CONVERSATION
Diamond No Ace Act II Chapter 54
CONVERSATION
Lupus (Novel Fiksi)
Lupus sendiri adalah tokoh fiksi dalam serial novel berjudul sama karangan Hilman Hariwijaya. Novel Lupus pertama diterbitkan pada tahun 1986 berjudul Lupus I: Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Walaupun judulnya adalah plesetan dari film Kejarlah Daku Kau Kutangkap, ceritanya tak berhubungan.
Lupus memiliki teman-teman seperti Boim, Gusur, Anto, Aji, Fifi
Alone, Adi Darwis, Gito(teman massa dewasanya). Iko-iko, Pepno, Happy,
Uwi dan masih banyak lagi(teman masa kanak-kanak dan remajanya).
Ia memiliki seorang adik bernama Lulu dan mereka berdua kini tinggal
bersama sang Mami yang bernama Anita. Sedangkan sang Papi yang bernama
Mulyadi, telah meninggal saat Lupus kelas 1 SMA. Beberapa kisah dari
novel-novel Lupus juga telah diangkat ke dalam bentuk film dan sinetron. Selain itu juga telah terbit berbagai variasi dari cerita Lupus seperti Lupus Kecil, Lupus Milenia dan lain-lain.
Terdapat pula sederetan gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Seperti Poppy, Rina, Happy, sampai yang terbaru adalah Nessa.
Lupus identik sekali dengan permen karet yang tak pernah lepas
darinya. Model rambut berjambul yang sering dihina Lulu dengan sebutan
sarang Burung. Juga sifatnya yang konyol, hingga membuatnya disukai oleh
seluruh teman-temannya.
Lupus memiliki teman-teman seperti Boim, Gusur, Anto, Aji, Fifi Alone, Adi Darwis, Gito(teman massa dewasanya). Iko-iko, Pepno, Happy, Uwi dan masih banyak lagi(teman masa kanak-kanak dan remajanya).
Ia memiliki seorang adik bernama Lulu dan mereka berdua kini tinggal bersama sang Mami yang bernama Anita. Sedangkan sang Papi yang bernama Mulyadi, telah meninggal saat Lupus kelas 1 SMA. Beberapa kisah dari novel-novel Lupus juga telah diangkat ke dalam bentuk film dan sinetron. Selain itu juga telah terbit berbagai variasi dari cerita Lupus seperti Lupus Kecil, Lupus Milenia dan lain-lain.
Terdapat pula sederetan gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Seperti Poppy, Rina, Happy, sampai yang terbaru adalah Nessa.
Lupus identik sekali dengan permen karet yang tak pernah lepas darinya. Model rambut berjambul yang sering dihina Lulu dengan sebutan sarang Burung. Juga sifatnya yang konyol, hingga membuatnya disukai oleh seluruh teman-temannya.
Lupus
1. Tangkaplah Daku Kau Kujitak (November 1986)
2. Cinta Olimpiade (Februari 1987)
3. Makhluk Manis Dalam Bis (Juni 1987)
4. Tragedi Sinemata (Oktober 1987)
5. Topi-Topi Centil (Maret 1988)
6. Bangun Dong, Lupus (Agustus 1988)
7. Sendal Jepit (Juni 1989)
8. Iiih, syereem! (Juli 1990)
9. Idiiih, Udah Gede(Desember 1990)
10.Drakuli Kuper(Ih, Syereem Part 2)(Maret 1992)
11.Lupus 'n Work(Maret 1994)
12.Interview With The Nyamuk(Mei 1995)
13.Yang Paling Oke(September 1995)
14.Cowok Matre(Juni 1996)
15.Mission: Muke Tebel(Maret 1997)
16.Gone With The Gossip!(Oktober 1997)
17.The Lost Boy: Salah Culik(1998)
18.Kutukan Bintik Merah(1998)
19.Krismon(1998)
20.Sereem (Ih, Syereem Part 3)(1999)
21.Boys Don't Cry(1999)
22.Bunga Untuk Poppy(2000)
23.Cendlelight Dinner(2000)
24.Lupus Milenia 1 - Boneka di Taman Sekolah(2001)
25.Lupus Milenia 2 - BeTe(2002)
26.Lupus Milenia 3 - PDKT(2002)
27.Cinta Seorang Seleb(2005)
28.Lupus Return: Cewek Junkies(2007)
29.Bangun Lagi Dong Lupus(2013)
Lupus ABG(With Boim LeBon)
1. Lupus ABG(Maret 1995)
2. Jadi Lupa Sama Yang Lain(Juli 1995)
3. Cinta Lupus(September 1995)
4. Ringan Sama Dijinjing,Berat Sama Difficult(Maret 1996)
5. Bohong Itu Nyontek(September 1997)
6. Simalakama(1998)
7. Sur... Sur... Surprise(1999)
8. Telepon Umun dan Kecoak Nungging(1999)
9. Cemburu Berdarah Dingin(2000)
10. Berantem Gaya Baru(2002)
11. My Grandma Dream's(2005)
12. "Suster Ngepooot"(2008)
Lupus Kecil(With Boim LeBon)
1. Lupus Kecil(Februari 1989)
2. Sunatan Massal(Juni 1990)
3. JJS: Jalan-jalan Seram(Juli 1991)
4. Rumpi Kala Hujan(Juni 1992)
5. Sakit, Lah, Dekh, Dong, Weew(Februari 1993)
6. Duit Lebaran(Maret 1994)
7. Bolos(Desember 1994)
8. Terserah Si Ehem(1998)
9. Guruku Manis Sekali(1998)
10. Kucing Asuh Bernama Mulan(1999)
11. Repot... Repot... Repot...!(2000)
12. Iiih, Takuuut!(2001)
13. Diam Belum Tentu Emas(2003)
1. Tangkaplah Daku Kau Kujitak (November 1986)
2. Cinta Olimpiade (Februari 1987)
3. Makhluk Manis Dalam Bis (Juni 1987)
4. Tragedi Sinemata (Oktober 1987)
5. Topi-Topi Centil (Maret 1988)
6. Bangun Dong, Lupus (Agustus 1988)
7. Sendal Jepit (Juni 1989)
8. Iiih, syereem! (Juli 1990)
9. Idiiih, Udah Gede(Desember 1990)
10.Drakuli Kuper(Ih, Syereem Part 2)(Maret 1992)
11.Lupus 'n Work(Maret 1994)
12.Interview With The Nyamuk(Mei 1995)
13.Yang Paling Oke(September 1995)
14.Cowok Matre(Juni 1996)
15.Mission: Muke Tebel(Maret 1997)
16.Gone With The Gossip!(Oktober 1997)
17.The Lost Boy: Salah Culik(1998)
18.Kutukan Bintik Merah(1998)
19.Krismon(1998)
20.Sereem (Ih, Syereem Part 3)(1999)
21.Boys Don't Cry(1999)
22.Bunga Untuk Poppy(2000)
23.Cendlelight Dinner(2000)
24.Lupus Milenia 1 - Boneka di Taman Sekolah(2001)
25.Lupus Milenia 2 - BeTe(2002)
26.Lupus Milenia 3 - PDKT(2002)
27.Cinta Seorang Seleb(2005)
28.Lupus Return: Cewek Junkies(2007)
29.Bangun Lagi Dong Lupus(2013)
Lupus ABG(With Boim LeBon)
1. Lupus ABG(Maret 1995)
2. Jadi Lupa Sama Yang Lain(Juli 1995)
3. Cinta Lupus(September 1995)
4. Ringan Sama Dijinjing,Berat Sama Difficult(Maret 1996)
5. Bohong Itu Nyontek(September 1997)
6. Simalakama(1998)
7. Sur... Sur... Surprise(1999)
8. Telepon Umun dan Kecoak Nungging(1999)
9. Cemburu Berdarah Dingin(2000)
10. Berantem Gaya Baru(2002)
11. My Grandma Dream's(2005)
12. "Suster Ngepooot"(2008)
Lupus Kecil(With Boim LeBon)
1. Lupus Kecil(Februari 1989)
2. Sunatan Massal(Juni 1990)
3. JJS: Jalan-jalan Seram(Juli 1991)
4. Rumpi Kala Hujan(Juni 1992)
5. Sakit, Lah, Dekh, Dong, Weew(Februari 1993)
6. Duit Lebaran(Maret 1994)
7. Bolos(Desember 1994)
8. Terserah Si Ehem(1998)
9. Guruku Manis Sekali(1998)
10. Kucing Asuh Bernama Mulan(1999)
11. Repot... Repot... Repot...!(2000)
12. Iiih, Takuuut!(2001)
13. Diam Belum Tentu Emas(2003)
CONVERSATION
Lupus - Makhluk Manis dalam Bis
CONVERSATION
Lupus - 06 Sepeda Balap
Lupus lagi sibuk nyariin sepatu kets-nya yangbaru, ketika ada orang dengan isengnya mengetuk pintu depan.
“Tunggu sebentar, ya?” teriaknya sambil membongkar-bongkar tempat sepatu. Sial, kok cuma sebelah? Mana lagi yang sebelah? Huh, ini pasti kerjaan si Gegi, Kucing peliharaan Lulu. Kucing kecil yang nakal itu memang hobi banget menggigit-gigit sepatu dan membawanya berkeliling all around the world.
Suara ketukan itu terdengar lagi.
“Duile, dibilangi tunggu sebentar kok nggak ngerti?” gerutu Lupus. Tapi tak urung, dibukanya juga pintu depan. Di situ berdiri seorang laki-laki setengah baya, dengan senyum menghias. Pasti ada maunya!
“Permisi, Dik, numpang tanya. Kalau Jalan Kepiting Rebus itu di sebelah mana?” tanya lelaki itu sopan.
“Udah dicari belum?”
“Belum.”
“Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!” sahut Lupus sambil menutup pintu.
Lelaki setengah baya itu jadi terbengong-bengong sendiri. Lalu dengan setengah heran, dia melangkah pergi. tetapi sebelum jauh, Lupus sudah berteriak lagi dari jendela.
“Hei, Pak. Kalau udah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barang kali aja kapan-kapan saya juga butuh alamat itu.”
Lelaki itu mendelik sewot.
Dan Lupus pun kembali sibuk nyari-nyari sepatu kets-nya. Rencananya hari itu Lupus memang mau nonton pertandingan basket digelanggang remaja. Mulainya jam empat, tapi sekarang sudah jam empat lewat. Nggak heran kalau dia begitu panik, takut nggak kebagian tempat. Dia tadi memang sempat ketiduran, dan baru bangun jam empat kurang dikit.
Setelah sepatu yang sebelah ketemu, Lupus langsung menyambar tasnya, dan pergi mencari becak. Tapi sial, tak ada satu becak pun yang nampak. Pada kena razia kali. Ada juga sih satu becak yang sempat lewat, tapi sok jual mahal. Dipanggilin nggak nengok-nengok. Sampai Lupus bela-belain lari mengejarnya.
“He, Bang, ke gelanggang berapa?” tanya Lupus.
“Tujuh ratus lima puluh!” abang becak itu berkata spontan.
“Wah, kok mahal banget? Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini.”
“Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!” sahut abang becak itu ketus.
Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!
Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol disitu, langsung aja Lupus memanggil.
“Ada apa sih, Pus? Nggak bisa ngeliat orang seneng ya?” maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.“Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai semenit udah dipulangin. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket.”
“Kamu aja bilang sendiri,” tolak Lulu.
“Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia.”
Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.
“Ooo, boleh kok. Pake aja!” sahut cowok itu ramah.
Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.
“Ini kuncinya.”
“Trims. Saya nggak lama kok!”
“Lama juga nggak apa-apa!” sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.
Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nabrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.
“He, Dodol, mate lu ke mana?” bentak tukang kacang sewot.
“Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir,” sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.
“Halo, Ver, mau ke gelanggang ya?” sapa Lupus.
Tukang becak itu ngerem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.
Lupus cuek.
“Iya, kamu mau ke mana?”
“Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!”
Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.
“Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beli, ya?”
“Iya dong. Asli nih dari luar negeri,” Lupus nyombong.
“Wa, mahal dong harganya...”
“Ya begitulah.”
Semilir angin dan canda-canda ceria anak anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.
•••
Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.
“Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!” kata Vera.
“Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda.”
Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.
Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.
“Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!”
Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.
“Karcis! Karcis! Mana karcisnya!” teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.
“Sori, Im, tadi malem kecuci,” sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.
“Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!” kata Boim dengan belagunya.
“Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!” cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.
Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris openkap, asyik ber-dancing queen, diiringi lagu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografi itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).
Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biartop kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.
Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-asem aja (emangnya sayur asem?). Nggak ada reaksi. Dansi Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju dan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.
•••
Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan ton tonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.
“Ver, kamu ada yang jemput, ya?” tanya Lupus.
“Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er,” sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan diwajah Lupus.
“Emangnya kenapa, Pus? Kamu mau boncengin saya lagi?” selidik Vera.
“Maunya sih begitu.”
“Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya?”
Lupus kegirangan.
“Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja dibawah pohon situ, ya? Saya yang ngambil sepeda.”
Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.
Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa? Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.
Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.
“Idih, ditungguin lama banget! Ngapain aja sih kamu?”
“Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!”
“Ada yang nyuri?!” Vera kaget.
“Enggak... tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya?”
“Lho? Itu kan sepeda kamu? Kok nggak inget sih?”
Lupus gelagapan.
“Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!” bela Lupus.
Vera menatap tak percaya.
“Jadi gimana?”
“Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana?”
“Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda?”
Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.
Lama kemudian, Lupus baru mengaku.
“kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sepeda punya tetangga saya.”
Vera menoleh kaget.
“Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!” sungut Vera.
“Ya, kayaknya memang begitu.”
Vera cemberut.
Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.
Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!
“Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er...”
Vera masih cemberut.
“Tunggu sebentar, ya?” teriaknya sambil membongkar-bongkar tempat sepatu. Sial, kok cuma sebelah? Mana lagi yang sebelah? Huh, ini pasti kerjaan si Gegi, Kucing peliharaan Lulu. Kucing kecil yang nakal itu memang hobi banget menggigit-gigit sepatu dan membawanya berkeliling all around the world.
Suara ketukan itu terdengar lagi.
“Duile, dibilangi tunggu sebentar kok nggak ngerti?” gerutu Lupus. Tapi tak urung, dibukanya juga pintu depan. Di situ berdiri seorang laki-laki setengah baya, dengan senyum menghias. Pasti ada maunya!
“Permisi, Dik, numpang tanya. Kalau Jalan Kepiting Rebus itu di sebelah mana?” tanya lelaki itu sopan.
“Udah dicari belum?”
“Belum.”
“Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!” sahut Lupus sambil menutup pintu.
Lelaki setengah baya itu jadi terbengong-bengong sendiri. Lalu dengan setengah heran, dia melangkah pergi. tetapi sebelum jauh, Lupus sudah berteriak lagi dari jendela.
“Hei, Pak. Kalau udah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barang kali aja kapan-kapan saya juga butuh alamat itu.”
Lelaki itu mendelik sewot.
Dan Lupus pun kembali sibuk nyari-nyari sepatu kets-nya. Rencananya hari itu Lupus memang mau nonton pertandingan basket digelanggang remaja. Mulainya jam empat, tapi sekarang sudah jam empat lewat. Nggak heran kalau dia begitu panik, takut nggak kebagian tempat. Dia tadi memang sempat ketiduran, dan baru bangun jam empat kurang dikit.
Setelah sepatu yang sebelah ketemu, Lupus langsung menyambar tasnya, dan pergi mencari becak. Tapi sial, tak ada satu becak pun yang nampak. Pada kena razia kali. Ada juga sih satu becak yang sempat lewat, tapi sok jual mahal. Dipanggilin nggak nengok-nengok. Sampai Lupus bela-belain lari mengejarnya.
“He, Bang, ke gelanggang berapa?” tanya Lupus.
“Tujuh ratus lima puluh!” abang becak itu berkata spontan.
“Wah, kok mahal banget? Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini.”
“Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!” sahut abang becak itu ketus.
Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!
Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol disitu, langsung aja Lupus memanggil.
“Ada apa sih, Pus? Nggak bisa ngeliat orang seneng ya?” maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.“Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai semenit udah dipulangin. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket.”
“Kamu aja bilang sendiri,” tolak Lulu.
“Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia.”
Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.
“Ooo, boleh kok. Pake aja!” sahut cowok itu ramah.
Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.
“Ini kuncinya.”
“Trims. Saya nggak lama kok!”
“Lama juga nggak apa-apa!” sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.
Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nabrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.
“He, Dodol, mate lu ke mana?” bentak tukang kacang sewot.
“Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir,” sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.
“Halo, Ver, mau ke gelanggang ya?” sapa Lupus.
Tukang becak itu ngerem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.
Lupus cuek.
“Iya, kamu mau ke mana?”
“Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!”
Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.
“Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beli, ya?”
“Iya dong. Asli nih dari luar negeri,” Lupus nyombong.
“Wa, mahal dong harganya...”
“Ya begitulah.”
Semilir angin dan canda-canda ceria anak anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.
•••
Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.
“Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!” kata Vera.
“Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda.”
Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.
Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.
“Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!”
Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.
“Karcis! Karcis! Mana karcisnya!” teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.
“Sori, Im, tadi malem kecuci,” sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.
“Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!” kata Boim dengan belagunya.
“Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!” cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.
Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris openkap, asyik ber-dancing queen, diiringi lagu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografi itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).
Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biartop kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.
Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-asem aja (emangnya sayur asem?). Nggak ada reaksi. Dansi Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju dan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.
•••
Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan ton tonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.
“Ver, kamu ada yang jemput, ya?” tanya Lupus.
“Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er,” sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan diwajah Lupus.
“Emangnya kenapa, Pus? Kamu mau boncengin saya lagi?” selidik Vera.
“Maunya sih begitu.”
“Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya?”
Lupus kegirangan.
“Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja dibawah pohon situ, ya? Saya yang ngambil sepeda.”
Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.
Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa? Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.
Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.
