I
Pendahuluan
Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan dalam perkembangan
perekonomian di Indonesia. Pentingnya pertanian dalam perekonomian nasional
tidak hanya diukur dari kontribusinya terhadap pertumbuhan PDB (pendapatan nasional),
kesempatan kerja, sumber devisa negara, tetapi potensinya juga dilihat sebagai
motor penggerak pertumbuhan output dan diversifikasi produksi di sektor ekonomi
lain. Oleh karena itu, sektor pertanian dijadikan sebagai sektor pemimpin (leading
sector) bagi sektor-sektor lainnya (Tambunan, 2003).
Sapi
potong adalah salah satu ternak ruminansia sebagai penghasil daging di dunia
khususnya Indonesia. Namun, produksi daging dalam negeri belum mampu memenuhi
kebutuhan karena populasi dan tingkat
produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara
oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Suryana dalam
Rosida, 2006). Sentra sapi potong tersebar di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Naggroe
Aceh Darussalam (NAD), Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan
Sulawesi Selatan.
II
Permasalahan
Kebijakan
pemerintah mengenai swasembada daging tahun 2014 dalam sektor pertanian
khususnya subsektor peternakan dinilai telah gagal. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2012 dapat
diketahui bahwa jumlah produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu mencukupi
kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Jumlah produksi daging sapi dalam
negeri terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 produksi sebesar
339,48 ribu ton, tahun 2008 meningkat menjadi 392,51 ribu ton, tahun 2009
meningkat menjadi 409,31 ribu ton dan tahun 2010 meningkat menjadi 436,45 ribu
ton. Sedangkan jumlah konsumsi daging sapi pada tahun 2007 sebesar 1.529,30
ribu ton, tahun 2008 meningkat menjadi 1.643,09 ribu ton, tahun 2009 meningkat
menjadi 1.732,64 ribu ton dan tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 1.671,33
ribu ton.
Meskipun
jumlah produksi dalam negeri terus mengalami peningkatan, namun jumlah tersebut
belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi. Pemerintah mengambil langkah
kebijakan terkait dengan impor daging sapi dari luar negeri sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri. Kebijakan impor ini
dilakukan agar pasokan daging sapi di dalam negeri dapat terjaga. Adanya
permintaan terhadap daging sapi menuntut para produsen yang menawarkan daging
untuk melakukan sebuah upaya. Bentuk upaya yang dilakukan adalah upaya untuk
mengatur jumlah pasokan daging sapi agar terjadi kesesuaian antara jumlah
permintaan konsumen dengan daging sapi yang ditawarkan salahsatunya ialah
dengan melakukan penambahan impor sapi bakalan dari luar.
III
Metode Analisis
Analisis
yang digunakan dalam mengkaji kasus ini digunakan acuan dengan mengumpulkan
beberapa sumber data (data sekunder) yang diperoleh melalui berbagai dokumen
dan jurnal, untuk mendapatkan data yang terperinci dan komprehensif mengenai
kasus yang diteliti.
Selain
pengumpulan data, analisis dilakukan dengan menelaah data dengan aspek teoritis
yang melatarbelakanginya. Dimaksudkan, data yang diperoleh didukung oleh aspek
teoritis yang membangun konsep dasar yang jelas dalam pengkajian kasus. Metode
yang digunakan dalam studi kasus ini adalah metode deskriptif dan analitik.
IV
Pembahasan
Rantai
pasokan atau supply chain merupakan suatu konsep dimana terdapat sistem
pengaturan yang berkaitan dengan aliran produk, aliran informasi maupun aliran
keuangan (finansial). Kegiatan rantai pasok bakalan masih terus dilakukan
selama belum terpenuhinya jumlah permintaan konsumen pada daging sapi. Rantai
pasokan bakalan sendiri harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi kelancaran proses distribusi. Karena selain untuk memenuhi
permintaan konsumen, bentuk pengaturan dalam rantai pasokan bakalan juga
bertujuan untuk menguntungkan mata rantai yang terlibat. Sehingga diperlukan
sebuah pendekatan pada sistem rantai pasokan yang berupa pendekatan untuk mengetahui
aliran produk, aliran keuangan, aliran informasi, karena hal tersebut akan
mempengaruhi pengambilan keputusan mata rantai yang ada. Ketergantungan akan penyediaan
bakalan selain akan merugikan peternakan dalam negeri akan terjadi pula
persaingan harga. Studi kasus ini bermanfaat untuk sistem rantai pasok bakalan
atau aliran produk, dan aliran informasi pada rantai pasokan bakalan di
Indonesia.
