara seumur hidup, bukankah itu pula yang diinginkan keluarga korban serta
masyarakat sejauh ini bahwa dituntut seberat-beratnya. Disini terlihat kalau
jaksa menyadari bahwa dalam hal penyidikan yang dilakukan banyak sekali
kesalahan serta prosedur yang dilakukan terkesan terburu-buru, sehingga kasus
ini menjadi bias. Akhirnya menjadi pertanyaan masyarakat kapan sih sidangnya
beres? Kok sudah puluhan kali sidang tapi belum ada putusan. Ya, mau disidang
sampai berapa kalipun kalau bukti dan faktanya bias tidak akan terbukti.
Saya pernah
berdiskusi dengan salah satu teman saya seorang mahasiswa hukum untuk minta
pendapatnya, masih diawal persidangan kalau tidak salah saat itu …
Saya : gimana menurutmu kasus kopi ini, terlalu dipaksakan ga sih?
Teman : secara prosedur kalau sudah masuk ke pengadilan, berarti berkasnya
sudah dianggap lengkap oleh pengadilan dan jaksa dapat melakukan tuntutan.
Saya : tapi kan pembunuhnya juga belum bisa dibuktikan, barang
buktinya pun tidak ada (racun, celana yang hilang, saksi yang melihat
memasukkan racun), terkesan dipaksakan untuk menangkap seseorang atau harus ada
tersangka saat itu juga. Dipaksakan karena adanya tuntutan netizen bahwa
penegak hukum di negara kita terlampau lambat dalam menangani kasusnya.
Teman : kalau tuntutan media sih jadi pengecualian, ini kan kalau diluar
itu ya bro. tersangka udah harus dihukum (masuk pengadilan) itu.
Jadi, disini penangkapan yang
dilakukan kepolisian cenderung dipaksakan karena tuntutan media, apalagi you
knowlah polisi bagian kriminal nya itu paling eksis di media sosial, pasti
banyak yang mempertanyakan mengenai kinerja kepolisian.
Sekali lagi
disini saya tidak membela salah satu pihak, karena kasusnya memang bias
sehingga yang muncul adalah asumsi-asumsi. Beberapa ahli yang didatangkan pun
ya yang dinilai adalah pendapatnya, berdasarakan asumsi-asumsi (tidak ada yang
dapat memutuskan terdakwa bersalah).
Salah satu
yang sering diperdebatkan dalam sidang ini adalah kandungan sianida yang kecil
sebanyak 0,2 ml dan tidak adanya kandungan thyosianat dalam tubuh korban.
Sering dipermasalahkan karena kepolisian forensik tidak memunculkan berupa
kandungan kafein, natrium, sianida, arsen, dll. Jika memang kemungkinannya itu
sianida kenapa hanya dilakukan kandungan CN nya saja, tidak dilakukan analisis
ada tidaknya thyosianat (sianida bentuk lain) kan itu yang selama ini
dipertanyakan. Sekali lagi, saya asumsikan kasus ini bias. Penyidik tidak
melakukan penyidikan sesuai dengan seharusnya. Maka, penasehat hukum terdakwa
membawa kecacatan prosedur tersebut ke muka sidang dan inilah yang menjadikan
kasus ini panjang karena terlalu banyak saksi ahli yang dihadirkan. Justru ada
yang menarik perhatian saya adalah saksi ahli yang dihadirkan penasehat hukum
ialah dokter yang melakukan tindakan formalin pada tubuh korban. Selama ini
saksi yang dihadirkan jaksa biasanya adalah saksi yang turut andil dalam
penyidikan atau kontak pada tubuh korban, namun saksi ini ada kontak pada tubuh
korban namun tidak dihadirkan oleh jaksa.
Keterangannya
cukup logis dan seakan mengajarakan kita serta persidangan dalam tatalaksana
dalam kedokteran forensik. Ya, bahwa jika dilakukan otopsi menyeluruh keluarga
menolak. Bahkan sayapun jika ada anggota keluarga yang harus diotopsi saya
menolak. Namun, tanda tanda ditemukannya keracunan sianida itu tidak ada.
Bahkan statement yang cukup berani adalah beliau hanya dapat mengatakan sebab
kematian akibat keracunan sianida jika ditemukan tanda keracunan sianida dalam
tubuh, tidak mempermasalahkan kopi sianida diluar tubuh.
Logikanya
ialah jika ada racun dalam gelas lalu ada seseorang meninggal, selama racun
gelas itu tidak diminum maka orang yang meninggal tidak dapat dikatakan
keracunan. Kedua, tanda-tanda korosif yang ditimbulkan pada lambung adalah
karena asam bukan karena basa (sianida bersifat basa) adanya tolak belakang.
Ketiga, analisis racun yang dilakukan hanya segitu-gitunya (racun umum) dan
tidak dilakukan analisis pada thyosianat.
Asumsinya bisa
saja korban memang meninggal karena keracunan, namun racun yang dimasukkan
bukanlah sianida, sesuatu yang bersifat asam dan kita tidak tahu itu karena
tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Lalu ada apa dengan kandungan sianida
dalam kopi sebesar 7000 mg yang terlampau banyak, bahkan penyitaan barang bukti
baru dilakukan hari ketiga setelah kejadian. Selama 3 hari itu café masih tetap
buka dan beroperasi, apakah kopi tersebut masih yakin sama tidak ada
kontaminasi pihak lain? Masih banyak kemungkinan yang dapat dilakukan dalam
tempo 3 hari. Adanya kontradiksi antara barang bukti kopi dalam gelas dengan barang
bukti dalam tubuh korban.
Jika memang
itu semua adalah bentuk ketidaksempurnaan kinerja penyidik dalam kasus ini saya
harap dengan adanya kasus ini penyidik perlu bersikap independent dan teliti
dalam menyelesaikan kasus, tanpa intervensi media dan berbagai pihak.
Bagaimanapun hasil putusannya, saya harap disikapi dengan bijak karena saya
pikir terdakwa telah mendapatkan hukuman yang lebih berat yakni
pertanggungjawaban kepada Tuhan dan hukum secara sosial jika memang bersalah.
Perbaikan hukum Indonesia yang perlu diperjelas bukan sebuah putusan yang dapat
dimainkan demi kepentingan tertentu yang berdampak pada kasus-kasus lain (tajam
kebawah tumpul keatas).
"law its not a justice (hukum bukanlah keadilan)"
0 comments:
Posting Komentar