“Idih, ditungguin lama banget! Ngapain aja sih kamu?”
“Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!”
“Ada yang nyuri?!” Vera kaget.
“Enggak... tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya?”
“Lho? Itu kan sepeda kamu? Kok nggak inget sih?”
Lupus gelagapan.
“Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!” bela Lupus.
Vera menatap tak percaya.
“Jadi gimana?”
“Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana?”
“Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda?”
Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.
Lama kemudian, Lupus baru mengaku.
“kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sepeda punya tetangga saya.”
Vera menoleh kaget.
“Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!” sungut Vera.
“Ya, kayaknya memang begitu.”
Vera cemberut.
Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.
Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!
“Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er...”
Vera masih cemberut.
CONVERSATION
Lupus - 05 Terang Bulan
Yang namanya remaja setiap ada kesempatan libur, pasti tak akan
dilewatkan begitu saja. Selalu ada saja yang dikerjakan. Dan pada
saat-saat liburan, justru kreativitas mereka lebih menonjol. Menciptakan
kegiatan apa saja yang bisa menimbulkan keasyikan tersendiri. Yang
kesemuanya ini akan segera dilupakan ketika mereka kembali harus
menekuni buku sekolah. Memaksa diri belajar, meski pikiran tetap
melayang.
Dan keasyikan kala liburan itu kadang menjadi mode, yang cepat mewabahi remaja. Sulit ditemukan siapa yang memulai, tapi sudah mewabah dengan satu orang saja yang memulai. Seperti sekarang, pas hari jumat, Irvan begitu gembiranya ketika baru menyadari bahwa besok ada tanggalan merah. Berarti ada dua hari libur: Sabtu dan minggu. Cukup bikin acara khusus. Maka dia pun menghampiri Lupus yang lagi asyik menyalin peer kimia dari buku Utari.
“Hei, kamu pasti kegirangan banget mendengar ide cemerlang saya kali ini!” sahutnya sambil menepuk bahu Lupus. Lupus tak bereaksi, terus mengerjakan pekerjaan rutinnya : nyalin pe-er. Dia memang nggak hobi bikin pe-er. Wong dia pernah berkata bahwa waktu yang terluang dirumah adalah saat-saat yang tepat untuk mengerjakan hobi. Dan kamu tau pelajaran kan tidak boleh mengganggu hobi... Makanya kalau ada peer, dia pasti rajin datang pagi-pagi. Langsung mencari Utari yang suka rajin bikin pe-er.
“Begini lho, Pus. Sabtu dan Minggu besokkan kita libur. Saya punya ide untuk mengisi hari hari yang sangat bersejarah itu. Kamu tau nggak, pada malam itu akan ada terang bulan. Nah, kita bisa hura-hura ke Puncak. Seperti anak-anak lainnya. Wah, pasti rame sekali deh!” lanjut Irvan.
“Rame?” tanya Lupus sambil terus nyalin peer.
“Iya. Kamu nggak tau ya, kalau anak-anak banyak yang pergi ke Puncak kalau lagi terang bulan? Wah – kuno. Asyik sekali, kan.”
“Nanti malam?”
“Iya, nanti malam. Kan besoknya libur dua hari tuh. Cukup deh buat hura-hura.”
“Ke Puncak?”
“Iya. Kita bisa ajak anak-anak lainnya seperti si Ridwan, Anto, Roni... wah-mereka pasti setuju. Gimana?”
“Kapan?”
“Nanti malam. Soalnya kendaraan gampang deh. Saya bisa usahakan pinjam Bokap.”
“Sama siapa?”
“Ya... kita ajak teman-teman kita. Seperti si Ridwan, Anto, Roni...”
“Ajak ke mana?”
“Ke Puncak. Wah nggak bisa kebayang. Bakalan rame deh. Bisa ketemu teman, cewek kece... Percaya deh sama saya. Kamu pasti suka. Di sana rame sekali...”
“Rame?”
Irvan melotot. Keterlaluan, dia baru sadar kalau baru dikerjai Lupus. Anak ini memang sialan banget, orang udah cerita serius-serius malah dipermainkan. Nggak bisa menghargai ide cemerlang orang lain, ya?
“He, lu tau dodol nggak ?” bentak Irvan kesal.
Lupus Cuma ngikik (nggak tau ngikik, ya? Sama aja dengan ngakak, tapi bunyinya seperti kuntilanak cekikikan). “Sori deh. Abis kamu juga sih nakal. Orang lagi asyik-asyik nyalin pe-er diajak ngomong terus. Nanti kan nggak bisa selesai. Saya bisa disetrap. Setelah keluar main nanti deh kita omongin lagi. Oke? Nah, sana. Maen dulu. Ini ada gocap kalau kamu mau beli es atau apa gitu...”
Irvan mendengus, dan dengan dongkol dia pergi
•••
Begitu keluar main pertama, Irvan langsung mengumpulkan teman-temannya: Lupus, Ridwan,Anto, dan Roni. Dengan semangat ’45, dia menyampaikan ide cemerlangnya. “Nah, seperti yang saya bilang tadi, kita bikin acara nanti malam. Semua ngumpul di rumah saya nanti sore sekitar jam lima. Saya bisa usahain pinjam minibis Bokap. Biar udah tua, tapi tuh mobil ngirit banget. Dengan 10 liter bensin, cukup untuk Jakarta-Puncak pulang pergi. Apalagi kalau pakai bensin campur; dua liter cukup!”
“Ngaco, mana mungkin cukup dua liter?” bantah Lupus.
“Lho, kan pake bensin campur. Campur dorong, gitu. Jadi kalau udah abis bensinnya, kalian dorong rame-rame sampe Puncak. Hehehe...“ Irvan tersenyum puas. Gantian Lupus yang keki.
“Hampir lucu!” sahut Lupus dongkol.
“Oke, gimana? Setuju, kan? Saya deh yang bawa mobilnya. Kalian cukup mempersiapkan perlengkapan lainnya. Misalnya kompor, panci, beras, sleeping bag...”
“Dikata mau kemping apa?”
“Habis bawa apaan dong?”
“Ya, bawa aja makanan kecil yang murah tapi meriah...” usul Lupus.
“Misalnya?” Irvan jadi tertarik.
“Semut rang-rang...”
“Asem! Ya, gitu aja deh. Bawa sendiri apa apa yang kita perlukan nanti. Dan inget, kita nggak usah ajak cewek kita. Nggak seru. Ntar nggak bebas. Kita nggak bisa ngeceng.”
Semua mengangguk cepat.
“Tapi yang penting semua pada bawa makanan yang banyak, ya?” sahut Lupus lagi. Dia memang paling hobi kalau diajak makan. Nggak kenal basa basi, langsung sikat. Wong dia punya prinsip sama dengan temannya Rosfita yang juga doyan makan itu. Katanya, jangan pernah mengecewakan orang yang sudah berbaik hati nawarin makanan. Dosa besar! Sampai-sampai Lulu, adik Lupus, pernah berkomentar,“Kalau kita berdiri di atas tumpukan nasi di piring Lupus, pasti seluruh pulau Jawa kelihatan.” Lupus keki juga. Tapi dia memang makannya banyak. Sering di pesta ulang tahun teman temannya, dia nggak sadar ngambil nasi kebanyakan. Sampai teman-temannya pada berkomentar,”Doyan atau rakus, Pus?”
“Nggak, Cuma kesurupan,” balas Lupus dongkol.
Dan anehnya biar doyan makan, Lupus tetap aja berbadan langsing. Cuma jempolnya aja yang makin gede. Mungkin semua vitamin masuk kesitu.
Dan percakapan kelima cowok itu terhenti ketika Boim masuk ke kelas.
“Set... ada Boim. Dia nggak ikutan, kan? Abis suka norak sih!” bisik Roni. Semua pada diam.
“Hayo, kok jadi pada bungkam. Abis ngegosipin saya, ya?” ujar Boim lantang.
“Kok tau? Padahal kita nggak niat jahat. Sumpah deh!” jawab Lupus polos.
“Tau dong. Pasti kalian lagi ngomongin kenapa saya kemarin bisa jalan-jalan sama Svida,ya?”
“Bukan. Kita lagi main tebak-tebakan; benda apa yang serba keriting. Ya rambutnya, ya hidungnya, ya bibirnya, ya alisnya dan bulu-bulu lainnya, tapi benda itu hidup. Terus kita semua jadi inget kamu. Padahal sungguh mati deh, kita nggak maksud begitu tadinya. Cuma iseng aja bikin teka-teki. Dan kamunya, panjang umur sekali. Lagi diteka-tekiin ee... tau-tau nongol.”
Boim langsung ngeloyor pergi.
•••
Lupus memang tau kalau minibis yang akan dibawa Irvan sudah agak tua, tetapi nggak kebayang akan sebobrok ini. Lupus sempat heran ketika melihat bodi mobil yang benar-benar menyedihkan itu. “Eh, apa masih bisa jalan, nih?” tanya Lupus ragu.
“Jangan menghina! Gini-gini masih bagus mesinnya. Masih kuat dibawa ke Surabaya. Udahdeh, naik aja. Kita berangkat sekarang.”
Dan benar, meski tua toh mobil itu sekarang bisa berjalan dengan mulus menelusuri jalan tol yang sepi lepas magrib. Irvan dan Roni duduk di depan. Di deretan kedua, Anto sama Ridwan. Dan Lupus paling belakang sendirian. Asyik membuka-buka makanan bawaannya. Ada cokelat, permen karet, kuaci, kacang sukro, selai pisang, keripik, dodol, dan sejenisnya. Persis orang mau mudik lebaran. Sebagian memang dikasih Rina. Tadi, sebelum pergi, dia sempat pamit sama doinya itu. Minta doa restu. Langsung aja dibekali macem-macem buat di jalan. Anto, Ridwan, Roni dan Irvan juga sempat pamitan sama doinya masing-masing. Dan sekarang mereka lagi membayangkan suasana di sana nanti. Ketemu teman-teman lain, sama-sama memandangi bulan yang bersinar penuh. Dengan udara Puncak yang dingin. Sementara di bawah terhampar indah permadani alam. Terdiri dari kelap-kelip lampu kota di kejauhan. Duh, betapa indahnya hidup di dunia ini. Belum lagi kalu dijalan bisa ketemu cewek kece. Eh, tapi apa iya bisa ngegodain cewek dengan mobil butut keluaran zaman rikiplik beginian?
Tapi Tuhan memang Maha Adil. Di dekat Puncak, tiba-tiba melintas seorang cewek manis. Irvan langsung mengerem.
“Busyet, kece banget tuh cewek. Sendirian lagi. Kita ajak , yuk?”
Secara serentak mereka langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Di luar memang berjalan cewek manis. Berdandan rada menor, tapi justru makin asyik.
“Iya-ya. Kita ajak aja. Lumayan kan buat...”
“Hus, dosa lho. Kita kan udah janji sama cewek-cewek kita untuk nggak serong?”
“Ini bukan serong. Cuma buat iseng. Nggak apa-apa, kok. Wajar. Namanya juga cowok. Yuk, kita ajak aja.”
Lupus ragu, tapi ya setuju juga.
“Siapa yang berani ngajak? Kamu aja deh, Pus. Kamu kan suka nekat orangnya!”
“Lho kok saya?”
Tapi karena teman-temannya memaksa, Lupus turun juga. Sempat baca Bismillah sepuluh kali.
“Eh, halo. Saya mau numpang tanya. Jalan kePuncak lewat sini, ya?” sahut Lupus setelah dekat dengan cewek itu.
“Iya. Terus aja...” suara cewek itu terdengar merdu sekali.
“Masih jauh nggak?”
“Ya, lumayan juga. Kenapa sih? Mau ke Puncak mas?”
“Iya. Mau ikut nggak? Di sana kan lagi rame kalau malam terang bulan begini. Ikut aja yuk, dari pada sendirian. Jangan takut deh, saya orang baik-baik. Nggak niat mau nyulik kamu. Sumpah!”
Cewek itu tersenyum. Dan entah kenapa, akhirnya cewek itu nurut juga. Ridwan, Irvan,Roni, dan Anto langsung melonjak-lonjak kegirangan.
•••
Minibis itu sedang melaju dengan cepatnya, ketika mendadak jaipongan gila-gilaan. Semua orang yang di dalam menjerit. Saling berpegangan. Irvan dengan refleks mengerem mobil yang tak terkontrol itu. Dan tak pelak, semua pada terjerembab ke depan. Lupus yang paling malang. Lagi asyik-asyik makan permen karet, jadi tertelan. Padahal kan anak kecil juga tau, kalau permenkaret itu nggak boleh ditelan.
“Ada apa, Ir? Mau akrobat, ya?” seru mereka serempak.
“Enak aja. Tadi ada batu besar di tengah jalan. Saya nggak bisa menghindar. Dan roda mobilnya jadi pecah. Daripada memaki-maki begitu, lebih baik bantu saya ganti ban,” jawab Irvan. Semua pada turun. Termasuk cewek cakep itu. Semua pada memeriksa ban yang pecah.
“Oh, God! Saya lupa nggak bawa ban serep. Bagaimana ini?” teriak Irvan setelah memeriksa ke tempat ban. Semua anak pada berpandang pandangan. Kecemasan menjalar di wajah-wajah mereka. Apalagi ketika tiba-tiba gemuruh terdengar di kejauhan. Langit menjadi hitam kelam. Sinar bulan purnama dan bintang-bintang secara perlahan tertutup awan gelap. Kabut malam pun mulai turun, dan menyelimuti keadaan sekitar situ. Dan semua pada berebut masuk ketika hujan turun dengan derasnya. Menghancurkan harapan mereka semua untuk bisa menikmati malam indah, bercanda di bawah terang bulan.
Tak ada yang berbicara. Semua seperti menyesali nasib. Tapi ya mau apa lagi kalau sudah begini. Tiba-tiba mereka semua sadar, bahwa gadis itu sudah tak bersama mereka lagi. Menghilang entah ke mana.
“Ke mana perginya? Apa dia ikut dengan mobil yang tadi lewat? Atau...”
Semua jadi mendadak saling mendekat.
“Atau... dia itu setan?” suara Irvan terdengar kering.
Lupus langsung meloncat. Nggak tega membayangkan, gimana kalau gadis itu beneran setan. Padahal kan dia yang ngajak.
“Ini pasti ganjaran buat kita. Cewek tadi itu pembawa sial. Hi... kita telah berdosa menyia nyiakan kesetian cewek-cewek kita. Cowok memang egois,” ujar Irvan serius. Yang lain terdiam.
“Tadi, waktu kamu ngajak cewek itu, ada sesuatu yang aneh nggak?” tanya Roni.
“Jangan tanya! Saya nggak mau mikirin lagi. Mau setan kek, kuntilanak kek. Terserah. Ketahuilah, saya nggak percaya takhayul. Tapi jangan kira saya berani ketemu cewek itu lagi. Dan, kayaknya Irvan betul juga tuh. Kita harus minta maaf sama cewek kita. Siapa tau Tuhan mendengar niat baik kita, dan mau menolong kita.”
Semua diam. Masing-masing terbang bersama lamunannya. Sementara di luar hujan masih terus turun. Menyebabkan udara semakin dingin menggigit.
•••
Hari seninnya mereka semua masuk seperti biasa. Becanda di kelas, ngegosip di kantin, godain cewek-cewek yang baru ngedaftar. Mereka sama sekali lupa peristiwa malam minggu kemarin. Juga lupa meminta maaf sama cewek-cewek mereka.
Yeah, kenangan buruk masa lalu kan lebih baik dilupakan.
Dan keasyikan kala liburan itu kadang menjadi mode, yang cepat mewabahi remaja. Sulit ditemukan siapa yang memulai, tapi sudah mewabah dengan satu orang saja yang memulai. Seperti sekarang, pas hari jumat, Irvan begitu gembiranya ketika baru menyadari bahwa besok ada tanggalan merah. Berarti ada dua hari libur: Sabtu dan minggu. Cukup bikin acara khusus. Maka dia pun menghampiri Lupus yang lagi asyik menyalin peer kimia dari buku Utari.
“Hei, kamu pasti kegirangan banget mendengar ide cemerlang saya kali ini!” sahutnya sambil menepuk bahu Lupus. Lupus tak bereaksi, terus mengerjakan pekerjaan rutinnya : nyalin pe-er. Dia memang nggak hobi bikin pe-er. Wong dia pernah berkata bahwa waktu yang terluang dirumah adalah saat-saat yang tepat untuk mengerjakan hobi. Dan kamu tau pelajaran kan tidak boleh mengganggu hobi... Makanya kalau ada peer, dia pasti rajin datang pagi-pagi. Langsung mencari Utari yang suka rajin bikin pe-er.
“Begini lho, Pus. Sabtu dan Minggu besokkan kita libur. Saya punya ide untuk mengisi hari hari yang sangat bersejarah itu. Kamu tau nggak, pada malam itu akan ada terang bulan. Nah, kita bisa hura-hura ke Puncak. Seperti anak-anak lainnya. Wah, pasti rame sekali deh!” lanjut Irvan.
“Rame?” tanya Lupus sambil terus nyalin peer.
“Iya. Kamu nggak tau ya, kalau anak-anak banyak yang pergi ke Puncak kalau lagi terang bulan? Wah – kuno. Asyik sekali, kan.”
“Nanti malam?”
“Iya, nanti malam. Kan besoknya libur dua hari tuh. Cukup deh buat hura-hura.”
“Ke Puncak?”
“Iya. Kita bisa ajak anak-anak lainnya seperti si Ridwan, Anto, Roni... wah-mereka pasti setuju. Gimana?”
“Kapan?”
“Nanti malam. Soalnya kendaraan gampang deh. Saya bisa usahakan pinjam Bokap.”
“Sama siapa?”
“Ya... kita ajak teman-teman kita. Seperti si Ridwan, Anto, Roni...”
“Ajak ke mana?”