Aliran Produk
Aliran
produk. Aliran produk merupakan aliran barang dari hulu (upstream) ke hilir
(downstream). Produk dalam rantai pasokan ini berupa sapi hidup atau bakalan menjadi
daging sapi segar sebagai produk utama dan hasil output lain sebagai side
product yang siap untuk dijual. Sapi potong hidup di Indonesia merupakan sapi
yang berasal dari peternakan rakyat ataupun hasil import. Pada pasar
tradisional sapi dari peternak dibeli oleh pedagang sapi hidup dan akan dijual
di pasar hewan yang selanjutnya selain dipotong ada beberapa yang akan melalui
tahap penggemukan (Feedlot). Adanya pasar hewan sebagai tempat transaksi jual beli
sapi potong akan menjadi pusat kegiatan perdagangan sapi potong, sehingga
memudahkan peternak untuk mendapatkan sapi bakalan.
Aliran Keuangan
Aliran
keuangan merupakan perpindahan uang yang mengalir dari hilir ke hulu. Aliran keuangan
mengalir dari konsumen hingga ke peternak sapi potong hidup. Berdasarkan pola aliran
dalam rantai pasokan sapi potong menunjukkan bahwa keuangan mengalir dari
pedagang sapi hidup kepada peternak. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai
dan akan terjadi transaksi apabila ada kesepakatan dan kesesuaian produk dengan
harga yang ditawarkan oleh peternak. Pedagang secara langsung akan membeli sapi
di tempat peternak yang ingin menjual sapi kemudian melakukan transaksi
tersebut.
Aliran
keuangan juga mengalir dari peternak ke pedagang sapi bakalan. Pembayaran
terhadap pembelian sapi bakalan dapat dilakukan secara langsung di pasar hewan
dimana sapi potong tersebut diperoleh ataupun secara tidak langsung dengan
menggunakan telepon, surat elektronik. Pembelian sapi bisa dilakukan secara
tunai maupun secara kredit. Perbedaan sistem pembelian ini dipengaruhi oleh
kemampuan modal pembeli sapi, karena harga sapi saat ini relatif lebih mahal.
Pembayaran tunai dilakukan apabila pembeli (peternak) membayarkan sejumlah uang
secara langsung kepada pedagang sapi di pasar hewan. Sistem pembayaran pada
pembelian sapi potong bisa dilakukan secara kredit sesuai dengan kesepakatan antara
peternak dengan pedagang sapi.
Aliran Informasi
Aliran
informasi merupakan aliran yang terjadi baik dari hulu ke hilir maupun
sebaliknya dari hilir ke hulu. Informasi yang mengalir berkaitan dengan stok
sapi bakalan, jumlah permintaan, harga sapi hidup, harga daging sapi maupun
informasi terkait peraturan pemotongan. Aliran informasi yang ada mengalir
secara vertikal maupun secara horizontal. Aliran mengalir secara vertikal artinya
terdapat koordinasi pada mata rantai yang berbeda yaitu antara peternak,
pedagang sapi, pengusaha daging (jagal), pihak RPH, pedagang pengecer dan
konsumen. Sedangkan aliran secara horizontal artinya terdapat koordinasi pada
sesama anggota mata rantai. Contoh adanya koordinasi secara horizontal yaitu
adanya koordinasi antar pedagang sapi bakalan terkait dengan stok sapi yang ada
di tingkat peternak. dan adanya koordinasi antar sesama pengusaha (peternak)
terkait jumlah stok sapi yang dimiliki menjadi bentuk adanya koordinasi secara
horizontal.
