Lupus lagi sibuk nyariin sepatu kets-nya yangbaru, ketika ada orang dengan isengnya mengetuk pintu depan.
“Tunggu sebentar, ya?” teriaknya sambil membongkar-bongkar tempat sepatu. Sial, kok cuma sebelah? Mana lagi yang sebelah? Huh, ini pasti kerjaan si Gegi, Kucing peliharaan Lulu. Kucing kecil yang nakal itu memang hobi banget menggigit-gigit sepatu dan membawanya berkeliling all around the world.
Suara ketukan itu terdengar lagi.
“Duile, dibilangi tunggu sebentar kok nggak ngerti?” gerutu Lupus. Tapi tak urung, dibukanya juga pintu depan. Di situ berdiri seorang laki-laki setengah baya, dengan senyum menghias. Pasti ada maunya!
“Permisi, Dik, numpang tanya. Kalau Jalan Kepiting Rebus itu di sebelah mana?” tanya lelaki itu sopan.
“Udah dicari belum?”
“Belum.”
“Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!” sahut Lupus sambil menutup pintu.
Lelaki setengah baya itu jadi terbengong-bengong sendiri. Lalu dengan setengah heran, dia melangkah pergi. tetapi sebelum jauh, Lupus sudah berteriak lagi dari jendela.
“Hei, Pak. Kalau udah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barang kali aja kapan-kapan saya juga butuh alamat itu.”
Lelaki itu mendelik sewot.
Dan Lupus pun kembali sibuk nyari-nyari sepatu kets-nya. Rencananya hari itu Lupus memang mau nonton pertandingan basket digelanggang remaja. Mulainya jam empat, tapi sekarang sudah jam empat lewat. Nggak heran kalau dia begitu panik, takut nggak kebagian tempat. Dia tadi memang sempat ketiduran, dan baru bangun jam empat kurang dikit.
Setelah sepatu yang sebelah ketemu, Lupus langsung menyambar tasnya, dan pergi mencari becak. Tapi sial, tak ada satu becak pun yang nampak. Pada kena razia kali. Ada juga sih satu becak yang sempat lewat, tapi sok jual mahal. Dipanggilin nggak nengok-nengok. Sampai Lupus bela-belain lari mengejarnya.
“He, Bang, ke gelanggang berapa?” tanya Lupus.
“Tujuh ratus lima puluh!” abang becak itu berkata spontan.
“Wah, kok mahal banget? Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini.”
“Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!” sahut abang becak itu ketus.
Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!
Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol disitu, langsung aja Lupus memanggil.
“Ada apa sih, Pus? Nggak bisa ngeliat orang seneng ya?” maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.“Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai semenit udah dipulangin. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket.”
“Kamu aja bilang sendiri,” tolak Lulu.
“Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia.”
Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.
“Ooo, boleh kok. Pake aja!” sahut cowok itu ramah.
Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.
“Ini kuncinya.”
“Trims. Saya nggak lama kok!”
“Lama juga nggak apa-apa!” sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.
Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nabrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.
“He, Dodol, mate lu ke mana?” bentak tukang kacang sewot.
“Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir,” sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.
“Halo, Ver, mau ke gelanggang ya?” sapa Lupus.
Tukang becak itu ngerem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.
Lupus cuek.
“Iya, kamu mau ke mana?”
“Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!”
Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.
“Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beli, ya?”
“Iya dong. Asli nih dari luar negeri,” Lupus nyombong.
“Wa, mahal dong harganya...”
“Ya begitulah.”
Semilir angin dan canda-canda ceria anak anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.
•••
Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.
“Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!” kata Vera.
“Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda.”
Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.
Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.
“Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!”
Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.
“Karcis! Karcis! Mana karcisnya!” teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.
“Sori, Im, tadi malem kecuci,” sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.
“Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!” kata Boim dengan belagunya.
“Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!” cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.
Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris openkap, asyik ber-dancing queen, diiringi lagu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografi itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).
Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biartop kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.
Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-asem aja (emangnya sayur asem?). Nggak ada reaksi. Dansi Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju dan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.
•••
Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan ton tonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.
“Ver, kamu ada yang jemput, ya?” tanya Lupus.
“Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er,” sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan diwajah Lupus.
“Emangnya kenapa, Pus? Kamu mau boncengin saya lagi?” selidik Vera.
“Maunya sih begitu.”
“Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya?”
Lupus kegirangan.
“Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja dibawah pohon situ, ya? Saya yang ngambil sepeda.”
Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.
Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa? Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.
Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.
“Idih, ditungguin lama banget! Ngapain aja sih kamu?”
“Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!”
“Ada yang nyuri?!” Vera kaget.
“Enggak... tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya?”
“Lho? Itu kan sepeda kamu? Kok nggak inget sih?”
Lupus gelagapan.
“Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!” bela Lupus.
Vera menatap tak percaya.
“Jadi gimana?”
“Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana?”
“Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda?”
Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.
Lama kemudian, Lupus baru mengaku.
“kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sepeda punya tetangga saya.”
Vera menoleh kaget.
“Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!” sungut Vera.
“Ya, kayaknya memang begitu.”
Vera cemberut.
Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.
Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!
“Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er...”
Vera masih cemberut.
“Tunggu sebentar, ya?” teriaknya sambil membongkar-bongkar tempat sepatu. Sial, kok cuma sebelah? Mana lagi yang sebelah? Huh, ini pasti kerjaan si Gegi, Kucing peliharaan Lulu. Kucing kecil yang nakal itu memang hobi banget menggigit-gigit sepatu dan membawanya berkeliling all around the world.
Suara ketukan itu terdengar lagi.
“Duile, dibilangi tunggu sebentar kok nggak ngerti?” gerutu Lupus. Tapi tak urung, dibukanya juga pintu depan. Di situ berdiri seorang laki-laki setengah baya, dengan senyum menghias. Pasti ada maunya!
“Permisi, Dik, numpang tanya. Kalau Jalan Kepiting Rebus itu di sebelah mana?” tanya lelaki itu sopan.
“Udah dicari belum?”
“Belum.”
“Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!” sahut Lupus sambil menutup pintu.
Lelaki setengah baya itu jadi terbengong-bengong sendiri. Lalu dengan setengah heran, dia melangkah pergi. tetapi sebelum jauh, Lupus sudah berteriak lagi dari jendela.
“Hei, Pak. Kalau udah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barang kali aja kapan-kapan saya juga butuh alamat itu.”
Lelaki itu mendelik sewot.
Dan Lupus pun kembali sibuk nyari-nyari sepatu kets-nya. Rencananya hari itu Lupus memang mau nonton pertandingan basket digelanggang remaja. Mulainya jam empat, tapi sekarang sudah jam empat lewat. Nggak heran kalau dia begitu panik, takut nggak kebagian tempat. Dia tadi memang sempat ketiduran, dan baru bangun jam empat kurang dikit.
Setelah sepatu yang sebelah ketemu, Lupus langsung menyambar tasnya, dan pergi mencari becak. Tapi sial, tak ada satu becak pun yang nampak. Pada kena razia kali. Ada juga sih satu becak yang sempat lewat, tapi sok jual mahal. Dipanggilin nggak nengok-nengok. Sampai Lupus bela-belain lari mengejarnya.
“He, Bang, ke gelanggang berapa?” tanya Lupus.
“Tujuh ratus lima puluh!” abang becak itu berkata spontan.
“Wah, kok mahal banget? Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini.”
“Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!” sahut abang becak itu ketus.
Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!
Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol disitu, langsung aja Lupus memanggil.
“Ada apa sih, Pus? Nggak bisa ngeliat orang seneng ya?” maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.“Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai semenit udah dipulangin. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket.”
“Kamu aja bilang sendiri,” tolak Lulu.
“Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia.”
Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.
“Ooo, boleh kok. Pake aja!” sahut cowok itu ramah.
Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.
“Ini kuncinya.”
“Trims. Saya nggak lama kok!”
“Lama juga nggak apa-apa!” sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.
Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nabrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.
“He, Dodol, mate lu ke mana?” bentak tukang kacang sewot.
“Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir,” sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.
“Halo, Ver, mau ke gelanggang ya?” sapa Lupus.
Tukang becak itu ngerem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.
Lupus cuek.
“Iya, kamu mau ke mana?”
“Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!”
Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.
“Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beli, ya?”
“Iya dong. Asli nih dari luar negeri,” Lupus nyombong.
“Wa, mahal dong harganya...”
“Ya begitulah.”
Semilir angin dan canda-canda ceria anak anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.
•••
Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.
“Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!” kata Vera.
“Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda.”
Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.
Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.
“Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!”
Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.
“Karcis! Karcis! Mana karcisnya!” teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.
“Sori, Im, tadi malem kecuci,” sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.
“Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!” kata Boim dengan belagunya.
“Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!” cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.
Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris openkap, asyik ber-dancing queen, diiringi lagu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografi itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).
Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biartop kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.
Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-asem aja (emangnya sayur asem?). Nggak ada reaksi. Dansi Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju dan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.
•••
Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan ton tonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.
“Ver, kamu ada yang jemput, ya?” tanya Lupus.
“Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er,” sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan diwajah Lupus.
“Emangnya kenapa, Pus? Kamu mau boncengin saya lagi?” selidik Vera.
“Maunya sih begitu.”
“Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya?”
Lupus kegirangan.
“Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja dibawah pohon situ, ya? Saya yang ngambil sepeda.”
Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.
Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa? Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.
Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.
“Idih, ditungguin lama banget! Ngapain aja sih kamu?”
“Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!”
“Ada yang nyuri?!” Vera kaget.
“Enggak... tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya?”
“Lho? Itu kan sepeda kamu? Kok nggak inget sih?”
Lupus gelagapan.
“Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!” bela Lupus.
Vera menatap tak percaya.
“Jadi gimana?”
“Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana?”
“Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda?”
Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.
Lama kemudian, Lupus baru mengaku.
“kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sepeda punya tetangga saya.”
Vera menoleh kaget.
“Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!” sungut Vera.
“Ya, kayaknya memang begitu.”
Vera cemberut.
Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.
Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!
“Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er...”
Vera masih cemberut.
0 comments:
Posting Komentar