“Ke Puncak. Wah nggak bisa kebayang. Bakalan rame deh. Bisa ketemu teman, cewek kece... Percaya deh sama saya. Kamu pasti suka. Di sana rame sekali...”
“Rame?”
Irvan melotot. Keterlaluan, dia baru sadar kalau baru dikerjai Lupus. Anak ini memang sialan banget, orang udah cerita serius-serius malah dipermainkan. Nggak bisa menghargai ide cemerlang orang lain, ya?
“He, lu tau dodol nggak ?” bentak Irvan kesal.
Lupus Cuma ngikik (nggak tau ngikik, ya? Sama aja dengan ngakak, tapi bunyinya seperti kuntilanak cekikikan). “Sori deh. Abis kamu juga sih nakal. Orang lagi asyik-asyik nyalin pe-er diajak ngomong terus. Nanti kan nggak bisa selesai. Saya bisa disetrap. Setelah keluar main nanti deh kita omongin lagi. Oke? Nah, sana. Maen dulu. Ini ada gocap kalau kamu mau beli es atau apa gitu...”
Irvan mendengus, dan dengan dongkol dia pergi
•••
Begitu keluar main pertama, Irvan langsung mengumpulkan teman-temannya: Lupus, Ridwan,Anto, dan Roni. Dengan semangat ’45, dia menyampaikan ide cemerlangnya. “Nah, seperti yang saya bilang tadi, kita bikin acara nanti malam. Semua ngumpul di rumah saya nanti sore sekitar jam lima. Saya bisa usahain pinjam minibis Bokap. Biar udah tua, tapi tuh mobil ngirit banget. Dengan 10 liter bensin, cukup untuk Jakarta-Puncak pulang pergi. Apalagi kalau pakai bensin campur; dua liter cukup!”
“Ngaco, mana mungkin cukup dua liter?” bantah Lupus.
“Lho, kan pake bensin campur. Campur dorong, gitu. Jadi kalau udah abis bensinnya, kalian dorong rame-rame sampe Puncak. Hehehe...“ Irvan tersenyum puas. Gantian Lupus yang keki.
“Hampir lucu!” sahut Lupus dongkol.
“Oke, gimana? Setuju, kan? Saya deh yang bawa mobilnya. Kalian cukup mempersiapkan perlengkapan lainnya. Misalnya kompor, panci, beras, sleeping bag...”
“Dikata mau kemping apa?”
“Habis bawa apaan dong?”
“Ya, bawa aja makanan kecil yang murah tapi meriah...” usul Lupus.
“Misalnya?” Irvan jadi tertarik.
“Semut rang-rang...”
“Asem! Ya, gitu aja deh. Bawa sendiri apa apa yang kita perlukan nanti. Dan inget, kita nggak usah ajak cewek kita. Nggak seru. Ntar nggak bebas. Kita nggak bisa ngeceng.”
Semua mengangguk cepat.
“Tapi yang penting semua pada bawa makanan yang banyak, ya?” sahut Lupus lagi. Dia memang paling hobi kalau diajak makan. Nggak kenal basa basi, langsung sikat. Wong dia punya prinsip sama dengan temannya Rosfita yang juga doyan makan itu. Katanya, jangan pernah mengecewakan orang yang sudah berbaik hati nawarin makanan. Dosa besar! Sampai-sampai Lulu, adik Lupus, pernah berkomentar,“Kalau kita berdiri di atas tumpukan nasi di piring Lupus, pasti seluruh pulau Jawa kelihatan.” Lupus keki juga. Tapi dia memang makannya banyak. Sering di pesta ulang tahun teman temannya, dia nggak sadar ngambil nasi kebanyakan. Sampai teman-temannya pada berkomentar,”Doyan atau rakus, Pus?”
“Nggak, Cuma kesurupan,” balas Lupus dongkol.
Dan anehnya biar doyan makan, Lupus tetap aja berbadan langsing. Cuma jempolnya aja yang makin gede. Mungkin semua vitamin masuk kesitu.
Dan percakapan kelima cowok itu terhenti ketika Boim masuk ke kelas.
“Set... ada Boim. Dia nggak ikutan, kan? Abis suka norak sih!” bisik Roni. Semua pada diam.
“Hayo, kok jadi pada bungkam. Abis ngegosipin saya, ya?” ujar Boim lantang.
“Kok tau? Padahal kita nggak niat jahat. Sumpah deh!” jawab Lupus polos.
“Tau dong. Pasti kalian lagi ngomongin kenapa saya kemarin bisa jalan-jalan sama Svida,ya?”
“Bukan. Kita lagi main tebak-tebakan; benda apa yang serba keriting. Ya rambutnya, ya hidungnya, ya bibirnya, ya alisnya dan bulu-bulu lainnya, tapi benda itu hidup. Terus kita semua jadi inget kamu. Padahal sungguh mati deh, kita nggak maksud begitu tadinya. Cuma iseng aja bikin teka-teki. Dan kamunya, panjang umur sekali. Lagi diteka-tekiin ee... tau-tau nongol.”
Boim langsung ngeloyor pergi.
•••
Lupus memang tau kalau minibis yang akan dibawa Irvan sudah agak tua, tetapi nggak kebayang akan sebobrok ini. Lupus sempat heran ketika melihat bodi mobil yang benar-benar menyedihkan itu. “Eh, apa masih bisa jalan, nih?” tanya Lupus ragu.
“Jangan menghina! Gini-gini masih bagus mesinnya. Masih kuat dibawa ke Surabaya. Udahdeh, naik aja. Kita berangkat sekarang.”
Dan benar, meski tua toh mobil itu sekarang bisa berjalan dengan mulus menelusuri jalan tol yang sepi lepas magrib. Irvan dan Roni duduk di depan. Di deretan kedua, Anto sama Ridwan. Dan Lupus paling belakang sendirian. Asyik membuka-buka makanan bawaannya. Ada cokelat, permen karet, kuaci, kacang sukro, selai pisang, keripik, dodol, dan sejenisnya. Persis orang mau mudik lebaran. Sebagian memang dikasih Rina. Tadi, sebelum pergi, dia sempat pamit sama doinya itu. Minta doa restu. Langsung aja dibekali macem-macem buat di jalan. Anto, Ridwan, Roni dan Irvan juga sempat pamitan sama doinya masing-masing. Dan sekarang mereka lagi membayangkan suasana di sana nanti. Ketemu teman-teman lain, sama-sama memandangi bulan yang bersinar penuh. Dengan udara Puncak yang dingin. Sementara di bawah terhampar indah permadani alam. Terdiri dari kelap-kelip lampu kota di kejauhan. Duh, betapa indahnya hidup di dunia ini. Belum lagi kalu dijalan bisa ketemu cewek kece. Eh, tapi apa iya bisa ngegodain cewek dengan mobil butut keluaran zaman rikiplik beginian?
Tapi Tuhan memang Maha Adil. Di dekat Puncak, tiba-tiba melintas seorang cewek manis. Irvan langsung mengerem.
“Busyet, kece banget tuh cewek. Sendirian lagi. Kita ajak , yuk?”
Secara serentak mereka langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Di luar memang berjalan cewek manis. Berdandan rada menor, tapi justru makin asyik.
“Iya-ya. Kita ajak aja. Lumayan kan buat...”
“Hus, dosa lho. Kita kan udah janji sama cewek-cewek kita untuk nggak serong?”
“Ini bukan serong. Cuma buat iseng. Nggak apa-apa, kok. Wajar. Namanya juga cowok. Yuk, kita ajak aja.”
Lupus ragu, tapi ya setuju juga.
“Siapa yang berani ngajak? Kamu aja deh, Pus. Kamu kan suka nekat orangnya!”
“Lho kok saya?”
Tapi karena teman-temannya memaksa, Lupus turun juga. Sempat baca Bismillah sepuluh kali.
“Eh, halo. Saya mau numpang tanya. Jalan kePuncak lewat sini, ya?” sahut Lupus setelah dekat dengan cewek itu.
“Iya. Terus aja...” suara cewek itu terdengar merdu sekali.
“Masih jauh nggak?”
“Ya, lumayan juga. Kenapa sih? Mau ke Puncak mas?”
“Iya. Mau ikut nggak? Di sana kan lagi rame kalau malam terang bulan begini. Ikut aja yuk, dari pada sendirian. Jangan takut deh, saya orang baik-baik. Nggak niat mau nyulik kamu. Sumpah!”
Cewek itu tersenyum. Dan entah kenapa, akhirnya cewek itu nurut juga. Ridwan, Irvan,Roni, dan Anto langsung melonjak-lonjak kegirangan.
•••
Minibis itu sedang melaju dengan cepatnya, ketika mendadak jaipongan gila-gilaan. Semua orang yang di dalam menjerit. Saling berpegangan. Irvan dengan refleks mengerem mobil yang tak terkontrol itu. Dan tak pelak, semua pada terjerembab ke depan. Lupus yang paling malang. Lagi asyik-asyik makan permen karet, jadi tertelan. Padahal kan anak kecil juga tau, kalau permenkaret itu nggak boleh ditelan.
“Ada apa, Ir? Mau akrobat, ya?” seru mereka serempak.
“Enak aja. Tadi ada batu besar di tengah jalan. Saya nggak bisa menghindar. Dan roda mobilnya jadi pecah. Daripada memaki-maki begitu, lebih baik bantu saya ganti ban,” jawab Irvan. Semua pada turun. Termasuk cewek cakep itu. Semua pada memeriksa ban yang pecah.
“Oh, God! Saya lupa nggak bawa ban serep. Bagaimana ini?” teriak Irvan setelah memeriksa ke tempat ban. Semua anak pada berpandang pandangan. Kecemasan menjalar di wajah-wajah mereka. Apalagi ketika tiba-tiba gemuruh terdengar di kejauhan. Langit menjadi hitam kelam. Sinar bulan purnama dan bintang-bintang secara perlahan tertutup awan gelap. Kabut malam pun mulai turun, dan menyelimuti keadaan sekitar situ. Dan semua pada berebut masuk ketika hujan turun dengan derasnya. Menghancurkan harapan mereka semua untuk bisa menikmati malam indah, bercanda di bawah terang bulan.
Tak ada yang berbicara. Semua seperti menyesali nasib. Tapi ya mau apa lagi kalau sudah begini. Tiba-tiba mereka semua sadar, bahwa gadis itu sudah tak bersama mereka lagi. Menghilang entah ke mana.
“Ke mana perginya? Apa dia ikut dengan mobil yang tadi lewat? Atau...”
Semua jadi mendadak saling mendekat.
“Atau... dia itu setan?” suara Irvan terdengar kering.
Lupus langsung meloncat. Nggak tega membayangkan, gimana kalau gadis itu beneran setan. Padahal kan dia yang ngajak.
“Ini pasti ganjaran buat kita. Cewek tadi itu pembawa sial. Hi... kita telah berdosa menyia nyiakan kesetian cewek-cewek kita. Cowok memang egois,” ujar Irvan serius. Yang lain terdiam.
“Tadi, waktu kamu ngajak cewek itu, ada sesuatu yang aneh nggak?” tanya Roni.
“Jangan tanya! Saya nggak mau mikirin lagi. Mau setan kek, kuntilanak kek. Terserah. Ketahuilah, saya nggak percaya takhayul. Tapi jangan kira saya berani ketemu cewek itu lagi. Dan, kayaknya Irvan betul juga tuh. Kita harus minta maaf sama cewek kita. Siapa tau Tuhan mendengar niat baik kita, dan mau menolong kita.”
Semua diam. Masing-masing terbang bersama lamunannya. Sementara di luar hujan masih terus turun. Menyebabkan udara semakin dingin menggigit.
•••
Hari seninnya mereka semua masuk seperti biasa. Becanda di kelas, ngegosip di kantin, godain cewek-cewek yang baru ngedaftar. Mereka sama sekali lupa peristiwa malam minggu kemarin. Juga lupa meminta maaf sama cewek-cewek mereka.
Yeah, kenangan buruk masa lalu kan lebih baik dilupakan.
CONVERSATION
Lupus - 04 Fifi Alone
Lupus kaget banget waktu secara mendadak sepotong tangan halus mencolek
pundaknya. Tampangnya jadi blo'on nggak ketulungan, dan permen karet
yang sudah setengah jam dikunyahnya nyaris mencolot keluar. Di
hadapannya terpampang seraut wajah sumringah milik Fifi Alone, teman
sekelas Lupus yang (sok) kece. Tapi sayang, meski namanya pakai ‘alone’
di belakangnya, anak kece ini nggak pernah dipromosiin ke kamu-kamu,
soalnya udah ada yang naksir. Yaitu si Gusur, seniman sableng anak
bahasa. Jadi ya silakan kecewa aja.
Fifi pun melemparkan senyum legitnya,“Selamat ya, Pus, kapan kamu mau interview ogut? Calling dulu dong sebelumnya, biar entar ogut sediain waktu khusus buat you!” Interview? Setengah heran Lupus bertanya dalam hati. Tapi suara yang cenderung dimerdu-merduin dengan bahasa gado-gado dari Fifi, membuatnya tak berselera untuk meledakkan sumpah serapah.
“Dont be a fool, Pus. Kamu kan wartawan, kamu so pasti perlu artis untuk di-interview sebagai bahan tulisan di you punya majalah!?
“Ya, tapi apa hubungannya dengan kamu,Fi?”
Disodori pertanyaan kayak gitu, Fifi jadi tertawa manja.
“Wah, ke mana aja sih kamu, Pus? Belum tau ya kalo dua bulan lagi film perdana ike bakal keluar?”
“Film? Sejak kapan kamu main film? Apa nggak salah denger nih?”
“Of course not. Waktu saya pura-pura sakit, dan bolos sekolah selama tiga minggu lebih, kan lagi sibuk-sibuknya shooting tuh. Cuek aja, pelajaran ketinggalan nggak jadi soal. Yang penting bisa aku punya karir dulu. Ya nggak, ya nggak?
“Eh, ike yakin deh film perdana ike bakal sukses besar, mengalahkan ibunda-nya Teguh Karya. Sebab judulnya aja asyik, Menanti Langganan di Pintu Gerbang. Memang ada unsur seksnya dikit, tapi percaya deh, nggak terlalu murahan kok. Di film itu, kru-kru film banyak yang menilai permainanku bagus. Dan percaya nggak, katanya aku punya fans besar buat ngerontokin dominasinya Enny Beatrice. Makanya kamu interview ike deh, Pus. Mumpung ike masih punya waktu untuk itu. Kalo ditunda-tunda nanti keburu hari-hari ike habis untuk shooting. Mana bisa terima kamu lagi? Sebenarnya sekarang juga udah sibuk sih, kan ada tawaran main film lagi. Karena kita temenan, ya fifty-fifty deh. Kawan-kawan lain juga udah dibilangin, kalo pada mau minta tanda tangan, sekarang-sekarang aja. Nanti kalo udah ngetop kan repot berat!”
Panjang lebar Fifi Alone ngecap, sampai Lupus kesemutan. Perihal cewek satu ini ngidam pingin jadi artis sih udah bukan berita baru lagi. Dari dulu juga lagaknya suka sok artis. Seperti waktu anak-anak - termasuk Fifi - lagi pada antri masuk kolam renang sampai bergerombol-gerombol dengan anak sekolah lain, atau waktu pada rebutan naik bis pulang sekolah, Fifi denganen teng berbisik, “kamu tau nggak, Pus, kenapa mereka pada bergerombol desak-desakan begini?”
“Enggak, memang kenapa?”
“Mereka pada kepingin dekat-dekat saya. Maklum artis.”
Duile, Lupus sampai keki. Yang namanya antri di mana-mana juga saling berdesakan. Dan saking sok artisnya, Fifi akan protes keras kalo namanya ditulis sesederhana itu. Dia biasa menuliskan namanya dengan ‘Vieffy Alone’.
Memang dalam forum yang gak resmi, Lupus pernah juga berkomentar, “Sebetulnya mental untuk jadi artis sudah dimiliki Fifi, tapi kesempatannya aja yang belum ada.”
Makannya waktu Fifi dengan semangat proklamasinya menerangkan bahwa dia sudah membintangi sebuah film, Lupus setengah percaya setengah enggak. Yang membuat Lupus yakin, setahunya Fifi memang sempat ngebolos tiga minggu lebih. Tapi apa benar tindakan cuti ilegal itu dipergunakan untuk shooting film atau keperluan lain, nggak jelas juga. Lupus malah mengira dia lagi cuti hamil (hus!).
Lupus bimbang. Fifi memandang genit, sambil mendekikkan pipi gaya Marissa Haque.
“Ngomong-ngomong, apa peranan kamu difilm itu, Fi?”
Di tanya begitu, Fifi yang tadinya sempat bergenit ria jadi mendadak gelagapan. Tapi karena mental artisnya sudah kental melekat, dengan cepatia menguasai keadaan dan menjawab,
“Ah, perananku di sana sih memang nggak besar. Tapi percaya deh, tanpa aku film itu tak berartiapa-apa.”
“Semacam pemeran pembantu, begitu?”
“I think so. Cuma masalahnya kapan kamu mau interview, Pus?” Lupus belum sempat menjawab pasti, ketika bel masuk sekonyong konyong gedombrangan.
Fifi pun melemparkan senyum legitnya,“Selamat ya, Pus, kapan kamu mau interview ogut? Calling dulu dong sebelumnya, biar entar ogut sediain waktu khusus buat you!” Interview? Setengah heran Lupus bertanya dalam hati. Tapi suara yang cenderung dimerdu-merduin dengan bahasa gado-gado dari Fifi, membuatnya tak berselera untuk meledakkan sumpah serapah.
“Dont be a fool, Pus. Kamu kan wartawan, kamu so pasti perlu artis untuk di-interview sebagai bahan tulisan di you punya majalah!?
“Ya, tapi apa hubungannya dengan kamu,Fi?”
Disodori pertanyaan kayak gitu, Fifi jadi tertawa manja.