Aliran Distribusi
Kebutuhan
daging di Indonesia sebagian besar (65%) masih dipenuhi dari produksi dalam
negeri, dan sisanya diperoleh dari impor. Pemenuhan dari impor dapat berupa
daging dan sapi bakalan. Pangsa produksi dalam negeri yang tinggi, ditambah
dengan kegiatan redistribusi ternak dari ekspor-impor membutuhkan sarana
transportasi yang memadai. Hal ini terkait dengan daerah sentra produksi yang
tersebar pada beberapa daerah, sementara sentra konsumsi sebagian besar
terdapat di Pulau Jawa.
Daerah
sentra konsumsi diidentifikasi sebagai daerah defisit dalam kegiatan perdagangan
ternak. Sentra konsumsi utama daging sapi di Indonesia adalah DKI Jakarta dan
Jawa Barat. Arah perdagangan sapi dipengaruhi harga jual di berbagai sentra
produksi yang akan menentukan harga jual di sentra konsumsi Jakarta dan Jawa
Barat serta harga sapi potong eks-impor dan daging impor di sentra konsumsi.
Jalur utama untuk tujuan Jakarta dan Jawa Barat berasal dari Jawa
Tengah/D.I.Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi.
Pasar
yang semakin terbuka dan jika tidak ada upaya peningkatan efisiensi di sektor
produksi dan sarana transportasi serta deregulasi peraturan pemerintah yang
tidak kondusif, diduga produksi dalam negeri akan menghadapi desakan produk
impor. Jika ini terjadi maka dapat menimbulkan perubahan arah perdagangan
tersebut. Bahkan dapat terjadi pergerakan produk impor yang masuk melalui
daerah sentra konsumsi menuju daerah yang semula merupakan daerah sentra
produksi.
Peranan
organisasi pasar (roles) dan aturan main (rule) menentukan seberapa banyak
pelaku yang terlibat dan bagaimana proses transaksi terjadi. Dengan demikian
walaupun komoditas yang diperdagangkan sama, organisasi pasar dapat saja
berbeda (Tordjman, 1998). Hal ini terjadi pada pasar sapi potong di Indonesia. Faktor
yang membedakan antara lain: keterlibatan makelar, cara bayar, penentuan berat
badan yang akan menentukan nilai produk, besaran biaya jasa pasar hewan dan
lain-lain. Guna memperkecil biaya pemasaran dapat dilakukan secara internal maupun
eksternal. Secara internal dilakukan dengan mengefisienkan rantai tataniaga dan
kemungkinan perubahan bentuk produk. Dari sisi eksternal adalah dengan
menghilangkan pungutan liar, efisiensi jasa angkutan, dan deregulasi. Dalam
kaitannya dengan deregulasi kelihatan ada hal yang kontradiktif. Di satu pihak
secara nasional dan global mengarah pada liberalisasi dengan cara memperkecil
tarif, di sisi lain pemerintah daerah cenderung melakukan peningkatan kegiatan
pemungutan dalam berbagai bentuk.
Permasalahan dalam rantai tataniaga atau jalur distribusi
salahsatunya ialah terjadi di provinsi NTT yakni sebagai daerah yang menempati
urutan empat populasi sapi potong terbesar di Indonesia. Perkembangan populasi
ternak di NTT diprediksi akan terus meningkat setiap tahun, dengan penambahan
populasi terbanyak terdapat pada jenis ternak sapi. Pada tahun 2012, jumlah
populasi ternak sapi sebanyak 814.450 ekor, sedangkan pada Januari 2013
meningkat menjadi 817.708 ekor. Angka itu diprediksi akan terus meningkat
seiring dengan sejumlah langkah konkret di lapangan dalam pengembangan
peternakan di NTT. Di sisi lain
kebutuhan pasokan daging sapi untuk keperluan konsumsi masyarakat di NTT relatif rendah, karena jumlah penduduknya
memang jauh lebih sedikit dibandingkan pulau Jawa. Kelebihan potensi populasi sapi potong yang
cukup besar tersebut sulit untuk disalurkan ke pulau Jawa, yang masih membutuhkan tambahan pasokan cukup
besar, akibat kendala logistik yang berpengaruh pada harga jual yang tinggi
saat tiba di tangan konsumen. Secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor
daging sapi atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari
NTT. Biaya logistik yang tinggi
menyebabkan daya saing produk Indonesia, termasuk daging sapi, menjadi
lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis yang dihasilkan negara-negara
pesaing.
Pasokan
daging sapi dari daerah produsen menuju daerah konsumen menjadi tersendat
sebagai akibat dari kendala logistik, khususnya sistem transportasi angkutan
ternak yang masih belum memadai. Seperti sampai saat ini, pengangkutan ternak
dari NTT masih menggunakan truk atau kapal barang biasa yang berbarengan dengan
penumpang. Kondisi ini sangat berbeda dengan Australia, negara pemasok utama
sapi hidup ke Indonesia, yang menyediakan angkutan khusus untuk ternak. Memperhatikan
kondisi tersebut, tampaknya agar permasalahan daging sapi dapat segera
dipecahkan maka salah satu upaya yang perlu dan mendesak dilakukan adalah
pembenahan terhadap sistem logistik nasional. Upaya ini diharapkan akan
berdampak langsung terhadap perbaikan distribusi daging sapi nasional, sehingga
penyaluran komoditas daging sapi antar daerah di Indonesia dapat berjalan
secara efektif dan efisien.
Berkenaan
dengan permasalahan tersebut, pemerintah dengan para pemangku kepentingan
tengah berupaya untuk mengatasi permasalahan distribusi dan logistik daging
sapi untuk menurunkan harga dan mendorong peningkatan konsumsi daging
sapi. Pemerintah terus berperan aktif
dalam mengembangkan sistem logistik nasional. Upaya ini bertujuan untuk
memperlancar konektivitas antar daerah dan antar rantai logistik yang dilakukan
melalui revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat distribusi regional.
V
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Rantai
pasokan daging sapi di Indonesia memiliki 3 aliran yaitu aliran produk, aliran
keuangan dan aliran informasi. Aliran produk berupa bakalan mengalir dari
peternak hingga ke konsumen akhir (peternak). Aliran keuangan mengalir dari
konsumen akhir peternak sapi ke pedagang atau penyedia bakalan, sedangkan
aliran informasi mengalir dua arah dari peternak ke pedagang namun belum optimal
Arah
perdagangan sapi potong yang utama masih tetap pada kedua lokasi yaitu DKI
Jakarta dan Jawa Barat. Namun perbedaan harga dan perkembangan konsumsi yang
semakin meningkat, sementara kemampuan produksi dalam negeri relatif stagnan
sehingga terpaksa harus melakukan impor sapi bakalan, yang telah menciptakan
jalur-jalur perdagangan baru. Arah jalur baru tersebut yaitu dari Lampung ke
Sumatra Barat ke Riau dan ke Sumatra Utara dan dari Sulawesi Tenggara ke
Sulawesi Selatan dan dilanjutkan ke Kalimantan.
Saran
Pemerintah
sebaiknya dijadikan sebagai pusat tata kelola rantai pasokan daging dengan
meningkatkan perannya dalam kegiatan pengawasan terhadap proses jual beli sapi
potong (bakalan) hidup di pasar hewan, penjulalan
sapi yang dilakukan sesuai prosedur dan pengawasan peredaran daging sapi baik
secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintahpun seharusnya memberikan pengawasan
prosedur kebijakan mengenai impor untuk menyelamatkan peternak dalam negeri.
Daftar Pustaka
Emhar A.,
dkk.2014. Analisis rantai pasokan (supply chain) daging sapi di kabupaten
Jember. Universitas Jember. Jember.
Rosida, I. 2006.
Analisis potensi Sumber daya peternakan kabupaten tasikmalaya sebagai wilayah
pembangunan Sapi potong. Skripsi. Fakultas petrnakan intitiut pertanian, Bogor.
Tambunan TTH.
2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia:Beberapa Isu Penting. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Tordjman, 1998.
Some General Questions About Markets. International Institute for Applied
Systems Analysis. Luxemburg. Austria
0 comments:
Posting Komentar