“Wah, ke mana aja sih kamu, Pus? Belum tau ya kalo dua bulan lagi film perdana ike bakal keluar?”
“Film? Sejak kapan kamu main film? Apa nggak salah denger nih?”
“Of course not. Waktu saya pura-pura sakit, dan bolos sekolah selama tiga minggu lebih, kan lagi sibuk-sibuknya shooting tuh. Cuek aja, pelajaran ketinggalan nggak jadi soal. Yang penting bisa aku punya karir dulu. Ya nggak, ya nggak?
“Eh, ike yakin deh film perdana ike bakal sukses besar, mengalahkan ibunda-nya Teguh Karya. Sebab judulnya aja asyik, Menanti Langganan di Pintu Gerbang. Memang ada unsur seksnya dikit, tapi percaya deh, nggak terlalu murahan kok. Di film itu, kru-kru film banyak yang menilai permainanku bagus. Dan percaya nggak, katanya aku punya fans besar buat ngerontokin dominasinya Enny Beatrice. Makanya kamu interview ike deh, Pus. Mumpung ike masih punya waktu untuk itu. Kalo ditunda-tunda nanti keburu hari-hari ike habis untuk shooting. Mana bisa terima kamu lagi? Sebenarnya sekarang juga udah sibuk sih, kan ada tawaran main film lagi. Karena kita temenan, ya fifty-fifty deh. Kawan-kawan lain juga udah dibilangin, kalo pada mau minta tanda tangan, sekarang-sekarang aja. Nanti kalo udah ngetop kan repot berat!”
Panjang lebar Fifi Alone ngecap, sampai Lupus kesemutan. Perihal cewek satu ini ngidam pingin jadi artis sih udah bukan berita baru lagi. Dari dulu juga lagaknya suka sok artis. Seperti waktu anak-anak - termasuk Fifi - lagi pada antri masuk kolam renang sampai bergerombol-gerombol dengan anak sekolah lain, atau waktu pada rebutan naik bis pulang sekolah, Fifi denganen teng berbisik, “kamu tau nggak, Pus, kenapa mereka pada bergerombol desak-desakan begini?”
“Enggak, memang kenapa?”
“Mereka pada kepingin dekat-dekat saya. Maklum artis.”
Duile, Lupus sampai keki. Yang namanya antri di mana-mana juga saling berdesakan. Dan saking sok artisnya, Fifi akan protes keras kalo namanya ditulis sesederhana itu. Dia biasa menuliskan namanya dengan ‘Vieffy Alone’.
Memang dalam forum yang gak resmi, Lupus pernah juga berkomentar, “Sebetulnya mental untuk jadi artis sudah dimiliki Fifi, tapi kesempatannya aja yang belum ada.”
Makannya waktu Fifi dengan semangat proklamasinya menerangkan bahwa dia sudah membintangi sebuah film, Lupus setengah percaya setengah enggak. Yang membuat Lupus yakin, setahunya Fifi memang sempat ngebolos tiga minggu lebih. Tapi apa benar tindakan cuti ilegal itu dipergunakan untuk shooting film atau keperluan lain, nggak jelas juga. Lupus malah mengira dia lagi cuti hamil (hus!).
Lupus bimbang. Fifi memandang genit, sambil mendekikkan pipi gaya Marissa Haque.
“Ngomong-ngomong, apa peranan kamu difilm itu, Fi?”
Di tanya begitu, Fifi yang tadinya sempat bergenit ria jadi mendadak gelagapan. Tapi karena mental artisnya sudah kental melekat, dengan cepatia menguasai keadaan dan menjawab,
“Ah, perananku di sana sih memang nggak besar. Tapi percaya deh, tanpa aku film itu tak berartiapa-apa.”
“Semacam pemeran pembantu, begitu?”
“I think so. Cuma masalahnya kapan kamu mau interview, Pus?” Lupus belum sempat menjawab pasti, ketika bel masuk sekonyong konyong gedombrangan.
•••
Bisa diduga bak api tersiram bensin, selang waktu yang tak lama SMA Merah Putih menjadi gempar. Di kantin, di ruang praktek, perpustakaan, semua sibuk mengomentari Fifi yang mendadak jadi bintang film beneran.
“Nggak nyangka, akhirnya cita-citanya kesampaian juga!” celetuk Boim terkagum-kagum.
“Ah, paling-paling dia main sabun sama produsernya!” timpal Ruri yang suka sirik, lantaran udah lama dia sedikit keki sama tingkah laku Fifi. Dan tentunya juga ngiri, kenapa Fifi bisa jadi bintang film, sedang dia nggak. Padahal menurut kaca di rumahnya, yang barangkali kalo bisa ngomong pasti dipelototi, wajahnya jauh lebih cakep kalo dibandingi si Fifi. Juga kata neneknya, yang barangkali aja agak kurang pergaulan sampai menyangka bahwa Ruri adalah gadis terayu yang pernah dia lihat. Makanya jangan heran, bila dia belajar dari pengalaman tersebut, lantas jadi keki nggak ketulungan.
Lupus yang menangkap ada getaran nggak enak dari nada ucapan Ruri, kontan ingin coba coba memancing di air butek.
“Main sabun gimana maksudmu, Rur? Bikin balon-balonan, gitu?”
“Goblok, kamu kan tau sendiri bagaimana situasi dunia perfilman saat ini? Banyak produser yang genit, dan banyak juga calon bintang yang nggak bermoral. Asal bisa nongol di satu film, dia rela melakukan apa saja untuk sang produser, atau sutradara. Orang yang paling memungkinkan seseorang bisa muncul di film. Termasuk buka-buka baju segala (iii...!). Nah, produsernya juga gila lagi. Tau orang butuh dan nggak berdaya, maka dipergunakan deh kesempatan itu sebaik-baiknya!” jelas Ruri sambil berlagak mengutak-atik soal matematika.
“Maksudmu Fifi terlibat kasus kayak gitu?”
“Ah, aku kan nggak bilang. Tapi setidaknya kamu bisa terka sendiri, bukan?” ada sunggingan senyum di sudut bibir Ruri ketika mengatakan itu.
•••
Meski sebenernya persoalan sepele, SMA Merah Putih ternyata memang sedang rame saat ini karena ulah Fifi. Ada yang pro dan kontra. Kalau teman dekat Fifi yang mendadak jadi sering ditraktir, tentu saja setuju dan mendukung karir Fifi. Sedang sebagian siswi yang merasa tersaingi, kontan menduga yang tidak-tidak mengenai keberhasilannya. Pendeknya, semua pembicaraan yang terjadi di anak-anak jadi seperti memantau gerak-gerik Fifi.
Dan Fifi terus terang aja jadi ke-ge-er-an banget diperhatiin kayak gitu. Wong, dasar mental artisnya sudah kuat melekat, dia nggak grogi sedikit pun. Bahkan tingkahnya kian mengartis saja. Seperti kalo ada kesempatan datang ke sekolah tanpa baju seragam, dia yang paling dulu memanfaatkan. Dengan kostum yang mengartis tentu saja. Baju kegombrangan, celana panjang, lengkap dengan setangkai kaca mata hitam bak tukang pijit. Kalau sudah begitu, doi selalu berkomentar,“ I always feel like everybody’s watchingme.”
Perbendaharaan bicaranya pun tak lepas dari soal perfilman, baik barat maupun Indonesia. India dia kurang suka. “Kuno!” katanya. Juga jajaran artis perfilman, hampir semua dia hapal. Disebutnyalah nama-nama beken seperti Ria Irawan, Meriem Bellina, Eva Arnaz, Marissa Haque, Ayu Azhari (kecuali Oma Irama), dan masih berderet lagi yang dia yakin bakal dilangkahinya.
Adapun yang paling merana dengan semua tabiat Fifi yang drastis adalah seniman sableng Gusur. Diam-diam dia juga memendam perasaan tertentu, meski nggak pernah kebales dan kian nggak kebales setelah desas-desus cewek incarannya menjadi bintang film semakin meluas. Kalau dulu – meski terpaksa – Fifi masih mau menoleh kepadanya jika berpapasan, sekarang nol sama sekali. Gusur kian merana, hampir saja tercipta sebait sajak frustrasinya (tapi nggak jadilantaran banyak pe-er yang harus dikerjakan).
Maka ketika suatu kali Gusur punya kesempatan berpapasan dengan Fifi, dengan harap cemas dicobanya untuk menegur. Tentu saja dengan gaya sastranya yang khas dan sudah menjadi cap dagangnya.
“Demi mentari pagi nan merekah di ufuktimur, Dara Fifi, kudengar dikau kini sudah mengalih diri menjadi bintang film.”
Ditegur begitu, oleh Gusur lagi, Fifi setengah nggak suka. Tapi masalahnya sudah menyangkut soal film, tak urung dijawabnya juga.
“Seperti yang you lihat, ike sekarang sudah bintang film, bukan? Kenapa tanya-tanya? Kurang yakin? Anda ketinggalan zaman sekali rupanya!” ujar Fifi komplet dengan kesombongan seorang bintang film. Gusur nginyem. Merana betul doi. Kalau kebetulan ada gitar, dia pasti sudah melampiaskan jeritan hatinya dengan kocokan gitar dangdut ala Camelia Malik.
“....Merana aku merana, Merana karena cinta...”
Tapi dasar seniman sableng, sambil menggerakan rambutnya yang rada gondrong, masih pula disambut ucapan Fifi secara ramah. Maklum aja, dia udah kepepet bener sih menggandrungi artis kita ini.
“Andai kutanyakan itu kepada engkau, bukanlah berarti tak ada rasa kepercayaan di hatiku nan biru. Namun kepastian darimu tentu akan lebih berarti dari desas desus bicara teman-teman.” Fifi baru akan menimpali ucapan Gusur ketika dari belakang Lupus memekik memanggil namanya.
“Gimana, jadi nggak kamu interview ike, Pus?” serang Fifi begitu Lupus sampe.
“iya deh. Minggu depan. Dan mudah-mudahan tulisannya tepat terbit bersama beredarnya film kamu.”
“It’s a good idea! Mari ngebakso. Tapi jangan lupa, jangan salah mengeja nama saya, ya? Vieffy Alone!”
•••
Tinggal beberapa hari sebelum film perdananya keluar, Fifi nampak makin royal di sekolah. Porsi jajannya jadi lebih. Gaya penampilannya makin mengartis. Banyak teman yang kecipratan rejeki, makan-makan gratis dikantin.
“Pokoknya semua ogut yang tanggung. Walau film ike baru satu, tapi buat ngejajani kalian sih nggak bakalan kedodoran,” katanya.
“Hidup Fifi Alone!” teriak teman-teman yang ditraktir. Pura-pura mendukung, Fifi makin jumawa. Gusur yang meski nggak diundang ikutan nimbrung di kantin, jadi melongo. Harapan semakin jauh. Hanya kepada Lupus, ia berani mengelupas isi kantongnya, eh, isi hatinya.
“Kamu harus sabar, Sur, kejar terus. Lama lama dia juga bosan, dan mau menerima perasaanmu itu. Katanya kamu punya ilmu santet. Pake aja,” saran Lupus sekenanya.
“Sialan. Namun sampai kapan saya harus bersabar? Tidakkah dia tahu betapa kalbu ini dirundung sendu menanti saat-saat seperti itu? Saat-saat sang dara pujaan mau berbaring didadaku!”
“Sabar, sabar, Sur. Sabar itu Subur. Buktinya jenggotmu makin lebat.”
“Rasa cintaku takkan pernah padam, meski hujan badai meredam. Demi mentari dan sepi malam hari, akan kucipta selaksa sajak cinta untuk sang juwita!” pekik Gusur bersemangat. Lupus kaget berat. Pinsil yang tadinya asyik digigit-gigit, hampir ketelan.
Tapi itu kemarin, sekarang semangat Gusur hampir kendor setelah menyaksikan sikap dan kemajuan Fifi di kantin. Sedikit lagi filmnya bakal keluar, dan dia tau apa yang bakal terjadi.
“Teman-teman tersayang, saya dengar besok malam film yang saya bintangi bakal masuk acara Apresiasi Film Nasional di TV. Nonton, ya? Kalian bisa lihat ike punya akting!” seru Fifi seraya mencomot sepotong pisang goreng. “ Dan jangan lupa, minggu depan tulisan tentang saya bakal terbit di majalahnya Lupus. Baca ya?” teriaknya lagi, ketika anak-anak pada mau pulang.
“Setuju!” teriak mendukung Fifi serentak. Kata setuju itu akhirnya melahirkan nota kontan Rp. 3.500,- kepada pemilik kantin. Sebelum membayar, Fifi meminta teman-temannya keluar sebentar. Takut pada kaget ngeliat duitnya yang bejibun, kali! (atau dia takut ketauan ngutang?)
•••
Besok malamnya ketika acara Apresiasi Film Nasional dimulai, ternyata tak sedikit siswa SMA Merah Putih yang nongkrong di muka tipi, kepingin menyaksikan permainan Fifi dalam film Menanti Langganan. Yang nggak punya tipi, sampe bela-belain nebeng di rumah tetangga, atau ikut nonton di tipi kelurahan yang gambarnya goyang-goyang terus. (Nggak bayar pajak‘kali!). tapi walhasil, ternyata film Menanti Langganan nggak jadi diputar. Entah apa sebabnya. Baru ketika besoknya pada sekolah, pertanyaan semalam terjawab. Menurut Fifi, produser filmnya kelupaan mengirimkan suntingan filmnya ke TVRI.
“Jadi kalau nggak dikirim, mana bisa TVRI memutarnya!”
Duile, anak-anak hampir pada kesel mendengar jawaban Fifi barusan. Tapi karena Fifi segera menjentikkan isyarat untuk ngebakso, ya apa boleh buat. Kemangkelan terpaksa urung. Makan sekenyang-kenyangnya, dan seperti biasa anak-anak disuruh keluar dulu sebelum Fifi membayar.
Beberapa minggu kemudian, saat yang sangat dinantikan, terutama oleh Fifi, itu pun tiba. Film Menanti Langganan beredar di pasaran. “Untuk teman-teman, mari kita barengan nonton pertunjukan perdana di Galaxy Teater. Jangan khawatir, ogut yang bayar,” teriak Fifi di tengah rasa bangganya. Anak-anak kembali berteriak setuju entah untuk yang keberapa kalinya.
“Tapi sebelumnya, saya kepingin ketemu Lupus dulu. Ke mana makhluk itu? Beberapa hari ini nggak kelihatan. Katanya tulisan tentang ogut bakal muncul bersamaan dengan keluarnya film ogut. Tapi pagi tadi ogut bela-belain beli majalah yang butut, kok nggak ada!”
Mereka rame-rame mencari Lupus. Dan anak itu diketemukan lagi ngeceng di lapangan olahraga.
“Ayo, kamu bohong ya, Pus. Katanya tulisan tentang ogut mau terbit sekarang. Kok nggak ada?” pekik Fifi sambil menepuk pundak Lupus. Sementara pendukungnya pada berbaris di belakang.
“Kira-kira dong, Fi. Bikin kaget aja!”
“Iya, tapi lu bohong!”
“Soal wawancara itu?”
“Yo-a. Mana, kok belum dimuat?”
“Wah, sori, mungkin baru minggu depan. Tapi udah turun cetak kok. Sabar aja dikit!”
“Sayang banget sebenernya. Tapi nggak apaapa deh. Ngomong-ngomong nanti kamu ikut ngegabung ke kita punya acara ya, Pus? Buat nonton pertunjukan perdana film saya!”
Lupus sebenernya sudah diundang kondangan di tetangganya, tapi karena kepingin ngeliat permainan Fifi, terpaksa dia oke juga.
“Tapi jemput, ya?” kata Lupus.
•••
Malamnya sekitar 20 siswa SMA Merah Putih sudah ngejogrok di dalam gedung bioskop. Rame sekali. Fifi yang malam itu jadi bintang, dan mengeluarkan segala biaya untuk ini-itu, memang kelihatan paling kece. Lebih tepat dikece-kecein. Dan dia udah siap bawa pulpen dua biji.
“Kali-kali aja setelah pemutaran film, pada minta tanda tangan saya...” katanya.
“Jaga-jaga kalau satunya abis, sedang yang ngantri tanda tangan masih banyak.”
“Buset, jauh banget pikiranmu!”
Film itu akhirnya diputar, ketika anak-anak sudah gelisah menunggu. Judul Menanti Langganan terpampang jelas di layar. Bintangnya, produsernya, sutradaranya rapi disebutkan. Tapi yang aneh, kok nggak ada tertulis nama Fifi Alone? Anak-anak mulai gelisah. Namun Fifi dengan sok akrab beralasan, “Ah, sembrono betulsih teknisi filmnya? Sampai namaku nggak dipajang. Tapi, nggak apalah. Apa arti sebuah nama?”
Anak-anak maklum. Film berjalan adegan demi adegan. Ketika cerita film sudah berjalan setengah jam dan Fifi belum nongol, dari arah samping sekonyong-konyong Lupus nyeletuk,
“Ke mana aja sih kamu, Fi? Kok gak pernah tampil?”
“Tenang, ini belum klimaks. Sebentar lagi juga ada,” jawab Fifi singkat. Anak-anak kembali gelisah. Gusur yang secara diam-diam juga bela belain nonton di pojokan, menanti dengan gelisah.
Dan akhirnya saat itu pun tibalah. Fifi munculdi layar. Memerankan seorang mahasiswi yang tengah menunggu bis. Sekilas, dan tak pernah muncul lagi hingga film usai.
Tanpa komentar, anak-anak pun pulang dengan wajah dongkol. Pertanyaan Fifi yang menanyakan bagus atau tidak aktingnya, tak mendapat jawaban sedikit pun. Tapi Fifi memang nggak bohong, tanpa Fifi film itu nggak ada apa apanya. Bukankah film yang bagus akan menjadi cacat jika dibuang satu adegan saja?
Pulangnya dengan cekikikan Boim mendekati Lupus.
“Syukuri, kali ini kamu terkecoh, Pus. Saya denger tulisan besar-besaran tentang Fifi sudah siap cetak di majalah kamu. Padahal Fifi kan cuma pemeran figuran! Hihihi...”
“Lho, siapa bilang? Saya juga punya surprise buat Fifi. Karena sebetulnya tulisan tentang dia saya masukin ke rubrik jodoh. Lengkap beser tafoto-fotonya. Rasain deh, sebentar bakalan berdatangan surat-surat cinta kampungan untuknya.”
Lupus tertawa.
Tapi Gusur makin merana...
CONVERSATION
Lupus - 03 Pameran Foto Tunggal
Embun pagi belum lagi mengering. Kelas kelas juga masih sepi, ketika
Anto sudah asyik duduk di pintu gerbang sekolah. Ini sudah ketiga
kalinya dia datang pagi-pagi buta begitu. Dan biasanya dia akan tetap
duduk di situ sampai dari kejauhan muncul bayangan sosok Lupus. Yang
berjalan seperti biasa. Cuwek. Dengan tas kanvas yang talinya di bikin
panjaaaang sekali, sampai dia harus menggantungkannya di kepala, agar
tidak terseret-seret di tanah. Tasnya pun dibiarkan bergelantungan di
belakang. Kayaknya merepotkan,tapi Lupus suka. Sementara mulutnya tetap
komat-kamit mengunyah permen karet. Tapi toh masih sempat ngingsot
segala.
“Hai To. Gimana emak lu? Baek?” sapa Lupus cuwek sambil memutar kepalanya dengan susah payah,karena keberatan tas. Lalu berjalan lagi tanpa menunggu jawaban dari Anto. Tak langsung menuju kelas, tetapi sempat mampir dulu dikantin. Melihat kemungkinan kalau-kalau ada yang bisa ditebengi jajan. Kebetulan di situ ada Aji, Boim dan Gito.
“Wah, rupanya perabotan lenong kita udah pada datang!” sapa Lupus dan langsung parkir disebelah Aji, anak Jawa yang doyan makan dodol.Yang disapa pada menoleh berbarengan.
“Pengumuman! Pengumuman! Boim kita inidapet julukan baru lagi, selain playboy duren tiga!” teriak Lupus sambil menepuk-nepuk bahu Boim. Boim yang lagi asyik nyeruput kopi panasnya, jadi terbatuk-batuk.
“Julukan apa?” Aji langsung tertarik. Sementara Gito berlagak cuwek, tapi kupingnya tetap ingin mendengar.
“Bapak Perek Sedunia!”
“Hus!” Aji melotot. Boim ngamuk-ngamuk, sedang Gito malah ketawa.
“Iya, iya, kamu memangnya nggak liat waktu malam kesenian tadi malam? Ceritanya si Boim kepingin gaya. Pingin ngikutin Boy George. Rambut dipakein foam, pake lipstick, eye-shadow, dan enggak lupa topi kembang-kembang ala Duran Duran. Emang sih, jadi rada kece kayak cewek. Eh, pas berangkat, dia nginjek kaki orang di bis. Langsung aja diteriaki, ‘Perek lu!’ si Boim nggak mau kalah, dia ikutan teriak, ’Eh, lu tau aje. Sia-sia dong penyamaran gue!’ Gitu katanya.”
Boim makin ngamuk.
“Sialan, tau dari mana lu! Bohong! Bohong! Jangan percaya! Kalau percaya gue jitak lu!”
“Bener kok. Silahkan percaya. Bukti-bukti kuat. Waktu itu kan saya lagi naik bis yang sama dengan Boim. Dan sempet nggak ngenalin juga waktu kamu baru naik, Im. Lagian yang heran, kok tega-teganya orang itu ngatain kamu perek. Padahal kamu jenggotan begitu.”
Dan pagi itu pun Lupus dikejar-kejar Boim. Keliling-keliling lapangan. Kepala Lupus sempat benjol juga kena sambit pisang goreng.
•••
Keluar main kedua, mereka nongkrong dikantin lagi. Di situ ada meta sama Nyit-nyit lagi ngebakso. Eh, Nyit-nyit itu nama orang lho! Nama aslinya sih Yunita, tapi temen-temenya manggil dia Nyit-nyit. Karena setelah diselidiki ternyata anatomi tubuh dan warnanya mirip mirip...kunyit.
“Nyit, kamu kalo jalan sama Meta kayak adik-kakak aja. Emang sodara ya?” celoteh Boim sok akrab sambil mencomot pisang goreng. Kedua cewek itu malah duduk membalik, membelakangi Boim.
“Lho, mereka emang sodara kok!” Lupus tiba-tiba ikut nyeletuk. “Cuma lain ayah lain ibu,tapi satu pembantu... hehehehe”
“Saya nggak tanya sama kamu!” Boim menjawab ketus. “Eh, rumah kamu di mana sih Nyit?”
“Di sini!” jawab Nyit-nyit cuwek sambil menunjuk ke lobang hidungnya. Ih!
Boim sempet kaget, tapi dasar playboy, dia tak menyerah.
“Kalo gitu deket sekali dong. Boleh nggak main ke rumah?”
“Boleh aja. Tapi punya ongkos nggak buat pulangnya nanti?” Lupus nyeletuk lagi.
Aji dan Gito ketawa. Dan Anto yang juga diam-diam ada di situ, ikut tersenyum. Belakangan ini, Anto memang selalu membayangi kemana Lupus pergi.
•••
Pulang sekolah, si Boim ngajakin pulang lewat Palmerah. Cari suasana baru, katanya. Gito jelas nggak setuju, soalnya dia harus pulang ke Blok M. Maka cuma Lupus dan Aji yang setuju. ereka pun berjalan menelusuri jalan-jalan Palmerah yang gersang. Saat itu Boim nampak gaya sekali dengan kaus barunya. Warnanya gila gilaan. Pink. Tapi ini masih mending. Minggu kemarin, dia pake warna kuning mencolok. Sampe-sampe Lupus nggak bisa nahan diri untuk meledek,
“Eh, kalian pada kepingin liat tokai jalan nggak? Tuh, liat aja si Boim.”
Memang cuma Boim dan Ruri aja yang hobi pake kaus bebas kalau pelajaran olahraga. Mereka ogah pake kaus seragam. Gengsi, katanya. Dan biar kena tegur guru, mereka cuwek.
Di dekat lampu merah, Boim dapet kenalan. Seorang cewek yang kayaknya udah kuliah. Tapi Boim main tancep aja. Lupus dan Aji cuma nguping dari belakang.
“Kamu masih esema atau udah kuliah?” tanya cewek itu.
Boim yang sadar kalau lagi nggak pake seragam, langsung sombong, “Oto, kuliah dong. Di UI. Dan ini, dua temen saya. Lupus dan Aji. Mereka masih esema.”
“O ya? Kamu ngambil jurusan apa?
Belum sempat Boim menjawab, Lupus nyeletuk lagi, “Iya, mbak, dia memang sudah kuliah. Siang ngambil komputer, malemnya dihukum.”
Aji ngakak setengah mati. Boim ngamuk ngamuk.
Jam dua mereka pisah. Aji sama Boim ada perlu ke Kebon Jeruk, sedang Lupus pulang sendirian ke Grogol. Dia pun mengejar-ngejar mikrolet yang baru lewat.
“Awas kepala! Awas kepala!” teriak sopirnya sambil berusaha memperlambat jalannya mikrolet. (soalnya di situ nggak boleh berhenti!) – Dan– jeduk!- betul juga, saking nafsunya Lupus ngelompat, kepalanya kejeduk pintu mikrolet yang rendah. Bunyinya seru juga, kayak kompor meledak. Semua penumpang serentak memandang ke arahnya.
“Sakit, Dik? Makanya hati-hati, kan udah dibilangi.”
Lupus cuma nyengir. Pinginnya sih ngelus ngelus kepala yang rasanya benjol berat. Tapi gengsi. Jadi ya ditahan aja. Pura-pura cuwek, padahal... ngujubileh sakitnya.
“Kalau sakit ya elus aja, jangan pura-pura cuwek, Pus!”
Suara dari samping mengagetkannya. Lupus menoleh, eh, ternyata Anto sudah berada disampingnya.
•••
Ya, belakangan ini Anto memang hobi banget menguntit aktivitas Lupus. Bukan apa-apa, di aitu sebenernya memang lagi heran. Apa kelebihan yang dimiliki Lupus, sehingga anak itu disukai banyak temennya. Cewek dan cowok. Disamping itu, dia juga sering dipuji para guru karena ide-idenya yang kadang cemerlang, meski nampak sederhana. Seperti gagasan membikin buku tahunan sekolah yang hampir semua isinya dia kerjakan. Dari memilih foto, memberi teks yang lucu-lucu, memberi kata pengantar, pokoknya semua. Hasilnya sederhana saja. Tak begitu luar biasa. Dan rasanya orang yang paling bodoh pun bisa mengerjakan persis seperti itu. Beneran. Tapi, herannya kok buku itu ya disukai para siswa. Padahal kalau saya yang bikin, bisa lima kali lebih baik daripada itu! Pikir Anto.
Namun tak urung dia masih heran. Kok Lupus yang harus punya ide bikin buku tahunan itu, bukan saya! Beberapa kali Anto juga pernah baca puisi Lupus yang dimuat di majalah dinding. Itu juga nggak terlalu hebat. Justru cenderung norak. Coba aja baca satu puisinya ini :
"Sayur Asem
Sayur asem adalah sayur kesenanganku
Eh, karena kebanyakan makan sayur asem
Semut-semut yang biasanya mengerubungi
air seniku kini tidak lagi
Karena.. asem..."
Nah, apa hebatnya? Boim yang cara berpikirnya paling complicated sekalipun, masih bisa bikin yang lebih bagus dari puisinya Lupus itu.
Dan setelah beberapa hari terakhir ini Anto menguntit Lupus, dia mulai mendapat kepercayaan diri. Dia pasti bisa kayak Lupus. Yang hobinya ngeledekin orang, tapi disukai teman temannya. Yang punya pacar anak kelas satu, tapi masih suka boncengan sepeda sama Vera. Yang jelek, tapi dipikir-pikir lumayan juga daripada ketiban tangga.
Anto juga bisa seperti Lupus.
Maka besoknya, semua yang pernah Lupus kerjakan, dia coba. Waktu berangkat sekolah, tali tasnya juga dipanjangi kayak tas Lupus. Digantung di kepala dan jalannya dicuwek-cuwekin. Sampai hampir ketabrak becak. Ikut-ikutan makan permen karet, meski beberapa kali hampir ketelen.
Dan setiap malam, dia membuat puisi sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya. Beberapa hari lagi anak-anak pasti pada kagum sama saya. Sama puisi-puisi saya! Pekik Anto dalam hati.
•••
Pagi itu Anto sudah siap dengan puisi puisinya. Jalannya juga jadi sedikit yakin menuju pintu gerbang. Sesaat, ketika melewati majalah dinding, dia sempat mencibir pada puisi-puisi Lupus yang nampang di situ. Lalu langsung masuk ke kelas. Ada rencana, pas keluar main nanti, dia akan menyerahkan semua puisinya pada redaktur majalah dinding sekolah.
Pelajaran pertama, kedua dan ketiga telah berlalu.
Saat istirahat.
Anak-anak di luar ramai tertawa-tawa. Anto yang sedang menyiapkan puisinya, jadi agak terlambat keluar kelas. Dan dia pun melongokkan kepalanya dari jendela, untuk melihat apa yang sedang diributkan anak-anak. Deg! Tiba-tiba jantungnya berdetak keras. Anak-anak itu sedang merubungi majalah dinding! Ada apa di sana?Dengan penasaran, Anto keluar. Ikut menerobos kerumunan anak-anak yang sedang tertawa-tawa di depan majalah dinding. Begitu berhasil, Anto tercengang memandang foto-foto yang terpampang di situ, dengan judul besar di atas :‘PAMERAN FOTO TUNGGAL KARYA LUPUS’. Di situ digelar foto-foto kocak hasil bidikan Lupus waktu acara ‘Malam Kesenian SMA Merah Putih’, dengan teks foto yang tak kalah kocaknya. Ada foto Boim lagi jadi bencong, foto kep-sek yang lagi ketiduran, foto guru olahraga yang kepergok lagi godain ibu biologi,foto Gusur lagi ngerayu Fifi, atau foto Mr. Punk lagi berbalet-ria karena terpeleset kulit pisang.Pokoknya lucu-lucu deh...
•••
Anto berjalan pulang. Menelusuri trotoar sepi yang tadi dilalui anak-anak. Puisi-puisi yang tadinya disiapkannya, kini masih berada di dalam tasnya. Tak jadi dipajang.
Foto-foto karya Lupus tadi juga tidak begitu bagus. Malah beberapa ada yang gak fokus dan burem. Anto, dengan kamera Nikon-nya, jelas bisa membuat foto yang mutunya jauh lebih bagus. Tapi Anto tidak akan melakukan itu. Dia kini tau, salah satu kemenangan Lupus adalah kekayaan idenya. Meniru sesuatu yang sudah ada memang mudah, tapi mencipta sesuatu yang baru, apa juga mudah? Dan entah apa lagi yang akan dibuat Lupus Minggu depan, kalau sekarang Anto ikut-ikutan bikin foto kayak gitu.
Di tempat pemberhentian bis, Anto ketemu Lupus, Boim dan teman-temannya lagi asyik menggoda cewek lewat.
Anto mendekat.
“Eeee, Anto, belum pulang?” sapa Lupus riang.
Anto Cuma mesem.
Saya denger kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapor bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok.Tewas dengan sukses. Hahahaha...”
Anto ikut tertawa.
Dan kini dia menemukan satu hal lagi yang paling penting dan patut ditiru dari Lupus. Yang selalu menganggap hidup ini begitu indah..
“Hai To. Gimana emak lu? Baek?” sapa Lupus cuwek sambil memutar kepalanya dengan susah payah,karena keberatan tas. Lalu berjalan lagi tanpa menunggu jawaban dari Anto. Tak langsung menuju kelas, tetapi sempat mampir dulu dikantin. Melihat kemungkinan kalau-kalau ada yang bisa ditebengi jajan. Kebetulan di situ ada Aji, Boim dan Gito.
“Wah, rupanya perabotan lenong kita udah pada datang!” sapa Lupus dan langsung parkir disebelah Aji, anak Jawa yang doyan makan dodol.Yang disapa pada menoleh berbarengan.
“Pengumuman! Pengumuman! Boim kita inidapet julukan baru lagi, selain playboy duren tiga!” teriak Lupus sambil menepuk-nepuk bahu Boim. Boim yang lagi asyik nyeruput kopi panasnya, jadi terbatuk-batuk.
“Julukan apa?” Aji langsung tertarik. Sementara Gito berlagak cuwek, tapi kupingnya tetap ingin mendengar.
“Bapak Perek Sedunia!”
“Hus!” Aji melotot. Boim ngamuk-ngamuk, sedang Gito malah ketawa.
“Iya, iya, kamu memangnya nggak liat waktu malam kesenian tadi malam? Ceritanya si Boim kepingin gaya. Pingin ngikutin Boy George. Rambut dipakein foam, pake lipstick, eye-shadow, dan enggak lupa topi kembang-kembang ala Duran Duran. Emang sih, jadi rada kece kayak cewek. Eh, pas berangkat, dia nginjek kaki orang di bis. Langsung aja diteriaki, ‘Perek lu!’ si Boim nggak mau kalah, dia ikutan teriak, ’Eh, lu tau aje. Sia-sia dong penyamaran gue!’ Gitu katanya.”
Boim makin ngamuk.
“Sialan, tau dari mana lu! Bohong! Bohong! Jangan percaya! Kalau percaya gue jitak lu!”
“Bener kok. Silahkan percaya. Bukti-bukti kuat. Waktu itu kan saya lagi naik bis yang sama dengan Boim. Dan sempet nggak ngenalin juga waktu kamu baru naik, Im. Lagian yang heran, kok tega-teganya orang itu ngatain kamu perek. Padahal kamu jenggotan begitu.”
Dan pagi itu pun Lupus dikejar-kejar Boim. Keliling-keliling lapangan. Kepala Lupus sempat benjol juga kena sambit pisang goreng.
•••
Keluar main kedua, mereka nongkrong dikantin lagi. Di situ ada meta sama Nyit-nyit lagi ngebakso. Eh, Nyit-nyit itu nama orang lho! Nama aslinya sih Yunita, tapi temen-temenya manggil dia Nyit-nyit. Karena setelah diselidiki ternyata anatomi tubuh dan warnanya mirip mirip...kunyit.
“Nyit, kamu kalo jalan sama Meta kayak adik-kakak aja. Emang sodara ya?” celoteh Boim sok akrab sambil mencomot pisang goreng. Kedua cewek itu malah duduk membalik, membelakangi Boim.
“Lho, mereka emang sodara kok!” Lupus tiba-tiba ikut nyeletuk. “Cuma lain ayah lain ibu,tapi satu pembantu... hehehehe”
“Saya nggak tanya sama kamu!” Boim menjawab ketus. “Eh, rumah kamu di mana sih Nyit?”
“Di sini!” jawab Nyit-nyit cuwek sambil menunjuk ke lobang hidungnya. Ih!
Boim sempet kaget, tapi dasar playboy, dia tak menyerah.
“Kalo gitu deket sekali dong. Boleh nggak main ke rumah?”
“Boleh aja. Tapi punya ongkos nggak buat pulangnya nanti?” Lupus nyeletuk lagi.
Aji dan Gito ketawa. Dan Anto yang juga diam-diam ada di situ, ikut tersenyum. Belakangan ini, Anto memang selalu membayangi kemana Lupus pergi.
•••
Pulang sekolah, si Boim ngajakin pulang lewat Palmerah. Cari suasana baru, katanya. Gito jelas nggak setuju, soalnya dia harus pulang ke Blok M. Maka cuma Lupus dan Aji yang setuju. ereka pun berjalan menelusuri jalan-jalan Palmerah yang gersang. Saat itu Boim nampak gaya sekali dengan kaus barunya. Warnanya gila gilaan. Pink. Tapi ini masih mending. Minggu kemarin, dia pake warna kuning mencolok. Sampe-sampe Lupus nggak bisa nahan diri untuk meledek,
“Eh, kalian pada kepingin liat tokai jalan nggak? Tuh, liat aja si Boim.”
Memang cuma Boim dan Ruri aja yang hobi pake kaus bebas kalau pelajaran olahraga. Mereka ogah pake kaus seragam. Gengsi, katanya. Dan biar kena tegur guru, mereka cuwek.
Di dekat lampu merah, Boim dapet kenalan. Seorang cewek yang kayaknya udah kuliah. Tapi Boim main tancep aja. Lupus dan Aji cuma nguping dari belakang.
“Kamu masih esema atau udah kuliah?” tanya cewek itu.
Boim yang sadar kalau lagi nggak pake seragam, langsung sombong, “Oto, kuliah dong. Di UI. Dan ini, dua temen saya. Lupus dan Aji. Mereka masih esema.”
“O ya? Kamu ngambil jurusan apa?
Belum sempat Boim menjawab, Lupus nyeletuk lagi, “Iya, mbak, dia memang sudah kuliah. Siang ngambil komputer, malemnya dihukum.”
Aji ngakak setengah mati. Boim ngamuk ngamuk.
Jam dua mereka pisah. Aji sama Boim ada perlu ke Kebon Jeruk, sedang Lupus pulang sendirian ke Grogol. Dia pun mengejar-ngejar mikrolet yang baru lewat.
“Awas kepala! Awas kepala!” teriak sopirnya sambil berusaha memperlambat jalannya mikrolet. (soalnya di situ nggak boleh berhenti!) – Dan– jeduk!- betul juga, saking nafsunya Lupus ngelompat, kepalanya kejeduk pintu mikrolet yang rendah. Bunyinya seru juga, kayak kompor meledak. Semua penumpang serentak memandang ke arahnya.
“Sakit, Dik? Makanya hati-hati, kan udah dibilangi.”
Lupus cuma nyengir. Pinginnya sih ngelus ngelus kepala yang rasanya benjol berat. Tapi gengsi. Jadi ya ditahan aja. Pura-pura cuwek, padahal... ngujubileh sakitnya.
“Kalau sakit ya elus aja, jangan pura-pura cuwek, Pus!”
Suara dari samping mengagetkannya. Lupus menoleh, eh, ternyata Anto sudah berada disampingnya.
•••
Ya, belakangan ini Anto memang hobi banget menguntit aktivitas Lupus. Bukan apa-apa, di aitu sebenernya memang lagi heran. Apa kelebihan yang dimiliki Lupus, sehingga anak itu disukai banyak temennya. Cewek dan cowok. Disamping itu, dia juga sering dipuji para guru karena ide-idenya yang kadang cemerlang, meski nampak sederhana. Seperti gagasan membikin buku tahunan sekolah yang hampir semua isinya dia kerjakan. Dari memilih foto, memberi teks yang lucu-lucu, memberi kata pengantar, pokoknya semua. Hasilnya sederhana saja. Tak begitu luar biasa. Dan rasanya orang yang paling bodoh pun bisa mengerjakan persis seperti itu. Beneran. Tapi, herannya kok buku itu ya disukai para siswa. Padahal kalau saya yang bikin, bisa lima kali lebih baik daripada itu! Pikir Anto.
Namun tak urung dia masih heran. Kok Lupus yang harus punya ide bikin buku tahunan itu, bukan saya! Beberapa kali Anto juga pernah baca puisi Lupus yang dimuat di majalah dinding. Itu juga nggak terlalu hebat. Justru cenderung norak. Coba aja baca satu puisinya ini :
"Sayur Asem
Sayur asem adalah sayur kesenanganku
Eh, karena kebanyakan makan sayur asem
Semut-semut yang biasanya mengerubungi
air seniku kini tidak lagi
Karena.. asem..."
Nah, apa hebatnya? Boim yang cara berpikirnya paling complicated sekalipun, masih bisa bikin yang lebih bagus dari puisinya Lupus itu.
Dan setelah beberapa hari terakhir ini Anto menguntit Lupus, dia mulai mendapat kepercayaan diri. Dia pasti bisa kayak Lupus. Yang hobinya ngeledekin orang, tapi disukai teman temannya. Yang punya pacar anak kelas satu, tapi masih suka boncengan sepeda sama Vera. Yang jelek, tapi dipikir-pikir lumayan juga daripada ketiban tangga.
Anto juga bisa seperti Lupus.
Maka besoknya, semua yang pernah Lupus kerjakan, dia coba. Waktu berangkat sekolah, tali tasnya juga dipanjangi kayak tas Lupus. Digantung di kepala dan jalannya dicuwek-cuwekin. Sampai hampir ketabrak becak. Ikut-ikutan makan permen karet, meski beberapa kali hampir ketelen.
Dan setiap malam, dia membuat puisi sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya. Beberapa hari lagi anak-anak pasti pada kagum sama saya. Sama puisi-puisi saya! Pekik Anto dalam hati.
•••
Pagi itu Anto sudah siap dengan puisi puisinya. Jalannya juga jadi sedikit yakin menuju pintu gerbang. Sesaat, ketika melewati majalah dinding, dia sempat mencibir pada puisi-puisi Lupus yang nampang di situ. Lalu langsung masuk ke kelas. Ada rencana, pas keluar main nanti, dia akan menyerahkan semua puisinya pada redaktur majalah dinding sekolah.
Pelajaran pertama, kedua dan ketiga telah berlalu.
Saat istirahat.
Anak-anak di luar ramai tertawa-tawa. Anto yang sedang menyiapkan puisinya, jadi agak terlambat keluar kelas. Dan dia pun melongokkan kepalanya dari jendela, untuk melihat apa yang sedang diributkan anak-anak. Deg! Tiba-tiba jantungnya berdetak keras. Anak-anak itu sedang merubungi majalah dinding! Ada apa di sana?Dengan penasaran, Anto keluar. Ikut menerobos kerumunan anak-anak yang sedang tertawa-tawa di depan majalah dinding. Begitu berhasil, Anto tercengang memandang foto-foto yang terpampang di situ, dengan judul besar di atas :‘PAMERAN FOTO TUNGGAL KARYA LUPUS’. Di situ digelar foto-foto kocak hasil bidikan Lupus waktu acara ‘Malam Kesenian SMA Merah Putih’, dengan teks foto yang tak kalah kocaknya. Ada foto Boim lagi jadi bencong, foto kep-sek yang lagi ketiduran, foto guru olahraga yang kepergok lagi godain ibu biologi,foto Gusur lagi ngerayu Fifi, atau foto Mr. Punk lagi berbalet-ria karena terpeleset kulit pisang.Pokoknya lucu-lucu deh...
•••
Anto berjalan pulang. Menelusuri trotoar sepi yang tadi dilalui anak-anak. Puisi-puisi yang tadinya disiapkannya, kini masih berada di dalam tasnya. Tak jadi dipajang.
Foto-foto karya Lupus tadi juga tidak begitu bagus. Malah beberapa ada yang gak fokus dan burem. Anto, dengan kamera Nikon-nya, jelas bisa membuat foto yang mutunya jauh lebih bagus. Tapi Anto tidak akan melakukan itu. Dia kini tau, salah satu kemenangan Lupus adalah kekayaan idenya. Meniru sesuatu yang sudah ada memang mudah, tapi mencipta sesuatu yang baru, apa juga mudah? Dan entah apa lagi yang akan dibuat Lupus Minggu depan, kalau sekarang Anto ikut-ikutan bikin foto kayak gitu.
Di tempat pemberhentian bis, Anto ketemu Lupus, Boim dan teman-temannya lagi asyik menggoda cewek lewat.
Anto mendekat.
“Eeee, Anto, belum pulang?” sapa Lupus riang.
Anto Cuma mesem.
Saya denger kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapor bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.
“Ah, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”
“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok.Tewas dengan sukses. Hahahaha...”
Anto ikut tertawa.
Dan kini dia menemukan satu hal lagi yang paling penting dan patut ditiru dari Lupus. Yang selalu menganggap hidup ini begitu indah..
CONVERSATION
Lupus - 02 Pinang Kenangan
“Lupus, Puuuss....!” pekik Lulu dari ruang tamu. Lupus yang lagi asyik
dengerin Pain’s so Close to Pleasure-nya Queen di kamar tidur. Aduh,Lulu
gimana sih. Baru juga datang dan mencoba rileks sedikit, sudah
diteriaki macam Tarsan begitu. Nggak tau ya, kalau Lupus lagi capek
berat?
“Saya lagi tidur. Nyenyak sekali!” balas Lupus dari kamar. Lulu yang berkoar-koar macam cucak rawa,jadi bengong. Keruan menyerbu kekamar Lupus.
“Saya lagi tidur. Nyenyak sekali!” balas Lupus dari kamar. Lulu yang berkoar-koar macam cucak rawa,jadi bengong. Keruan menyerbu kekamar Lupus.
“Jangan norak! Itu ada Mas Beni. Katanya ada rapat er-te nanti
malam,” makinya sambil melempar majalah yang sejak tadi dibacanya ke
arah Lupus. Sempat geli juga melihat gaya Lupus yang pura-pura tidur,
tapi matanya mengintip dari balik bantal.
Lupus bangkit dengan malas. Pasti mau rapatin soal perayaan 17 Agustusan. Lupus suka keki,abisan dipaksa untuk ikut setiap perlombaan. Lantaran di er-te Lupus, cowok remajanya Cuma sedikit. Sedang pertandingan yang diadakan lumayan banyak. Ada balap karung, voli, basket, bulu tangkis dan sejenisnya. Jadi untuk membikin regu, terpaksa orang-orang yang nggak bakat olah raga macam Lupus, diikutsertakan juga. Walhasil, Lupus belakangan ini jadi mendadak rajin olahraga. Lari pagi, angkat halter,push up. Kayak Rocky. Tapi besok-besoknya, badanya jadi panas dingin. Meriang.
Makanya dia jadi menggerutu terus.
Apalagi si Lulu, adiknya yang mulai gede itu, dari hari ke hari selalu nyeritain temen-temennya. Ya yang cowok, ataupun yang cewek. Kayaknya bangga banget baru jadi remaja aja. Seperti kaliini, ketika Lupus lagi kesel banget gara-gara ulangan kimia dapet angka delapan ketawa (aliastiga), Lulu dengan tanpa peduli dengan situasi, maen ngocol aja.
“Pus, ogut punya masalah nih. Rada pelik juga. Tolong dong pecahin...,” rayunya (sedikit) manja. Belum apa-apa Lupus udah suntuk duluan. Pasti soal cowok lagi, gerutu Lupus. Lulu memang baru masuk SMA, dan baru dapet temen cowok banyak banget. Maka Lupus pun berlagak nggak denger. Gayanya bak aristokrat sejati. Memandang lurus, kaku, dengan tangan didekap erat-erat.
Dasar Lulu kalau jailnya kumat, dengan sekali sentak, jari jemarinya yang mungil menekan tulang iga Lupus kuat-kuat. Kontan Lupus menjerit histeris. Wong dia paling gak tahan kalo dikelitikin.
“Topan badai, jangan begitu dong caranya!”protes Lupus sambil mundur teratur. Keki jugadia disentak seperti itu. Tapi gimana mau tega membalas kalau udah ngeliat Lulu nyengir-nyengir kayak kuda begitu. Lulu pun terus cekikikan sampai matanya ngilang. Senang bikin Lupus knock-out. Tapi belum lagi habis tawanya, tiba tiba ada benda aneh yang ngujubilah bin jalik baunya nekat menjejal di hidungnya. Lulu sempat terpana. Bau apa ini? Rasanya belum pernah tercium seumur-umurnya. Ketika sadar, dia langsung memberontak dan bersin gila-gilaan.
Gantian Lupus yang ngakak. “Makanya, jangan sok jagoan. Skor sekarang satu – satu. Kamu harus bersyukur, Lu, kaos kaki itu baru tiga hariyang lalu dicuci. Biasanya sampe satu minggu lho.”
Tapi Lulu jadi marah beneran. Mogok bicara sama Lupus. Satu hari, dua hari... Lupus malah tenang. Bisa tidur enak. Tapi hari ketiga, dia jadi nggak enak sendiri. Sebab kata guru agama, tiga hari nggak teguran sama saudara, bisa kualat.Tapi untunglah, hari keempat, dia mau bicara. Itu juga sesudah melunasi ‘upeti’ pada Lulu berupa cokelat toblerone empat rupa, sebagai ganti rugi Lulu yang mendadak kehilangan napsumakannya sejak dijejali kaus kaki beberapa hari silam. Sedih juga Lupus, soalnya jatah jajan dia juga ludes, lantaran harga toblerone yang mahal. Terpaksa beberapa hari ini di sekolah dia nggakbisa jajan. Nggak bisa mengulum permen karet lagi. Tapi apa boleh buat, hubungan bilateral harus berlanjut dan perang saudara harus dihentikan.
Dan sesudah baikan, Lulu mulai lagi dengan ngocol-ngocolnya. “Gini, Pus, kamu kan tau saya baru masuk SMA. Nah biasa deh para senior,seperti juga kamu, cari-cari setori buat ngegaet cewek-cewek baru. Apalagi yang kece kayak saya ini...”
“Wah, nggak salah denger nih?”
“Enggak. Tapi, tentu saja saya nggak sembarangan menerima mereka,” lanjut Lulu lagi.“Emang sih ada seorang yang perhatiin saya terus-terusan. Tapi kelihatannya dia malu-malu.Atau malu-maluin, gak jelas juga deh. Sebelumnya saya cuwek aja, tapi lama-lama kok ya kece juga tuh cowok. Tingkah lakunya simpatik deh. Namun sayangnya, dia belum berani negur duluan sama saya. Padahal saya pengen kenalan sama dia.”
Lupus meluruskan kakinya.
“aduh, masak saya harus kasih nasihat teruske kamu? Emangnya saya kakek-kakek? Tulis aja masalahmu ke mbak Retno. Nanti kan dijawab,” sahut Lupus malas.
“Wa... nunggunya kan lama. Ntar keburu cowok itu kecantol cewek lain. Kan gawat!”
“Ya udah, begini aja. Sebenernya itu tanggung jawab cowok untuk memulai. Kan nggak lucu kalo kamu mulai duluan. Nanti dikira malah cewek murahan. Coba deh, beri perhatian yang lebih dari cowok lainnya. Misalnya kalo dia lagi ngeliatin kamu, kamunya jangan cepat-cepat melengos. Kasih dia senyum. Dikit aja.Atau mungkin juga dia takut sama temen-temen kamu. Soalnya, cowok kan suka grogi kalo deketin cewek yang bergerombol. Nah, coba deh sekali-sekali kamu jalan sendiri. Kali aja dia nekat negur kamu, atau bahkan nyulikkamu ke Blok M minum es teler. Mungkinjuga dia lagi berusaha nyari alamat kamu kemudian datang, atau setidaknya ngirim surat perkenalan. Emang sih, nggak jantan, tapi bales aja. Kali aja itu bisa menancing keberanian dia. Pokoknya liatin aja sikap bersahabat kamu, langsung. Suatu saat pasti keberaniannya akan timbul... Tuh, kan saya mulai kayak kakek-kakek lagi. Udah ah!”
Lupus yang memang haus dari tadi langsung cabut ke dapur cari minum. Meninggalkan Lulu yang masih termenung. Entah mikir atau lambat daya tangkapnya alias nggak ngerti.
“Lantas kalau cara itu belum bisa memancing keberaniannya, gimana Pus?” teriak Lulu agak tertahan, takut kedengaran ibunya.
“Ada jalan yang terbaik dan termudah kalo memang nggak ada jalan lain!” balas Lupus keras dari dapur. Lulu yang tadinya lemas nggak karuan, timbul lagi semangatnya. Lari secepat speedy tikus menghambur ke dapur. Sempat mergokin Lupus yang nyolong es krim Lulu dari lemari es.
“Hayo ketauan. Tapi kamu boleh abisin kalongasih tau jalan yang terbaik itu!”
“Begini, kamu tulis kalimat. Isinya singkat: ‘Eh.. sebenernya lu naksir gue nggak sih? –Lulu’. Terus cari rumahnya. Kalo udah ketemu,lempar deh batu yang dibungkus kertas berisi kalimat itu ke jendelanya. Syukur-syukur dia yang baca, bukan pembantunya...”
Lupus ngeloyor pergi lagi. Lulu bengong, entah untuk yang keberapa kalinya.
Lupus bangkit dengan malas. Pasti mau rapatin soal perayaan 17 Agustusan. Lupus suka keki,abisan dipaksa untuk ikut setiap perlombaan. Lantaran di er-te Lupus, cowok remajanya Cuma sedikit. Sedang pertandingan yang diadakan lumayan banyak. Ada balap karung, voli, basket, bulu tangkis dan sejenisnya. Jadi untuk membikin regu, terpaksa orang-orang yang nggak bakat olah raga macam Lupus, diikutsertakan juga. Walhasil, Lupus belakangan ini jadi mendadak rajin olahraga. Lari pagi, angkat halter,push up. Kayak Rocky. Tapi besok-besoknya, badanya jadi panas dingin. Meriang.
Makanya dia jadi menggerutu terus.
Apalagi si Lulu, adiknya yang mulai gede itu, dari hari ke hari selalu nyeritain temen-temennya. Ya yang cowok, ataupun yang cewek. Kayaknya bangga banget baru jadi remaja aja. Seperti kaliini, ketika Lupus lagi kesel banget gara-gara ulangan kimia dapet angka delapan ketawa (aliastiga), Lulu dengan tanpa peduli dengan situasi, maen ngocol aja.
“Pus, ogut punya masalah nih. Rada pelik juga. Tolong dong pecahin...,” rayunya (sedikit) manja. Belum apa-apa Lupus udah suntuk duluan. Pasti soal cowok lagi, gerutu Lupus. Lulu memang baru masuk SMA, dan baru dapet temen cowok banyak banget. Maka Lupus pun berlagak nggak denger. Gayanya bak aristokrat sejati. Memandang lurus, kaku, dengan tangan didekap erat-erat.
Dasar Lulu kalau jailnya kumat, dengan sekali sentak, jari jemarinya yang mungil menekan tulang iga Lupus kuat-kuat. Kontan Lupus menjerit histeris. Wong dia paling gak tahan kalo dikelitikin.
“Topan badai, jangan begitu dong caranya!”protes Lupus sambil mundur teratur. Keki jugadia disentak seperti itu. Tapi gimana mau tega membalas kalau udah ngeliat Lulu nyengir-nyengir kayak kuda begitu. Lulu pun terus cekikikan sampai matanya ngilang. Senang bikin Lupus knock-out. Tapi belum lagi habis tawanya, tiba tiba ada benda aneh yang ngujubilah bin jalik baunya nekat menjejal di hidungnya. Lulu sempat terpana. Bau apa ini? Rasanya belum pernah tercium seumur-umurnya. Ketika sadar, dia langsung memberontak dan bersin gila-gilaan.
Gantian Lupus yang ngakak. “Makanya, jangan sok jagoan. Skor sekarang satu – satu. Kamu harus bersyukur, Lu, kaos kaki itu baru tiga hariyang lalu dicuci. Biasanya sampe satu minggu lho.”
Tapi Lulu jadi marah beneran. Mogok bicara sama Lupus. Satu hari, dua hari... Lupus malah tenang. Bisa tidur enak. Tapi hari ketiga, dia jadi nggak enak sendiri. Sebab kata guru agama, tiga hari nggak teguran sama saudara, bisa kualat.Tapi untunglah, hari keempat, dia mau bicara. Itu juga sesudah melunasi ‘upeti’ pada Lulu berupa cokelat toblerone empat rupa, sebagai ganti rugi Lulu yang mendadak kehilangan napsumakannya sejak dijejali kaus kaki beberapa hari silam. Sedih juga Lupus, soalnya jatah jajan dia juga ludes, lantaran harga toblerone yang mahal. Terpaksa beberapa hari ini di sekolah dia nggakbisa jajan. Nggak bisa mengulum permen karet lagi. Tapi apa boleh buat, hubungan bilateral harus berlanjut dan perang saudara harus dihentikan.
Dan sesudah baikan, Lulu mulai lagi dengan ngocol-ngocolnya. “Gini, Pus, kamu kan tau saya baru masuk SMA. Nah biasa deh para senior,seperti juga kamu, cari-cari setori buat ngegaet cewek-cewek baru. Apalagi yang kece kayak saya ini...”
“Wah, nggak salah denger nih?”
“Enggak. Tapi, tentu saja saya nggak sembarangan menerima mereka,” lanjut Lulu lagi.“Emang sih ada seorang yang perhatiin saya terus-terusan. Tapi kelihatannya dia malu-malu.Atau malu-maluin, gak jelas juga deh. Sebelumnya saya cuwek aja, tapi lama-lama kok ya kece juga tuh cowok. Tingkah lakunya simpatik deh. Namun sayangnya, dia belum berani negur duluan sama saya. Padahal saya pengen kenalan sama dia.”
Lupus meluruskan kakinya.
“aduh, masak saya harus kasih nasihat teruske kamu? Emangnya saya kakek-kakek? Tulis aja masalahmu ke mbak Retno. Nanti kan dijawab,” sahut Lupus malas.
“Wa... nunggunya kan lama. Ntar keburu cowok itu kecantol cewek lain. Kan gawat!”
“Ya udah, begini aja. Sebenernya itu tanggung jawab cowok untuk memulai. Kan nggak lucu kalo kamu mulai duluan. Nanti dikira malah cewek murahan. Coba deh, beri perhatian yang lebih dari cowok lainnya. Misalnya kalo dia lagi ngeliatin kamu, kamunya jangan cepat-cepat melengos. Kasih dia senyum. Dikit aja.Atau mungkin juga dia takut sama temen-temen kamu. Soalnya, cowok kan suka grogi kalo deketin cewek yang bergerombol. Nah, coba deh sekali-sekali kamu jalan sendiri. Kali aja dia nekat negur kamu, atau bahkan nyulikkamu ke Blok M minum es teler. Mungkinjuga dia lagi berusaha nyari alamat kamu kemudian datang, atau setidaknya ngirim surat perkenalan. Emang sih, nggak jantan, tapi bales aja. Kali aja itu bisa menancing keberanian dia. Pokoknya liatin aja sikap bersahabat kamu, langsung. Suatu saat pasti keberaniannya akan timbul... Tuh, kan saya mulai kayak kakek-kakek lagi. Udah ah!”
Lupus yang memang haus dari tadi langsung cabut ke dapur cari minum. Meninggalkan Lulu yang masih termenung. Entah mikir atau lambat daya tangkapnya alias nggak ngerti.
“Lantas kalau cara itu belum bisa memancing keberaniannya, gimana Pus?” teriak Lulu agak tertahan, takut kedengaran ibunya.
“Ada jalan yang terbaik dan termudah kalo memang nggak ada jalan lain!” balas Lupus keras dari dapur. Lulu yang tadinya lemas nggak karuan, timbul lagi semangatnya. Lari secepat speedy tikus menghambur ke dapur. Sempat mergokin Lupus yang nyolong es krim Lulu dari lemari es.
“Hayo ketauan. Tapi kamu boleh abisin kalongasih tau jalan yang terbaik itu!”
“Begini, kamu tulis kalimat. Isinya singkat: ‘Eh.. sebenernya lu naksir gue nggak sih? –Lulu’. Terus cari rumahnya. Kalo udah ketemu,lempar deh batu yang dibungkus kertas berisi kalimat itu ke jendelanya. Syukur-syukur dia yang baca, bukan pembantunya...”
Lupus ngeloyor pergi lagi. Lulu bengong, entah untuk yang keberapa kalinya.
•••
Akhirnya acara klimaks peringatan 17 Agustus tiba. Seru juga. Apalagi acara lomba panjat pinang yang dilumuri oli sebagai penghalangnya. Sedang di pucuk pohon tersebut hadiah-hadiah menarik menunggu calon pemanjat. Baju, celana,permen karet, uang puluhan ribu, be-ha, celana dalam (awas, sensor!), kaca mata cengdem (secengtapi adem!) dan masih banyak hadiah menarik lainnya.
Lupus yang badannya kurus (tapi seksi) itujadi merasa seperti berada di neraka selama dua Minggu belakangan ini. Betapa tidak, selama itu acara-acara pertandingan antar er-te begitu ketat jadwalnya. Voli, basket, sepak bola, tenis meja,sofbol, bulu tangkis, dan adu kelereng. Jadi bisa dibayangkan, betapa kalang kabutnya Lupus mengikuti dari pertandingan satu ke pertandingan lainnya. Mana dia nggak hobi olah raga. Apalagi main basket. Pegang bola aja udah gemeteran. Belum lagi sepak bola, Lupus mencetak rekor sendiri. Memasukkan bola ke gawang sendiri tujuh kali, tanpa memasukkan ke gawang lawan sekalipun.
Tapi salah siapa? Lupus memang nggak bakat olahraga. Satu-satunya olahraga yang dia sukai hanya berenang. Itu juga kebanyakan ngecengnya daripada olahraganya.
Dan sekarang ini Lupus lagi mikir, gimana cara naik pohon pinang tersebut dengan empat rekannya tanpa terpeleset. Dua kelompok dari ertelain sudah membuktikan kegagalan mereka. Bayangkan, baru tiga orang berjajar ke atas, kemudian satu rekannya naik lagi. Tak berapalama, keempat-empatnya merosot ke bawah. Lupus Cuma bengong. Dengan badannya yang langsing itu, apa lagi selama dua Minggu ini berat badannya turun dua kilo (aslinya sih, yaa... ada sih kalo cuma satu atau dua ons!), mana sanggup memanggul beban empat orang rekannya di bahu.
Dan saatnya pun tiba. Lupus dan empat rekannya briefing sebentar kayak pemain voli yang berhura-hura setelah briefing singkat dengan pelatihnya. Dua orang cowok yang berbadan besar, bertugas sebagai pondasi pertama dan kedua. Kemudian disusul oleh dua temannya yang lain. Agaknya dewi fortuna sedang bersama mereka, karena keempat rekan Lupus tetap kokoh berpegang pada batang pinang dalam posisi berjejer ke atas. Tinggal harapan adapada Lupus. Apakah dia sanggup untuk memanjat pohon tersebut, yang hadiahnya tinggal beberapa sentimeter lagi? Satu orang terlewati, dua,tiga, empat. Penonton berdecak kagum. Histeria massa terjadi. Dukungan terus mengalir. Dan Lupus hampir menyentuh pucuk pohon ketika tiba-tiba terdengar teriakan yang amat dikenalnya. Lupus menoleh ke bawah. Tampak Lulu menggandeng cowok yang sepertinya membawa kamera video.
“Lupuuuuss... ini lho cowok yang ogut lemparin batu kamarnya!” teriak Lulu nyaring sekali.Lupus kaget setengah mati. Kontan pegangannya mengendur, dan dia melorot ke bawah diikuti oleh keempat rekannya yang di bawah. Lupuspun mendarat darurat di tanah, tertimpa seorang rekannya yang berbadan besar. Lupus pingsan.
•••
“Pus, Lupus... mau nonton nggak film dokumentasi yang dapat piala citra di FFI ’86? Bagusdeh!” tegur Lulu lembut, ketika Lupus lagi istirahat total di kamarnya.
“Ya, bolehlah...,” jawab Lupus lemah. Terus terang, bukannya alergi sama film Indonesia, tapi dia memang lagi nggak enak badan setelah kejadian sial beberapa hari yang lalu. Terpaksa terus terusan berbaring di atas tempat tidur selama tiga hari.
Lulu pun dengan sigap memasang kaset video tersebut. Lupus menunggu di kursi panjang. Dan dia bengong ketika membaca judul film di layarTV, Lupus, dalam film PERJUANGAN TANPA AKHIR. Dan isinya ternyata rekaman ketikaLupus jatuh merosot dari pohon pinang padaperayaan hari kemerdekaan kemarin.
Untuk kedua kalinya Lupus pingsan.
CONVERSATION
Lupus - 01 Makhluk Manis dalam Bis
Anak-anak kelas dua punya kebiasaan baru.
Tepat jam satu tengah hari bolong merekaselalu tampak asyik menunggu bis jurusan BlokM. Lupus, Aji, Boim, dan Gito. Rada aneh juga,rumah mereka jadi mendadak pada pindah ke BlokM semua. Selidik punya selidik ternyata merekaitu lagi ngejar cewek. Nggak tau anak sekolahmana. Yang pasti setiap jam satu, wajah manisnyaselalu nampak di jendela bis jurusan Blok M. dekatpintu depan. Matanya yang bulat bersinar, rambutnyayang panjang terurai dengan tubuh yangmungil. sempat membuat cowok-cowok keceSMA Merah Putih itu terkagum-kagum.
Mereka melihatnya tiga hari yang lalu. ketikamereka punya rencana mau makan-makan di BlokM, dalam rangka memperingati hari yang palingbersejarah dalam kehidupan Boim, karena dia berhasilmemenangkan hadiah porkas setelah sebelaskali ikut. Dan saat itu mereka berempat secara serempakmelongo di pintu bis mengagumi makhlukcantik yang duduk dengan manisnya di dekatjendela. kondektur bis yang bawaannya nggakmau sabar, sempat gahar juga. "He, lu pada niatnggak sih naik bis gue? Kok terbengong-bengongbegitu?"
Lupus cs yang kaget dibentak begitu, menjawabsecara serempak. "Kita lagi berdoa dulu kok biarselamet di jalan."
Dan sejak itu, setiap malam, mereka punyamimpi yang sama. Tentang gadis di dalam bis.
Makanya hari-hari berikutnya, mereka jadisering kedapatan menunggu bis jurusan Blok M.Setiap ada teman yang nanya, mereka serempakmenjawab mau shopping ke Blok M.
"Kok tiap hari shopping-nya?"
“Maklumlah namanya juga orang kaya."
Dan sang penanya pun langsung berlaludengan wajah dongkol.
Bis yang ditunggu datang. dan mereka berempatserempak bangkit dengan semangat. Takpeduli bis tersebut sudah penuh sesak, merekatetap bela-belain mengejarnya.
“Stop, Bang! Stop!" teriak mereka sambilberlompatan ke dalam bis yang enggan berhenti.Sang kondektur melirik jengkel pada mereka.Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naikbis pada ribut sekali. Padahal bayarnya cuma gocap.Dia apal betul. Terutama dengan Lupus yangselalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboySMA Merah Putih yang wajahnya gabunganJaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok bangetdeh!).
Dan seperti ramalan sang kondektur, kalapenumpang sudah banyak yang turun, makhluk makhluk SMA Merah Putih itu mulai menggoda godacewek tadi dengan ributnya.
"Hai. Cewek, kenalan dong. Nama sayaBoim. Cowok paling kesohor di SMA MerahPutih. Pernah jadi cowok sampul majalah...Bobo. Saya punya motor bebek merah, yangsekarang— karena satu dan lain hal—lagi ngadatnggak bisa dipakai. Mungkin tali kipasnya putus(bego juga si Boim ini, motor mana ada talikipasnya?). Tapi jangan kuatir. motor saya yanglainnya banyak kok. Tinggal pilih aja mau pakeyang mana. Setiap hari ganti-ganti. Di sampingitu, saya ini bintang film lho. Saya sering nongoldi tipi dalam acara..."
"Flora dan Fauna!" ccletuk Gito dari belakang.
"Bukan! Aneh tapi Nyata!" Lupus ikutanngomong, membela Boim.
Boim melotot sewot ke arah Lupus dan Gitoyang cekikikan.
"Jangan dengarkan mereka, Cewek manis.Maklum aja, orang top memang banyak yangnyirikin. Tapi saya udah biasa. Nah, mau kankenalan sama saya?"
Cewek itu tak bereaksi. Cuma senyum dikit.
"Jangan mau sama Boim, Cewek manis. Doijarang jajan. Mending sama saya aja. Nama sayaGito. Orangnya rada malu-malu kayak kucing,tapi lebih ngetop daripada Boim. Saya juga seringnongol di film ACI, sebagai peran utama. "
"Bo'ong! Jangan percaya!" Lupus berteriakdari belakang. "Dia itu sebetulnya yang jadi PakOgah di cerita Si Unyil!"
Gito ngamuk-ngamuk.
"Enggak, saya bener. Masak kamu nggakngenalin wajah saya yang begini familier, sih?Look at me!"
"Iya, dia memang main di ACI. Tapi cumajadi stuntman. Jadi kalau kebetulan pas ada adeganorang digebukin, nah dialah yang dipakai.Mendingan sama saya aja. Nama saya Lupus.Punya radio dua band. Saya ini orangnya sederhana,apa adanya, nggak kayak Boim yang..."_
"Dodol! Kok saya terus yang dijadikan kambinghitam?!" protes Boim.
"Emang lu kambing!" balas Lupus cuwek.”Sori, rada ada gangguan teknis. Sampai di manatadi? Oya, saya ini orangnya sederhana. Padahalsebetulnya saya ini orang kaya lho. Gimana nggakkaya, saya kalo abis mengulum permen karet,langsung dibuang. nggak pernah ditelen, jadisekali pakai, langsung buang. Nggak kayakBoim, suka dipungut dan dikunyah lagi."
Sekarang giliran Boim yang ngamukngamuk. Langsung mengacak—acak rambutLupus. Lupus berteriak-teriak ribut sekali. Duh,itu kelakuan kayak anak play grup aja! (Ya,soalnya Lupus takut kalo rambutnya nggak kayakJohn Taylor lagi!)
“Alaaah, kalian semua pada kayak anak kecil.Mendingan pacaran sama saya aja, cewek manis.Saya ini orangnya dewasa, jantan dan... kamupasti akan merasakan kehangatan begitu jatuhdalam pelukanku...” kali ini Aji yang maju.
“Emangnya martabak, pake anget segala?”Lupus menyeletuk lagi dari belakang.
Aji cuwek. Terus merayu. Tapi sayang, bis telahmemasuki terminal Blok M. Jadi acara lombamerayu itu terpaksa ditunda dulu sampai besok.Sang kondektur menarik napas lega, sambil bacaAlhamdulillah seratus kali.
“Jangan kuatir, Mas, besok kita pasti naikbis ini lagi. Daag!” ujar Lupus sambil menepuknepuk bahu kondektur. Kondektur melotot galak,dan Lupus cepat-cepat melompat turun menyusulteman-temannya.
•••
Tapi dua hari kemudian, Lupus, Boim, danAji dikejutkan oleh berita yang dibawa Gito. Gitobilang bahwa cewek manis itu sekarang udah jadiceweknya, jadi dilarang ada yang menggodanyalagi. Dan sialnya ternyata berita itu benar. Ketikapulang sekolah, Gito sialan itu dengan santainyangobrol berduaan dengan cewek manis itu di bis.Lupus, Boim dan aji keki berat.
“Kamu curang Git! Kapan kamu berhasilngerayunya? Selama ini kan kita senasibdicuwekin terus sama dia? Iya nggak, iya nggak?Protes Aji.
“Kamu pake ilmu santet, ya?” Boim ikutansirik.
Gito cuma senyum-senyum aja. Duile, mendingmanis? Dan usut punya usut ternyata tanpasetahu teman-temannya, si Dodol itu nekatdatang ke rumah cewek tersebut. Nggak jelas, diadapet alamat dari mana. Yang pasti, rayuannyaberhasil dan makhluk manis berambut panjangitu jatuh ke tangannya. Dan kunci kesuksesannyaadalah karena ternyata cewek itu termasuk hobinonton film seri ACI, dan pernah ngeliat si Gitoyang ikut cengengesan nampang sebagai Fuad.Maka muluslah jalan baginya. Sial banget!
“Huh, baru main di ACI aja digila-gilain.Cewek itu nggak tau, ’kali kalau saya juga bisamain pilem begituan,” gerutu Boim.
“Iya-saya juga sering ngeliat kamu jadi modeliklan di bioskop, radio dan koran-koran. Iya, kan?Betul itu kamu?” Lupus bertanya.
“Eh, kamu tau juga? Iya, itu saya. Kapankamu ngeliatnya? Di iklan apa? Iklan sepatu? Iklanpakaian pria masa kini? Atau... jangan-janganyang kamu liat itu Roy Marten. Karena ya maklumlah, wajah saya kan mirip-mirip dia,meski tetap kecean saya. Iya, kan? Kamu ngeliatdi iklan apa?”
“Itu lho... iklan Kalpanax. Obat panu.”
•••
Dua hari berlalu hampa. Tak ada wajah-wajahceria ketika bis jurusan Blok M datang tepat jamsatu siang. Cuma Gito yang langsung bangkit danikut pergi bersama bis kenangan itu. Yang laintinggal atau terus pulang.
Tapi seminggu, kemudian, mereka kembalidihebohkan dengan makhluk cantik lainnya di bisjurusan Grogol. Pertamanya Lupus tak begitumenyadari akan kehadiran gadis itu, tapi begitubesoknya ketemu lagi, Lupus mulai ribut-ributmenceritakan ‘penemuannya’ itu kepada temantemannya.
“Wah, pokoknya nggak kalah cakep deh.Saya selalu ketemu dengannya kalau pulangsekolah setengah dua!” celoteh Lupus. Kontanaja anak-anak pada tertarik, dan kini, rumahmereka mendadak pindah ke Grogol semua.
Maka hari-hari selanjutnya tepat jamsetengah dua, Lupus, Boim, dan Aji selalu nampakasyik menunggu bis jurusan Grogol. Kejadianyang lalu terulang lagi. Ribut-ribut di bis,merayu sang cewek, tertawa dan tentu saja bikinjengkel sang kondektur bis.
Dan suatu ketika, saat mereka bertiga lagiasyik menunggu bis, Gito nampak berlari-lari kearah mereka.
“Lho, mau ngapain, Git? Kamu gak bolehikutan lagi dong. Kan udah dapet yang dulu?” tegurAji.
“Yaaa, saya ikutan dong!” rengek Gito.
“Wah, enggak bisa. Nanti kamu menang lagi.Terus kita-kita jadi nggak bisa hura-hura lagikalau pulang sekolah.”
“Enggak deh, saya janji. Saya emang senengbanget waktu ngedapetin cewek yang kemari itu.Berarti kan saya lebih kece dari kamu-kamu...”
“Wuuuuuuu!” anak-anak pada protes.
“Eit, nanti dulu. Tapi senengnya cumasebentar. Karena selanjutnya begitu-begitu aja.Monoton. Tiap hari nganterin dia pulang, mampirke rumahnya, ngobrol. Gitu-gitu terus. Nggak adaseninya. Saya jadi ngiri ketika kalian padanemuin cewek baru lagi. Jadi kepingin ikut ikutan ngegodain, ngerayu, ngejar-ngejar, sepertidulu. Nggak tau tuh, kenapa. Menurut kamukenapa, Im?
“Simpel. Mungkin cinta kamu ditolak!”jawab Boim kalem.
“Enak aja. Kamu liat sendiri saya denganmudah ngedapetin dia!” Gito ngotot.
“Ealah, malah pada ribut. Mungkin Gito bener.Ngejar-ngejar cewek mungkin lebih enak daripadakalo ngedapetin. Soalnya kita masih remaja.Masih ingin bebas. Jiwa hura-hura kita kan lebihbesar daripada jiwa romantisme kita. Dan kata orang,cewek itu ibarat bis. Lewat yang satu, bisamenunggu yang berikutnya. Jadi nggak usah terlaludikejar. Apalagi pake patah hati segala. Iyanggak? Dan anehnya, kita kadang suka sekalimengejar-ngejar sesuatu yang sebetulnya tidakkita inginkan benar. Tapi nggak apa-apa kok.Namanya juga anak muda,” kata Lupus sok berfilsafat sampai teman-temannya pada ngantuksemua.
“Eh, itu bisnya datang, Ayo siap-siap!”
Mereka berempat secara serempak bangkit.Lalu mengejar-ngejar bis dengan semangat ’45,sambil berteriak-teriak ribut sekali. Kejadianyang dulu pun terulang lagi.
Dan, mereka akan terus begitu. Sampai suatusaat nanti mereka begitu lelah untuk mengepakkansayap-sayap kecil milik mereka, danhinggap pada sekuntum bunga. Di mana akanmenemukan segalanya.
Dan, mereka pun enggan untuk terbang lagi...
Tepat jam satu tengah hari bolong merekaselalu tampak asyik menunggu bis jurusan BlokM. Lupus, Aji, Boim, dan Gito. Rada aneh juga,rumah mereka jadi mendadak pada pindah ke BlokM semua. Selidik punya selidik ternyata merekaitu lagi ngejar cewek. Nggak tau anak sekolahmana. Yang pasti setiap jam satu, wajah manisnyaselalu nampak di jendela bis jurusan Blok M. dekatpintu depan. Matanya yang bulat bersinar, rambutnyayang panjang terurai dengan tubuh yangmungil. sempat membuat cowok-cowok keceSMA Merah Putih itu terkagum-kagum.
Mereka melihatnya tiga hari yang lalu. ketikamereka punya rencana mau makan-makan di BlokM, dalam rangka memperingati hari yang palingbersejarah dalam kehidupan Boim, karena dia berhasilmemenangkan hadiah porkas setelah sebelaskali ikut. Dan saat itu mereka berempat secara serempakmelongo di pintu bis mengagumi makhlukcantik yang duduk dengan manisnya di dekatjendela. kondektur bis yang bawaannya nggakmau sabar, sempat gahar juga. "He, lu pada niatnggak sih naik bis gue? Kok terbengong-bengongbegitu?"
Lupus cs yang kaget dibentak begitu, menjawabsecara serempak. "Kita lagi berdoa dulu kok biarselamet di jalan."
Dan sejak itu, setiap malam, mereka punyamimpi yang sama. Tentang gadis di dalam bis.
Makanya hari-hari berikutnya, mereka jadisering kedapatan menunggu bis jurusan Blok M.Setiap ada teman yang nanya, mereka serempakmenjawab mau shopping ke Blok M.
"Kok tiap hari shopping-nya?"
“Maklumlah namanya juga orang kaya."
Dan sang penanya pun langsung berlaludengan wajah dongkol.
Bis yang ditunggu datang. dan mereka berempatserempak bangkit dengan semangat. Takpeduli bis tersebut sudah penuh sesak, merekatetap bela-belain mengejarnya.
“Stop, Bang! Stop!" teriak mereka sambilberlompatan ke dalam bis yang enggan berhenti.Sang kondektur melirik jengkel pada mereka.Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naikbis pada ribut sekali. Padahal bayarnya cuma gocap.Dia apal betul. Terutama dengan Lupus yangselalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboySMA Merah Putih yang wajahnya gabunganJaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok bangetdeh!).
Dan seperti ramalan sang kondektur, kalapenumpang sudah banyak yang turun, makhluk makhluk SMA Merah Putih itu mulai menggoda godacewek tadi dengan ributnya.
"Hai. Cewek, kenalan dong. Nama sayaBoim. Cowok paling kesohor di SMA MerahPutih. Pernah jadi cowok sampul majalah...Bobo. Saya punya motor bebek merah, yangsekarang— karena satu dan lain hal—lagi ngadatnggak bisa dipakai. Mungkin tali kipasnya putus(bego juga si Boim ini, motor mana ada talikipasnya?). Tapi jangan kuatir. motor saya yanglainnya banyak kok. Tinggal pilih aja mau pakeyang mana. Setiap hari ganti-ganti. Di sampingitu, saya ini bintang film lho. Saya sering nongoldi tipi dalam acara..."
"Flora dan Fauna!" ccletuk Gito dari belakang.
"Bukan! Aneh tapi Nyata!" Lupus ikutanngomong, membela Boim.
Boim melotot sewot ke arah Lupus dan Gitoyang cekikikan.
"Jangan dengarkan mereka, Cewek manis.Maklum aja, orang top memang banyak yangnyirikin. Tapi saya udah biasa. Nah, mau kankenalan sama saya?"
Cewek itu tak bereaksi. Cuma senyum dikit.
"Jangan mau sama Boim, Cewek manis. Doijarang jajan. Mending sama saya aja. Nama sayaGito. Orangnya rada malu-malu kayak kucing,tapi lebih ngetop daripada Boim. Saya juga seringnongol di film ACI, sebagai peran utama. "
"Bo'ong! Jangan percaya!" Lupus berteriakdari belakang. "Dia itu sebetulnya yang jadi PakOgah di cerita Si Unyil!"
Gito ngamuk-ngamuk.
"Enggak, saya bener. Masak kamu nggakngenalin wajah saya yang begini familier, sih?Look at me!"
"Iya, dia memang main di ACI. Tapi cumajadi stuntman. Jadi kalau kebetulan pas ada adeganorang digebukin, nah dialah yang dipakai.Mendingan sama saya aja. Nama saya Lupus.Punya radio dua band. Saya ini orangnya sederhana,apa adanya, nggak kayak Boim yang..."_
"Dodol! Kok saya terus yang dijadikan kambinghitam?!" protes Boim.
"Emang lu kambing!" balas Lupus cuwek.”Sori, rada ada gangguan teknis. Sampai di manatadi? Oya, saya ini orangnya sederhana. Padahalsebetulnya saya ini orang kaya lho. Gimana nggakkaya, saya kalo abis mengulum permen karet,langsung dibuang. nggak pernah ditelen, jadisekali pakai, langsung buang. Nggak kayakBoim, suka dipungut dan dikunyah lagi."
Sekarang giliran Boim yang ngamukngamuk. Langsung mengacak—acak rambutLupus. Lupus berteriak-teriak ribut sekali. Duh,itu kelakuan kayak anak play grup aja! (Ya,soalnya Lupus takut kalo rambutnya nggak kayakJohn Taylor lagi!)
“Alaaah, kalian semua pada kayak anak kecil.Mendingan pacaran sama saya aja, cewek manis.Saya ini orangnya dewasa, jantan dan... kamupasti akan merasakan kehangatan begitu jatuhdalam pelukanku...” kali ini Aji yang maju.
“Emangnya martabak, pake anget segala?”Lupus menyeletuk lagi dari belakang.
Aji cuwek. Terus merayu. Tapi sayang, bis telahmemasuki terminal Blok M. Jadi acara lombamerayu itu terpaksa ditunda dulu sampai besok.Sang kondektur menarik napas lega, sambil bacaAlhamdulillah seratus kali.
“Jangan kuatir, Mas, besok kita pasti naikbis ini lagi. Daag!” ujar Lupus sambil menepuknepuk bahu kondektur. Kondektur melotot galak,dan Lupus cepat-cepat melompat turun menyusulteman-temannya.
•••
Tapi dua hari kemudian, Lupus, Boim, danAji dikejutkan oleh berita yang dibawa Gito. Gitobilang bahwa cewek manis itu sekarang udah jadiceweknya, jadi dilarang ada yang menggodanyalagi. Dan sialnya ternyata berita itu benar. Ketikapulang sekolah, Gito sialan itu dengan santainyangobrol berduaan dengan cewek manis itu di bis.Lupus, Boim dan aji keki berat.
“Kamu curang Git! Kapan kamu berhasilngerayunya? Selama ini kan kita senasibdicuwekin terus sama dia? Iya nggak, iya nggak?Protes Aji.
“Kamu pake ilmu santet, ya?” Boim ikutansirik.
Gito cuma senyum-senyum aja. Duile, mendingmanis? Dan usut punya usut ternyata tanpasetahu teman-temannya, si Dodol itu nekatdatang ke rumah cewek tersebut. Nggak jelas, diadapet alamat dari mana. Yang pasti, rayuannyaberhasil dan makhluk manis berambut panjangitu jatuh ke tangannya. Dan kunci kesuksesannyaadalah karena ternyata cewek itu termasuk hobinonton film seri ACI, dan pernah ngeliat si Gitoyang ikut cengengesan nampang sebagai Fuad.Maka muluslah jalan baginya. Sial banget!
“Huh, baru main di ACI aja digila-gilain.Cewek itu nggak tau, ’kali kalau saya juga bisamain pilem begituan,” gerutu Boim.
“Iya-saya juga sering ngeliat kamu jadi modeliklan di bioskop, radio dan koran-koran. Iya, kan?Betul itu kamu?” Lupus bertanya.
“Eh, kamu tau juga? Iya, itu saya. Kapankamu ngeliatnya? Di iklan apa? Iklan sepatu? Iklanpakaian pria masa kini? Atau... jangan-janganyang kamu liat itu Roy Marten. Karena ya maklumlah, wajah saya kan mirip-mirip dia,meski tetap kecean saya. Iya, kan? Kamu ngeliatdi iklan apa?”
“Itu lho... iklan Kalpanax. Obat panu.”
•••
Dua hari berlalu hampa. Tak ada wajah-wajahceria ketika bis jurusan Blok M datang tepat jamsatu siang. Cuma Gito yang langsung bangkit danikut pergi bersama bis kenangan itu. Yang laintinggal atau terus pulang.
Tapi seminggu, kemudian, mereka kembalidihebohkan dengan makhluk cantik lainnya di bisjurusan Grogol. Pertamanya Lupus tak begitumenyadari akan kehadiran gadis itu, tapi begitubesoknya ketemu lagi, Lupus mulai ribut-ributmenceritakan ‘penemuannya’ itu kepada temantemannya.
“Wah, pokoknya nggak kalah cakep deh.Saya selalu ketemu dengannya kalau pulangsekolah setengah dua!” celoteh Lupus. Kontanaja anak-anak pada tertarik, dan kini, rumahmereka mendadak pindah ke Grogol semua.
Maka hari-hari selanjutnya tepat jamsetengah dua, Lupus, Boim, dan Aji selalu nampakasyik menunggu bis jurusan Grogol. Kejadianyang lalu terulang lagi. Ribut-ribut di bis,merayu sang cewek, tertawa dan tentu saja bikinjengkel sang kondektur bis.
Dan suatu ketika, saat mereka bertiga lagiasyik menunggu bis, Gito nampak berlari-lari kearah mereka.
“Lho, mau ngapain, Git? Kamu gak bolehikutan lagi dong. Kan udah dapet yang dulu?” tegurAji.
“Yaaa, saya ikutan dong!” rengek Gito.
“Wah, enggak bisa. Nanti kamu menang lagi.Terus kita-kita jadi nggak bisa hura-hura lagikalau pulang sekolah.”
“Enggak deh, saya janji. Saya emang senengbanget waktu ngedapetin cewek yang kemari itu.Berarti kan saya lebih kece dari kamu-kamu...”
“Wuuuuuuu!” anak-anak pada protes.
“Eit, nanti dulu. Tapi senengnya cumasebentar. Karena selanjutnya begitu-begitu aja.Monoton. Tiap hari nganterin dia pulang, mampirke rumahnya, ngobrol. Gitu-gitu terus. Nggak adaseninya. Saya jadi ngiri ketika kalian padanemuin cewek baru lagi. Jadi kepingin ikut ikutan ngegodain, ngerayu, ngejar-ngejar, sepertidulu. Nggak tau tuh, kenapa. Menurut kamukenapa, Im?
“Simpel. Mungkin cinta kamu ditolak!”jawab Boim kalem.
“Enak aja. Kamu liat sendiri saya denganmudah ngedapetin dia!” Gito ngotot.
“Ealah, malah pada ribut. Mungkin Gito bener.Ngejar-ngejar cewek mungkin lebih enak daripadakalo ngedapetin. Soalnya kita masih remaja.Masih ingin bebas. Jiwa hura-hura kita kan lebihbesar daripada jiwa romantisme kita. Dan kata orang,cewek itu ibarat bis. Lewat yang satu, bisamenunggu yang berikutnya. Jadi nggak usah terlaludikejar. Apalagi pake patah hati segala. Iyanggak? Dan anehnya, kita kadang suka sekalimengejar-ngejar sesuatu yang sebetulnya tidakkita inginkan benar. Tapi nggak apa-apa kok.Namanya juga anak muda,” kata Lupus sok berfilsafat sampai teman-temannya pada ngantuksemua.
“Eh, itu bisnya datang, Ayo siap-siap!”
Mereka berempat secara serempak bangkit.Lalu mengejar-ngejar bis dengan semangat ’45,sambil berteriak-teriak ribut sekali. Kejadianyang dulu pun terulang lagi.
Dan, mereka akan terus begitu. Sampai suatusaat nanti mereka begitu lelah untuk mengepakkansayap-sayap kecil milik mereka, danhinggap pada sekuntum bunga. Di mana akanmenemukan segalanya.
Dan, mereka pun enggan untuk terbang lagi...
CONVERSATION
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
About Me
Hai, Salam Kenal. saya adalah penulis sekaligus pemilik Blog ini. Blog ini adalah blog pribadi saya sendiri sebagai tempat saya untuk memberi ide ataupun curhatan kegiatan sehari-hari dan aktivitas saya. Hope you enjoy, Terimakasih
0 comments:
Posting Komentar